Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Wednesday 25 May 2011

STRUKTUR VEGETASI DAN SIMPANAN KARBON HUTAN HUJAN TROPIKA PRIMER DI BATANG TORU, SUMATERA UTARA


STRUKTUR VEGETASI DAN SIMPANAN KARBON HUTAN HUJAN TROPIKA PRIMER DI BATANG TORU, SUMATERA UTARA
Vegetation structure and carbon stock of primary tropical rain forest at Batang Toru, North Sumatra

Onrizal1©, Ismail2, Erwin A Perbatakusuma3, Herwasono Sudjito3,
Jatna Supriatna3, Iwan H Wijayanto3
1Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
2Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3Conservation International Indonesia

Abstract
Deforestation and forest degradation contribute for 20 to 25 percent of annual total carbon dioxide (CO2) emissions and to be one of substantial factor of climate change or global warming. Avoided deforestation into carbon-market regime by reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) scheme has been agreed on COP 13 of UNFCCC that was held in Bali on December 2007. REDD application need reliable scientific basic about the amount of carbon storage in well managed natural forest. The aims of this research were to detect vegetation structure and to estimate aboveground biomass, carbon stock and CO2 absorption of primary tropical rain forest at Key Biodiversity Area of Batang Toru Forest Block, North Sumatra Province by existing allometric equation. We designed 20 sampling plots of 20 x 20 m in two forest area, i.e. Aek Game-game forest and Aek Silemes forest. All trees 5 cm at diameter at breast height (dbh) and above were measure and identified. From the study, the distribution of diameter class formed “L” curve which mean an indication as balanced forest. The aboveground biomass of the forest is 544.4 to 583.0 t/ha in Aek Silemes forest and 604.5 to 613.6 t/ha Aek game-game forest. It is equivalent with 272.2 to 291.5 t C/ha or 999.0 to 1,069.9 t CO2/ha in Aek Silemes forest and 302.2 to 306.8 t C/ha or 1,109.2 to 1,125.9 t CO2/ha in Aek game-game forest. More of carbon stock (>46% for Aek Silemes forest and >58% for Aek game-game forest) saved within dbh of trees 50 cm and above. Therefore, sustainable management of forest ecosystem is very important to reduce CO2 emission from deforestation and forest degradation and to improve the function of forest ecology and economy.
Keywords: aboveground biomass, carbon stock, CO2, primary tropical rain forest, Batang Toru-North Sumatra


Abstrak
Kerusakan hutan secara global menyumbang 20-25% emisi CO2 yang berkontribusi besar bagi perubahan iklim atau pemanasan global. Perluasan pasar karbon untuk mitigasi CO2 dengan skema reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) telah disepakati pada COP 13 UNFCCC di Bali Desember 2007. Perluasan pasar tersebut membutuhkan dasar ilmiah yang kuat tentang berapa besar karbon yang disimpan oleh hutan alam yang dijaga dari kerusakan hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur vegetasi dan menduga biomassa di atas permukaan tanah di hutan hujan primer di Kawasan Kunci Biodiversitas pada Blok Hutan Batang Toru, Propinsi Sumatera Utar berdasarkan model alometrik yang telah tersedia, sehingga besaran kandungan karbon dan CO2 yang telah diabsorsi hutan dapat dihitung. Sebanyak 20 petak ukur masing-masing berukuran 20 x 20 m dibuat di 2 lokasi hutan masing-masing di Aek Game-game dan Aek Silemes di Batang Toru. Seluruh pohon berdiameter 5 cm ke atas diukur diamater dan tingginya dan diidentifikasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa kelas diameter pohon tersebar seperti kurva “L” yang mengindikasikan hutan dalam kondisi seimbang. Berdasarkan hasil pendugaan, hutan hujan primer di Batang Toru memiliki biomassa di atas permukaan tanah yang berkisar 544,4-583,0 t/ha pada hutan Aek Silemes dan 604,5-613,6 t/ha pada hutan Aek Game-game. Simpanan karbon dan serapan CO2 hutan tersebut berturut-turut adalah 272,2-291,5 t C/ha dan 999,0-1.069,9 t CO2/ha pada hutan Aek Silemes dan 302,2-306,8 t C/ha dan 1.109,2-1.125,9 t CO2/ha pada hutan Aek game-game. Sebagian besar (>46% pada hutan Aek Silemes dan >58% pada hutan Aek Game-game) karbon tegakan terdapat pada pepohonan yang diameternya ³ 50 cm. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk mengelola ekosistem hutan secara lestari untuk mengurangi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan serta sekaligus untuk meningkatkan fungsi ekologi dan ekonomi lainnya.

