Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Thursday 2 June 2011

Subsidi Ekologis Taman Nasional Batang Gadis Vs Ekonomi Tambang Emas Sorikmas Mining/Sihayo Gold

Subsidi Ekologis Taman Nasional Batang Gadis : Memberdayakan Pertumbuhkan Ekonomi dan Menjaga Kelangsungan Sumber Penghidupan Masyarakat Di Kabupaten Mandailing Natal  

Erwin A Perbatakusuma, Amru H Daulay, Budi Ismoyo, Luhut Sihombing, Didi Wurjanto, Erwin S Widodo, Abu H. Lubis dan Lelyana Midora  

PENDAHULUAN  
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan luas 108.000 hektar mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi dalam menciptakan proses pembangunan ekonomi lintas generasi dan kelangsungan sumber penghidupan masyarakat luas di Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Selain adanya kekuatan komitmen konservasi dari Pemerintah Daerah dan masyarakat di Madina, nilai kekayaan dan keunikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang tinggi, aspek kandungan nilai ekonomi jangka panjang juga menjadi pertimbangan utama
dalam pembentukan TNBG. Keberadaan TNBG melalui peranan ekologis telah memberikan berbagai ragam manfaat ekologis bagi pembangunan ekonomi daerah dan kelangsungan sumber penghidupan masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal. Peranan ekologis ini perlu dijelaskan secara kualitatif dan kuantitatif untuk menjadi dasar pertimbangan dan informasi bagi pengambil kebijakan, sehingga keberadaan TNBG tidak dianggap sebagai nilai pembatas dan penghambat pertumbuhan ekonomi daerah, tetapi sebagai aset ekonomi yang produktif secara lokal, regional dan bahkan internasional. Nilai ekonomi yang terkandung di hutan alam di Kabupaten Madina, khususnya di TNBG telah diketahui berdasarkan hasil pengkajian secara scientifik oleh tim yang terdiri dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II dan Conservation International Indonesia. Hasil kajian penilaian ekonomi sumberdaya alam dipaparkan guna menjadi bahan informasi dan pertimbangan penting dalam menentukan pilihan kebijakan pemanfaatan kawasan TNBG yang lebih berkelanjutan dan mengedepankan manfaat jangka panjang lintas generasi, khususnya kaitannya dengan rencana pemberian ijin pemanfaatan kawasan untuk eksplorasi pertambangan emas di dalam kawasan TNBG kepada PT. Sorikmas Mining maupun rencana eksploitasi pertambangan emas melalui pola pertambangan terbuka oleh PT. Sorikmas Mining di kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi) maupun kawasan non kehutanan (areal penggunaan lain).  

EKSISTENSI DAN PERANAN SUBSIDI EKOLOGIS TNBG  
1. Total Nilai Ekonomi Subsidi TNBG  
Nilai manfaat ekonomi kawasan konservasi terdiri dari dari nilai guna komsumtif / langsung (direct values) dan nilai guna tak langsung (indirect values) . Nilai guna komsumtif terdiri dari nilai guna langsung, nilai guna tak langsung dan nilai pilihan (option value). Sedangkan nilai guna non komsumtif terdiri dari nilai warisan (existence values) dan nilai keberadaan (bequest values).  

Nilai Guna Komsumtif Nilai Guna Non-Komsumtif Nilai Guna Langsung Nilai Guna Tak Langsung Nilai Pilihan Nilai Warisan Nilai Keberadaan Produk yang dikomsumsi secara langsung Manfaat manfaat fungsional Nilai guna langsung dan tak langsung dimasa depan Nilai guna langsung dan tak langsung dari sumber daya lingkungan Nilai keberlanjutan akan keberadaan sumberdaya tertentu Makanan, biomas, rekreasi Pengendalian banjir dan erosi, stabilitas tata air dan iklim mikro, perlindungan badai, siklus nutrisi, perikanan, pendukungan kehidupan global (perubahan iklim), pendidikan, penelitian, kesehatan manusia, Keanekaragaman hayati, bahan baku berbasis sumber daya genetik, perlindungan jenis dan ekosistem, siklus evolusi. Konservasi habitat, upaya pencegahan perubahan alam yang tidak dapat diperbarui Konservasi habitat dan spesies, integrasi sosial dan kultural. Beberapa metode valuasi ekonomi telah digunakan untuk mengetahui Total Nilai Ekonomi (TNE) yang terkandung di kawasan hutan alam di Kabupaten Mandailing Natal, khususnya TNBG. 