Kata kunci: biomassa di atas permukaan tanah, simpanan karbon, CO2, hutan hujan tropika primer, Batang Toru-Sumatera Utara

Pendahuluan
Konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dari waktu ke waktu terus meningkat sejalan dengan kerusakan lingkungan. Boer (2004) memperkirakan 270 (± 30) giga ton karbon (Gt C) telah dilepas ke atmosfer dalam kurun waktu 1850 sampai 1998. Sumbangan emisi CO2 dari kerusakan hutan tropika secara global berkisar 20% (World Bank, 2007) – 25% (Santili et al., 2005, Myers, 2007), yang merupakan angka yang sangat krusial dalam memicu pemanasan global.
Sampai tahun 2006, perhatian terhadap karbon hutan dalam mitigasi CO2 terfokus pada kegiatan penanaman berupa aforestasi dan reforestasi (AR) yang merupakan skema clean development mecanism (CDM) dari Protokol Kyoto. Pada sisi lain upaya mencegah kerusakan hutan alam sebagai bagian dalam mitigasi CO2 belum masuk dalam pasar karbon (Myers, 2007). Ide memasukkan pengurangan emisi dari kerusakan hutan ke dalam pasar karbon dimulai tahun 2006 (Chomitz et al., 2006) yang diawali dengan laporan kebijakan Word Bank tentang kompensasi keuangan internasional untuk mengurangi kerusakan hutan tropika di negara berkembang (Alfarado, & Wertz-Kanounnikoff, 2007). Selanjutnya mekanisme tersebut dikenal dengan skema reducing emission from deforestation and degradation (REDD) yang disepakati pada CoP 13 UNFCC di Bali pada Desember 2007.
Kegiatan AR secara inheren berbeda dengan aktivitas REDD. Kegiatan AR merupakan penyerap karbon (sequester carbon) dan mendapatkan kredit berdasarkan peningkatan karbon yang disimpan. Pada sisi lain, kegiatan REDD adalah mengurangi emisi (reduce emission). Pengurangan emisi dari kerusakan hutan (deforestation atau deforestasi) mensyaratkan pengurangan laju deforestasi di bawah berbagai skenario dasar (baseline scenario) (Myers, 2007). Perluasan pasar karbon ke skema REDD membutuhkan dasar ilmiah yang kuat (Streck, 2007), sementara data awal simpanan karbon di hutan alam belum banyak diketahui, termasuk pada hutan hujan primer di Batang Toru. Berdasarkan kajian berbagai lembaga (Conservation International Indonesia et al., 2007) diketahui bahwa blok hutan di Batang Toru, Sumatera Utara merupakan kawasan kunci biodiversitas, sehingga merupakan daerah prioritas konservasi di Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk menduga simpanan karbon pada hutan hujan primer di kawasan Batang Toru pada dua lokasi dengan ketinggian berbeda berdasarkan model penduga yang sudah ada.

Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan pada tanggal 21 Februari – 9 Maret 2006 di kawasan Batang Toru pada dua lokasi hutan alam primer, yaitu (1) hutan Aek Game–game yang berdekatan dengan Desa Tapian Nauli, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan (2) hutan Aek Silemes yang berdekatan dengan Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Hutan Aek Game-game secara geografis terletak pada 98°51’46,6“ BT dan 1°44’38,5“ LU dengan ketinggian antara 625- 800 m dpl. Hutan Aek Silemes secara geografis terletak pada 98°59’04,2” BT dan 01°47’46.1“ LU dengan ketinggian antara 850-975 m dpl (Gambar 1).
Topografi lokasi penelitian secara umum bergelombang dan berbukit dengan kelerengan antara 5-45%. Jenis tanahnya didominasi oleh Podsolik Merah Kuning dan Aluvial (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997). Iklim di daerah ini menurut klasifikasi Schmitd dan Ferguson (1951) termasuk tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata per tahun 3.325 mm, dengan nilai Q sebesar 2,36 %. Suhu udara rata-rata berkisar antara 25º C sampai 28º C dan kelembaban udara rata-rata 85 % (BMG, 2006).

Cara Kerja dan Analisis Data
Penelitian dilakukan dengan metode kuadrat (Kusmana, 1997, Sambas, 1999, Yusuf et al., 2005) sebagai petak ukur (PU) yang berukuran 20 m x 20 m untuk tingkat pohon (DBH ≥ 10 cm) dan secara tersarang dibuat PU 5 m x 5 m untuk tingkat anak pohon atau belta (DBH 5 – 9,9 cm). Pada setiap lokasi survei dibuat 10 PU yang diletakkan secara sistematik berjarak 100 m dengan PU pertama diletakkan secara acak.
Setiap individu tingkat pohon yang terdapat di dalam setiap PU diidentifikasi, dan diukur diameter pohon, ditaksir tinggi total pohon (TT) dan tinggi bebas cabang (TBC). Diameter pohon yang diukur adalah diameter setinggi dada (diameter at breast height; DBH), yakni pada ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah untuk pohon tidak berbanir dan pada ketinggian 20 cm di atas banir tertinggi untuk pohon berbanir. Selanjutnya setiap individu tingkat anak pohon juga identifikasi dan diukur DBH dan TT. Pengukuran DBH dilakukan dengan menggunakan pita meter, sehingga didapatkan keliling pohon (K), lalu dikonversi ke DBH dengan formulasi DBH = K/p. Material herbarium diambil untuk keperluan identifikasi yang dilakukan di Herbarium Bogoriense LIPI Bogor.
Gambar 1. Lokasi penelitian simpanan karbon hutan hujan primer di kawasan Batang Toru
Pendugaan biomassa hutan dengan menggunakan model alometrik yang sudah ada untuk hutan tropika dengan curah hujan antara 1500-4000 mm/th. Karakteristik model alometrik yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.  Model alometrik yang digunakan untuk menduga biomassa di atas permukaan tanah (aboveground biomass) tegakan hutan hujan primer Batang Toru
No Persamaan
Persamaan
Pustaka
Eq. 1
W = 0,118 D 2,53
Brown (1997)
Eq. 2
W = 0,11 r D 2+c
Katterings et al. (2001)
Ket.: W = biomassa per pohon (kg), D = DBH (cm), r = kerapatan kayu (wood density; g/cm3 atau t/m3); c = koefisien yang menggambarkan hubungan antara diameter dan tinggi pohon (c yang digunakan = 0,62 berdasarkan Katterings et al., [2001] pada hutan di Jambi). Nilai r mengacu pada Prosea (1994, 1995, 1996), Reyes et al. (1992), Newman et al. (1999), Katterings et al. (2001) dan website ICRAF SE Asia.


Kandungan karbon (C) biomassa pohon dihitung dengan menggunakan rumus C = 50% biomassa tumbuhan (Brown, 1999, Delaney, 1999, Delaney & Roshetco, 1999, Powell, 1999 dan International Panel on Climate Change/IPCC, 2003). Jumlah CO2 yang diabsorpsi dihitung dengan rumus CO2 = C x 3,67 (Mirbach, 2000).

Hasil
Sebaran Kelas Diameter
Berdasarkan sebaran kelas diameter (Gambar 2) diketahui bahwa kerapatan pohon menurun secara eksponensial dari pohon berdiameter kecil (5,0-9,9 cm) ke pohon berdiameter besar (≥ 50,0), seperti kurva “L” yang mengikuti fungsi eksponensial negatif. Populasi pohon di kawasan hutan Batang Toru terdiri atas campuran seluruh kelas diameter dengan didominasi oleh pohon berdiameter kecil, yaitu 60,89% (hutan Aek Game-game) dan 57,35% (hutan Aek Silemes) pada kelas diamater 5,0-9,9 cm kemudian kerapatanya terus menurun dan untuk kelas diameter ≥ 50,0 cm hanya terdiri atas 3,04% pada hutan Aek Game-game dan 2,37% pada hutan Aek Silemes.
Pohon berdiamater ≥ 50,0 cm di hutan Aek Game-game hanya terdiri 16 jenis dari 235 jenis pohon yang dijumpai dalam PU 0,4 ha dengan diameter pohon terbesar adalah 106,2 cm, sedangkan di hutan Aek Silemes hanya terdiri 13 jenis dari 195 jenis dalam PU 0,4 ha dengan diameter pohon terbesar adalah 108,2 cm. Jenis-jenis pohon berdiameter ≥ 50,0 cm di hutan Aek Game-game adalah Carallia brachiata, Dipterocarpus crinitus, Dryobalanops oblongifolia, Gluta wallichii, Gymnostoma sumatrana, Hopea mengarawan, Mastixiodendron sp., Melanochylla bracteata, Nephelium juglandifolium, N. rubescens, Payena glabra, Podocarpus imbricatus, Ryparosa sp., Sarcotheca diversifolia, Shorea maxwelliana, Ternstroemia coriacea dan yang dijumpai di hutan Aek Silemes adalah Albizia splendens, Araucaria sp., Blumeodendron elateriospermum, Campnosperma auriculata, Ganua motleyana, Gluta torquata, Gymnostoma sumatrana, Lithocarpus sp., Palaquium gutta, Quercus subsericea, Shorea maxwelliana, Syzygium cf. punctilimbun, Ternstroemia coriacea.