Pendekatan atau metode tersebut meliputi : harga/biaya pasar secara langsung; nilai stumpage - hasil sumber daya alam yang telah diproses atau yang mempunyai pasar; biaya replacement- nilai guna tidak langsung, preventative expenditure - pengeluaran yang bersifat mencegah; surrogate market - pengganti pasar; proxy or substitute product -produk pengganti/mewakili; change in productivity - perubahan dalam produktivitas, oppportunity cost of labor - biaya kesempatan tenaga kerja; indirect opportunity cost - biaya kesempatan tidak langsung; travel cost - biaya perjalanan; hedonic pricing – nilai guna tidak langsung; constructed market - pasar yang dibangun; contingent valuation - valuasi ketergantungan. Total nilai ekonomi TNBG merupakan keseluruhan nilai manfaat ekonomi hutan yang meliputi manfaat langsung (kayu komersil, kayu bakar, pertambangan emas, hasil hutan non kayu), manfaat tidak langsung (fungsi DAS, simpanan karbon, regulasi iklim mikro), manfaat pilihan (ekowisata), dan manfaat tak guna (keanekaragaman hayati), dengan rumusan sederhana sebagai berikut :  


Dari perhitungan valuasi ekonomi, keseluruhan nilai ekonomi hutan alam di TNBG adalah Rp. 386,8 milyar pertahun. Nilai-nilai tersebut ada yang berpotensi positif dan berpotensi negatif terhadap kelangsungan manfaat ekonomi jangka panjang TNBG. Nilai yang berpotensi positif meliputi nilai potensi ekowisata, nilai DAS, nilai karbon, dan nilai keanekaragaman hayati, sedangkan nilai yang berpotensi negatif seperti nilai hasil kayu, dan sumber daya mineral emas. Nilai ini belum merupakan keseluruhan nilai ekonomi ekosistem hutan tersebut karena beberapa jasa lingkungan belum dapat dihitung, misalnya nilai pelestarian jenis fauna dan flora, sehingga nilai TNE diestimasikan lebih besar dari jumlah ini. Nilai manfaat ekonomi dari kegiatan ekonomi yang sifatnya ekstraktif - skala besar - jangka pendek, seperti pemanenan hasil hutan kayu melalui HPH dan eksploitasi tambang emas hanya memberikan total nilai ekonomi sebesar Rp.121,3 milyar/tahun. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai akumulasi manfaat ekonomi dari jasa lingkungan yang diperoleh secara lebih berkelanjutan dan jangka panjang seperti hasil hutan non kayu (karet, rotan, kopi, kayu manis, sarang burung walet, aren, durian), potensi ekowisata, daerah aliran sungai, simpanan karbon, dan keanekaragaman hayati yang keseluruhannya mencapai Rp. 265,5 milyar / tahun atau nilai manfaatnya 2 kali lebih besar dari kegiatan yang bersifat ekstraktif. Nilai juga memperlihatkan bahwa TNBG memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam pengadaan subsidi ekologis melalui jasa-jasa lingkungannya bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Madina maupun kelangsungan penghidupan masyarakat luas. 








2. Keuntungan dan Kerugian Ekonomi  

Keberadaan TNBG Dari hasil analisis manfaat dan biaya (cost and benefit) dapat diketahui bahwa estimasi manfaat ekonomi bersih dengan adanya pembentukan TNBG bernilai Rp.50 milyar per tahun. Nilai pemanfaatan berupa manfaat pilihan potensi ekowisata, dan manfaat tidak langsung berupa daerah aliran sungai dan simpanan karbon, serta manfaat non konsumtif sosial budaya dan keanekaragaman hayati diestimasi sebesar Rp. 66,5 milyar pertahun. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan dengan hilangnya nilai pemanfaatan kawasan hutan bersifat eksploitatif adalah Rp. 16,5 milyar pertahun berupa hasil hutan kayu dan pertambangan emas diestimasikan sebesar Rp. 13,9 milyar pertahun dan biaya pengelolaan TNBG diperkirakan Rp. 2,6 milyar pertahun.. Nilai potensi hasil hutan bukan kayu tidak termasuk di dalamnya, karena belum mempunyai mekanisme pajak daerah yang jelas. Perkiraan nilai ini masih sangat dasar mengingat beberapa komponen manfaat dan biaya belum dihitung, seperti manfaat stabilisasi iklim mikro dan penjaga kesuburan tanah.  




Dari tabel analisis diatas juga ditunjukan bahwa keberadaan TNBG sarat dengan kepentingan sosial yang sangat tinggi dibandingkan eksploitasi kayu maupun emas, karena distribusi manfaat sosial ekonomi yang diperoleh dari kehadiran TNBG lebih terdistribusi lebih merata kepada banyak pihak dengan nilai kuantitas pengambil manfaat yang tinggi baik pada tataran lokal, nasional dan internasional. Kawasan TNBG dapat dikategorikan juga sebagai “kawasan dengan manfaat sosial”, karena nilai manfaat ekonomi bersihnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai manfaat untuk pemanfaatan alternatif seperti pertambangan emas atau pemanenan hasil hutan kayu. Jadi, pilihan pengambilan keputusan pembentukan TNBG adalah tepat karena menyangkut hajat hidup orang banyak.  

3. Peranan Ekonomi TNBG terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kelangsungan Penghidupan Masyarakat  

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang penting bagi Kabupaten Madina adalah pertumbuhan ekonomi dan nilai Produk Domestik Regional Produk (PDRB) yang tinggi. Indikator ekonomi lainnya, seperti pemerataan pendapatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia dan usia harapan hidup sangat tergantung kepada dan membutuhkan nilai PDRB yang memadai sebagai prasyarat utama. Selain itu PDRB berdasarkan nilai konstan tahun tertentu menggambarkan daya beli masyarakat dan kualitas hidup masyarakat. Ini berarti pertumbuhan nilai PDRB yang tinggi atas dasar harga konstan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan dan terjaganya sumber penghidupan masyarakat di Kabupaten Madina. Pertanyaannya selanjutnya adalah alternatif mana yang harus dipilih oleh para pengambil kebijakan antara pilihan kebijakan mengeksploitasi potensi ekonomi berupa nilai hasil hutan kayu dan sumber daya mineral emas atau pilihan kebijakan mempertahankan keberadaan TNBG? Hal itu, tentunya harus dijawab, apakah apakah eksploitasi kayu atau emas akan dapat meningkatkan PDRB atau sebaliknya. Jawaban pertanyaan tersebut dibandingkan dengan dampak dipertahankannya TNBG terhadap pertumbuhan PDRB. Tentunya pilihan kebijakan yang diambil adalah pilihan yang memberikan dukungan terhadap usaha peningkatan PDRB Kabupaten Madina dengan nilai yang signifikan. Apabila kayu komersial atau sumber daya emas di TNBG dieksploitasi – dalam jangka pendek jelas akan memperoleh pertambahan pendapatan daerah dari nilai kayu atau nilai sumber daya mineral emas, tetapi dengan mengorbankan nilai dan fungsi ekologis yang selama ini telah memberikan dukungan signifikan terhadap perekonomian daerah dan kelangsungan hidup masyaraka selama ini. Fungsi ekologis itu mencakup pengendali tata air, pengatur iklim dan menjaga kesuburan tanah. 

Dominasi output sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Madina pada tahun 2005 memberikan kontribusi sebesar 45,1% dari total nilai PDRB sebesar Rp. 768, 2 milyar , diikuti selanjutnya oleh sektor perdagangan hotel restoran sebesar 25%, industri 7% dan sektor jasa 6,6% dan terkecil sektor pertambangan dan galian hanya 0,37%. Dominasi output sektor pertanian dapat pula disimak bahwa dari periode tahun 1999 sampai dengan 2002, nilai rata-rata sektor pertanian adalah 57%. Uraian ini menunjukan bahwa kelangsungan sektor pertanian mempunyai nilai ketergantungan yang tinggi terhadap eksistensi fungsi ekologis TNBG, khususnya sebagai penyedia air yang teratur untuk sektor pertanian. Nilai ketergantungan ini dapat diartikan pula sebagai nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung Kabupaten Madina apabila TNBG mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat memberikan dukungan fungsi ekologis terhadap sektor pertanian. Rusaknya fungsi ekologis TNBG akibat eksploitasi kayu atau sumber daya mineral emas tentunya akan berdampak pada penurunan jumlah dan nilai produksi sektor pertanian. 