Sebaran Kelas Tinggi
Pada tingkat pohon, kerapatan pohon meningkat dari kelas tinggi < 10 m sampai kelas tinggi 15 – 25 m kemudian terus berkurang sampai kelas tinggi maksimum (55 – 60 m) (Gambar 3). Berdasarkan Gambar 3 tersebut terlihat bahwa kawasan hutan Batang Toru disusun oleh campuran seluruh kelas tinggi pohon. Pada hutan Aek Silemes kerapatan pada kelas tinggi yang rendah lebih padat dibandingkan dengan hutan Aek Game-game.
Pada hutan Aek Game–game dalam PU 0,4 ha terdapat 3 pohon dengan tinggi yang termasuk kelas tinggi 55,0-60,0 cm, yaitu Nephelium rubescens, Ryparosa sp., dan Shorea maxwelliana, sedangkan di hutan Aek Silemes tidak dijumpai pohon yang mencapai tinggi demikian. Tinggi pohon maksimum di hutan Aek Silemes yang dijumpai hanya mencapai 53 m, yakni pada jenis Palaquium gutta Baillon dari suku Sapotaceae. Pepohonan yang termasuk statum A (tingg tajuk ³ 30 m) umumnya adalah pohon berdiameter ³ 50cm.
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa pada kelas tinggi 10 – 40 m, kerapatan hutan Aek Silemes lebih tinggi dibandingkan dengan hutan Aek Game-game. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelas tinggi di atas 40 m, yakni kerapatan hutan Aek Silemes lebih rendah dibandingkan dengan di hutan Aek Game-game. Hal ini diduga karena pengaruh ketinggian tempat, yakni semakin tinggi tempat tumbuh maka ukuran pohon semakin pendek. Dalam hal ini, hutan di Aek Silemes terletak pada daerah yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan Aek Game-game.

Simpanan Karbon Biomassa Hutan
Berdasarkan dua model penduga biomassa di atas permukaan tanah yang digunakan diketahui tidak terdapat perbedaan hasil dugaan, yakni selisih hasil pendugaan hanya berkisar antara 1,4-6,6% dan konsisten pada kedua lokasi penelitian. Hasil perhitungan di dua lokasi hutan primer Batang Toru menunjukkan bahwa biomassa tegakan di atas permukaan tanah (aboveground biomass) berkisar antara 544,4-583,0 t/ha pada hutan Aek Silemes dan 604,5-613,6 t/ha pada hutan Aek Game-game (tabel 2). Simpanan karbon pada biomassa di atas permukaan tanah adalah 272,2-291,5 t C/ha pada hutan Aek Silemes dan 302,2-306,8 t C/ha pada hutan Aek game-game (Tabel 3). Dengan demikian, jumlah gas CO2 yang telah diabsorpsi oleh tegakan hutan tersebut adalah berkisar 999,0-1069,9 t CO2/ha pada hutan Aek Silemes dan 1.109,2-1.125,9 t CO2/ha pada hutan Aek game-game (Gambar 4). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin rendah letak suatu hutan maka simpanan karbonnya lebih tinggi, seperti hutan Aek Silemes yang terletak pada ketinggian 850-975 m dpl memiliki simpanan karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan Aek Game-game yang terletak pada daerah yang lebih rendah, yaitu 625-800 m dpl.