Dikaitkan dengan kepentingan kontribusi pertanian terhadap PDRB yang cukup besar, hal tersebut tentunya akan menghambat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Madina. Hal ini juga memberikan dampak langsung kepada 86% atau 71.004 KK petani dari total populasi penduduknya yang jumlahnya 380.546 jiwa atau 82.563 KK yang kelangsungan hidupnya tergantung dari sektor pertanian dengan perincian petani tanaman pangan dan petani perkebunan (BPS, 2003). Kawasan persawahan seluas 34.500 hektar, kawasan perkebunan seluas 43.000 hektar dan lebih dari 70 lokasi perikanan air sungai di lubuk-lubuk larangan sangat tergantung dengan kehadiran keutuhan ekosistem hutan alam TNBG.  

Berdasarkan hasil valuasi ekonomi yang dilakukan, nilai ekonomi Daerah Aliran Sungai untuk kebutuhan pertanian, adalah sebesar Rp 2,6 milyar per tahun, sedangkan nilai Net Present Value (NPV) dengan faktor diskonto 10% dan tingkat harga konstan, dalam 25 tahun nilainya mencapai Rp 23,3 milyar. Nilai ekonomi DAS sebagai penyedia tata air untuk sektor perikanan adalah sebesar Rp 10 milyar per tahun, dengan tingkat diskonto 10% dan tingkat harga konstan, maka dalam 25 tahun nilai ini (NPV) mencapai Rp 97,4 miliar. Dari angka tersebut, apabila menggunakan skenario ketergantungan yang tinggi dengan hilangnya manfaat ekologis TNBG, maka dalam jangka waktu 25 tahun, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Madina akan kehilangan nilai pendapatan sekarang atau kerugian dari sektor pertanian sebesar Rp. 23,3 milyar dan sektor perikanan sebesar Rp. 97,4 milyar.  

4. Peranan Ekonomi TNBG terhadap Penghematan APBD Kabupaten  
Terdapat kesalahan atau miskonsepsi secara umum selama ini mengenai keberadaan dan peranan Kawasan Konservasi, khususnya TNBG, yaitu Kawasan Taman Nasional dinyatakan sebagai potensi sumber daya ekonomi yang “hilang” untuk kepentingan pembangunan ekonomi dan tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomi dan hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir kepada masyarakat lokal dan negara. Kesalahan ini sebetulnya dapat diperbaiki kalau kita memahami bahwa keterkaitan Kawasan Taman Nasional dengan pembangunan ekonomi tidak hanya terhadap manfaat-manfaat uang, tetapi harus diarahkah pada manfaat-manfaat ekonomi bukan uang. Namun perlu diperhatikan, bahwa selain TNBG memiliki nilai kayu dan sumber daya mineral emas komersil. TNBG juga dapat memberikan manfaat lain yang penting, yaitu fungsi ekologis, produk hutan non kayu dan keanekaragaman hayati. Ketiga manfaat utama ini tidak dapat dimanfaatkan semuanya secara bersama-sama, dalam pengertian jika pemerintah dan masyarakat mengambil keputusan untuk mengeksploitasi kayu komersil dan emas di dalam TNBG, maka ketiga manfaat utama tersebut diatas tidak dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat. Dampak hilangnya fungsi ekologis TNBG berarti menurunnya atau hilangnya kemampuan TNBG mengatur tata air dan pengatur iklim kawasan tersebut, sehingga akan meningkatkan resiko terjadinya bencana alam, seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor di Kabupaten Madina. 

Ditambahkan pula, bahwa Kabupaten Madina punya masalah besar, karena dikatagorikan ‘daerah rawan bencana’. Kondisi wilayahnya berada di daerah vulkanis aktif dan bagian dari Daerah Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault Zone) atau secara spesifik dikenal sebagai Sub patahan Batang Gadis - Batang Angkola - Batang Toco. Patahan ini terus bergerak, sehingga kerapkali menimbulkan gempa bumi besar. Misalnya gempa bumi yang terjadi di daerah tetangganya seperti Sarulla (1984) dan Tarutung (1987). Daerah vulkanis aktif ditunjukkan dengan adanya gunung api strato Sorik Merapi (2145 meter dpl) di Kabupaten Madina yang pernah meletus pada tahun 21 Mei 1892 yang mengakibatkan 180 orang meninggal dunia di Kampung Sibangor dan terakhir pada tahun 1980-an. Kombinasi curah hujan yang tinggi, dominasi kemiringan lereng > 40%, kondisi topografi yang umumnya perbukitan dan pegunungan, terletak di daerah vulkanis aktif dengan kondisi geologis yang labil, jenis tanah yang peka erosi menjadikan eksistensi hutan alam di Kabupaten Madina, khususnya TNBG semakin krusial untuk dilindungi dan dilestarikan guna terjaganya sistim penyangga kehidupan, terutama perannya sebagai pencegah bencana alam. Jikalau bencana geologik datang bersamaan dengan bencana yang diakibatkan rusaknya hutan alam TNBG, tentunya berakibat meningkatnya resiko jumlah korban dan dampak kerusakan yang ditimbulkan. Hal ini dapat dirujuk tingginya jumlah dan dampak kerusakan, akibat bencana tsunami yang terjadi bersamaan dengan kehancuran hutan bakau dan hutan pantai di Provinsi NAD yang berperan sebagai pemecah ombak dan penghalang laju gelombang tsunami.  

Kebutuhan biaya pemulihan bencana alam oleh pemerintah daerah tentunya akan mengalokakasikan investasi sektor-sektor produktif masyarakat Kabupaten Madina kepada usaha pemulihan bencana yang tidak bersifat non produktif. Bagi masyarakat luas di Kabupaten Madina, dana yang seharusnya dialokasikan untuk investai usaha produktif, perbaikan kualitas pendidikan, tempat tinggal dan kesehatan, peningkatan gizi keluarga, biaya pendidikan akan berubah aktivitasnya kepada aktivitas renovasi kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam. 

Dampak ini merupakan beban berat bagi masyarakat yang tergolong ke dalam keluarga miskin yang jumlah 80.200 jiwa dan desa-desa tertinggal yang jumlahnya 86 desa dari 335 desa di Kabupaten Madina. Hal yang sama akan dialami oleh Pemerintah Kabupaten Madina. Terjadinya bencana alam akan sangat membebani sekaligus mengeluarkan biaya mubazir dan memboroskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pemborosan beban yang berat pada APBD tersebut mencakup dua permasalahan. Pertama, akan terjadi perubahan alokasi belanja dari sektor-sektor produktif atau pengeluaran pembangunan kepada biaya pemulihan paska bencana alam. Kedua, Pemerintah Kabupaten Madina akan memperoleh kesulitan untuk memperoleh sumber pembiayaan pemulihan bencana alam.  

Analisis terhadap APBD Kabupaten Madina Tahun 2006 menunjukan bahwa pengeluaran anggaran rutin lebih besar nilainya daripada pengeluaran pembangunan. Hal ini mencerminkan beban anggaran belanja yang berat. Minimnya pengeluaran pembangunan menunjukan upaya perbaikan kualitas dan kuantitas pelayanan publik serta stimulasi pertumbuhan ekonomi daerah dihadapkan pada tantangan yang berat. Sementara itu pengeluaran rutin yang sebagian besar untuk pendanaan operasional pemerintahan hampir tidak mungkin dikurangi jumlahnya. Dampak dari kondisi APBD tersebut, apabila terjadi bencana alam, Pemerintah Kabupaten Madina tentunya akan terpaksa mengalokasikan belanja dari pengeluaran pembangunan dengan alasan kemanusiaan kepada usaha-usaha pemulihan bencana alam. Hal tersebut semakin buruk, ketika Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagian Dana Perimbangan sulit ditingkatkan dan pengeluaran rutin tidak dapat dikurangi. Jikalau dibandingkan dengan PAD pada tahun 2005 yang nilainya Rp. 5,8 milyar lebih kecil daripada nilai ekonomi TNBG sebagai pencegah banjir, erosi dan longsor yang nilainya mencapai Rp. 24,8 milyar pertahun atau dibandingkan dengan nilai kerugian akibat terjadinya sekali banjir sebesar rata-rata Rp. 9,5 milyar (nilai ini diperoleh dari beberapa contoh kasus di Indonesia).  

Hal ini menunjukan bahwa masalah yang akan dihadapi Pemerintah Kabupaten Madina, bukan hanya tidak efisiennya atau pemborosan anggaran belanja daerah, tetapi juga kesulitan untuk membiayai kerugian, penanggulangan dan pemulihan dampak bencana alam yang nilainya relatif besar dengan nilai PAD. Dari hasil valuasi ekonomi menunjukan, nilai manfaat ekonomi tidak langsung dari TNBG sebagai pencegah banjir, erosi, dan tanah longsor sebesar Rp 24.8 milyar per tahun, dengan faktor diskonto 10 % dalam 25 tahun nilai (NPV) mencapai Rp 225 milyar. Ini berarti, bahwa dalam 25 tahun, Pemerintah Kabupaten dapat menghemat Rp. 225 milyar dengan tidak dikeluarkan pembiayaan “mubazir” untuk pemulihan bencana banjir, longsor dan erosi. Dari sisi manfaat TNBG sebagai kebutuhan air rumah tangga yang mencapai Rp 7 milyar pertahun dan dengan tingkat harga konstan dan faktor diskonto 10%, nilai ini (NPV) dalam jangka waktu 25 tahun mencapai Rp 63 milyar. Ini berarti, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Madina dalam 25 tahun dapat menghemat atau tidak mengalami kerugian Rp. 63 milyar dengan adanya manfaat TNBG sebagai penyimpan air secara alamiah.  

Efek negatif dari bencana alam akan lebih besar apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas dalam jangka waktu yang lama. Terjadinya bencana alam, tidak hanya mengganggu sektor pertanian, tetapi juga sektor ekonomi lainnya seperti sektor perdagangan, jasa, industri. Masyarakat akan mengalokasikan pendapatannya untuk pemulihan dan renovasi aset pribadi dan mungkin kehilangan sebagian pendapatannya, sehingga permintaan terhadap komoditas barang dan jasa juga menurun. Efek pengganda ini akan terus terjadi selama pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak melakukan intervensi yang tentu saja membutuhkan biaya tinggi. Selain itu sumber-sumber penerimaan PAD melalui pajak daerah, restribusi daerah yang selama ini ada juga akan berkurang yang disebabkan menurunnya volume dan intensitas kegiatan ekonomi masyarakat. Jadi disimpulkan bahwa di dalam komponen APBD, bukan hanya dari sisi belanja daerah saja yang terkena imbas bencana alam, tetapi dari juga dari sisi pendapatan asli daerah.  

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN  
1. Kesimpulan  

a. Keseluruhan total nilai ekonomi ekosistem hutan alam di Kabupaten Madina, khususnya TNBG adalah Rp. 386,8 milyar pertahun. Nilai-nilai tersebut ada yang berpotensi positif dan ada yang berpotensi negatif terhadap kemanfaatan ekonomi jangka panjang. Nilai yang berpotensi positif meliputi nilai potensi ekowisata, nilai daerah aliran sungai, nilai simpanan karbon, dan nilai keanekaragaman hayati, sedangkan nilai yang berpotensi negatif seperti nilai hasil hutan kayu dan dan sumber daya mineral emas. 

b. Total nilai ekonomi subsidi ekologis merupakan kontribusi nyata, baik di dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Madina dan penghematan APBD yang secara ekologis sangat tergantung dari eksistensi dan keutuhan ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Kontribusi yang dominan dari sektor pertanian terhadap struktur perekonomian Kabupaten Madina atau PDRB, maka subsidi ekologis TNBG tentu dapat mampu menjadikan proses pembangunan ekonomi lebih efisien, mampu tahan dan produktif dalam jangka panjang dan menjaga sumber-sumber penghidupan rakyat banyak di Kabupaten Madina yang didominasi oleh keluarga petani.  


c. Nilai manfaat ekonomi bersih dengan adanya pembentukan TNBG bernilai Rp.50 milyar pertahun. Dan nilai harus dipertahankan dan tidak dikorbankan untuk pemanfaatan kawasan yang bersifat ekstraktif-eksploitatif-jangka pendek, seperti pemanenan hasil hutan kayu dan sumber daya mineral emas. Nilai manfaat dari jasa lingkungan yang disediakan TNBG, jauh lebih tinggi dan lebih banyak disumbangkan kepada banyak pihak secara lintas generasi, jika dibandingkan dengan manfaat langsung yang sifatnya eksploitatif seperti hasil hutan kayu maupun manfaat alternatif berupa pertambangan emas. 

d. Pemanfaatan kayu komersil maupun eksploitasi sumber daya mineral emas di dalam Kawasan TNBG, hanya akan memberikan keuntungan ekonomis bagi generasi saat ini dan itupun hanya sebagian kecil saja pihak yang memperoleh manfaat ekonomis, namun dampak eksploitasi tersebut harus ditanggung dan terbagikan antar generasi dan berskala luas dari tataran lokal, regional, nasional sampai global. Jadi, diperlukan suatu kearifan berwawasan pembangunan berkelanjutan dan beretika pelestarian lingkungan hidup dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan Kawasan TNBG  

e. Subsidi ekologis yang disediakan oleh TNBG, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah menciptakan efisiensi atau penghematan APBD dengan tidak adanya pengeluaran biaya “mubazir” pemulihan bencana alam dan tidak dibutuhkannya “anggaran khusus” dalam APBD untuk menyediakan “sarana prarasana ekologis” sebagai kebutuhan utama dalam mendorong kegiatan perekonomian masyarakat di sektor pertanian, sehingga sumber-sumber penghidupan para keluarga petani lebih mampu tahan dan pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat. Proses penghematan ini sangat berarti dan penting sumbangannya dalam menciptakan suatu sistem pembiayaan Kabupaten Madina yang lebih berkelanjutan.  

2. Rekomendasi kebijakan teknik  

Departemen Kehutanan tidak mengijinkan PT. Sorikmas Mining untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan emas secara terbuka maupun tertutup di Kawasan TNBG, karena manfaat ekonomi bersih dan manfaat sosial dari Kawasan Taman Nasional lebih besar dibandingkan dengan eksploitasi pertambangan emas dan mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan penguatan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi APBD Kabupaten Madina. Hal ini juga sesuai dengan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa enam dari tigabelas perusahaan tambang yang baru sampai pada tahap eksplorasi dan studi kelayakan diwajibkan tunduk pada ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU No 41/1999 tentang Kehutanan.  


Ini berarti perusahaan pertambangan tetap dilarang melakukan kegiatan penambangan emas secara terbuka di Kawasan Hutan Lindung, termasuk PT. Sorikmas Mining. Dalam konteks Kawasan Taman Nasional sebagaimana diatur Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetap dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Nasional, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya di zona inti Taman Nasional. 

DAFTAR PUSTAKA  
Midora, L, Perbatakusuma, EA, Widodo, ES, Sihombing, L, dan Ismoyo, B (2006) Total Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Di Kabupaten Mandailing Natal. Conservation International Indonesia, Pemerintah Kabupaten Mandaling Natal dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II. Laporan Final, Jakarta.  


Midora L. and Anggraeni D. (2006) : Economic Valuation of Watershed Benefit Services in The Boundary of Batang Gadis National Park. Conservation International Indonesia, Final Report, Jakarta.  

Perbatakusuma, Erwin. A, Supriatna, Jatna, Wurjanto. Didi, Supriadi. Prie, Ismoyo. Budi, Wiratno, Sihombing. Luhut, Wijayanto. Iwan, Widodo.Erwin. S, Manullang. Barita O, Siregar. Safaruddin, Damanik. Abdulhamid dan Lubis. Abu, H. (2005): Bersama Membangun Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing – Natal dan Conservation International Indonesia. Jakarta.  

Perbatakusuma, EA, Supriatna, J, Wurjanto, D, Widodo, ES, Daulay AH dan Ismoyo, B (2006) : Taman Nasional Batang Gadis, Pertambangan di Hutan Lindung dan encaman Arbitrase Internasional Kasus PT. Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal. Kertas Kerja Kajian Kebijakan. No. 1 . Conservation International. Jakarta.  

Perbatakusuma, EA, Supriatna, J, Wurjanto, D, Widodo, ES, Daulay AH dan Ismoyo, B (2006) : Eksplorasi Tambang Emas secara Bertanggung Jawab : Kasus PT. Sorikmas Mining di Taman Nasional Batang Gadis. Kertas Kerja Kajian Kebijakan. No. 2 . Conservation International. Jakarta.