Tabel 2.  Biomassa di atas permukaan tanah dan distribusinya berdasarkan kelas diameter pohon di hutan hujan primer Batang Toru
No
Kelas Diameter (cm)
Aek Game-game
Aek Silemes
Eq. 1
Eq. 2
Eq. 1
Eq. 2
(t/ha)
(%) 
(t/ha)
(%) 
(t/ha)
(%) 
(t/ha)
(%) 
1.
5,0 - 9,9
19,0
3,1
13,7
2,3
22,0
3,8
17,8
3,3
2.
10,0 - 19,9
40,7
6,6
33,6
5,6
56,6
9,7
48,7
8,9
3.
20,0 - 29,0
60,5
9,9
49,9
8,3
79,1
13,6
72,4
13,3
4.
30,0 - 39,9
66,2
10,8
59,2
9,8
80,7
13,8
76,6
14,1
5.
40,0 - 49,9
66,7
10,9
63,8
10,6
76,7
13,2
71,0
13,1
6.
≥ 50,0
360,5
58,8
384,3
63,6
267,9
46,0
257,8
47,4

Total
613,6
100,0
604,5
100,0
583,0
100,0
544,4
100,0

Tabel 3.  Simpanan karbon (t C/ha) dan CO2 yang diabsorpsi (t CO2/ha) pada bagian pohon di atas permukaan tanah dan distribusinya berdasarkan kelas diameter pohon di hutan hujan primer Batang Toru
No
Kelas Diameter (cm)
Aek Game-game
Aek Silemes
Eq. 1
Eq. 2
Eq. 1
Eq. 2
(t C/ha)
(t CO2/ha)
(t C/ha)
(t CO2/ha)
(t C/ha)
(t CO2/ha)
(t C/ha)
(t CO2/ha)
1.
5,0 - 9,9
9,5
34,8
6,8
25,1
11,0
40,3
8,9
32,7
2.
10,0 - 19,9
20,4
74,7
16,8
61,6
28,3
103,8
24,3
89,3
3.
20,0 - 29,0
30,2
111,0
25,0
91,6
39,5
145,1
36,2
132,9
4.
30,0 - 39,9
33,1
121,5
29,6
108,7
40,4
148,1
38,3
140,6
5.
40,0 - 49,9
33,3
122,3
31,9
117,0
38,4
140,8
35,5
130,4
6.
≥ 50,0
180,3
661,6
192,2
705,2
134,0
491,7
128,9
473,1

Total
306,8
1125,9
302,2
1109,2
291,5
1069,9
272,2
999,0
Pembahasan
Struktur Vegetasi
Struktur vegetasi merupakan dasar utama kajian ekologi (Kershaw, 1973), sehingga struktur vegetasi harus pertama kali diketahui dengan baik. Struktur vegetasi terdiri atas struktur horizontal atau sebaran kelas diamater dan struktur vertikal atau stratifikasi tajuk (Kusmana, 1997). Sebaran kelas diameter pada dua lokasi hutan hujan primer di Batang Toru tersebar engikuti kurva “L” (Gambar 2). Meyer (1952) menyatakan bahwa tegakan hutan dengan distribusi diameter pohon demikian merupakan hutan dalam kondisi seimbang (balanced forest), sehingga secara alami mampu menjamin keberlangsungan tegakan di masa mendatang.
Berdasarkan kelas stratifikasi tajuk hutan (Soerianegara & Indrawan, 1982), terlihat bahwa pohon hutan Batang Toru memiliki statum tajuk yang lengkap, mulai dari starum A (tinggi 30 m atau lebih) sampai starum D (tinggi 1 – 4 m). Stratum E (tinggi 0 – 1 m) biasanya diisi oleh tingkat semai dan tumbuhan perdu, dan kelompok ini tidak termasuk dalam cakupan penelitian ini. Keberadaan lapisan tajuk tersebut sangat penting dalam menunjang keanekaragaman satwa, dan sekaligus mengurangi energi kinetik air hujan yang pada akhirnya dapat mengurangi resiko erosi. Fungsi pencegah erosi tersebut semakin kuat dengan tingginya kerapatan kelas stratum C dan D serta keberadaan tumbuhan perdu dan serasah di lantai hutan, yakni berdasarkan pengamatan di lapangan, ketebalan serasah lebih dari 30 cm.

Simpanan Karbon Biomassa Hutan
Penggunaan 2 model alometrik penduga biomassa, yaitu Brown (1997) dan Katterings et al. (2001) memberikan hasil dugaan yang konsisten dan tidak berbeda. Oleh karena itu, apabila data kerapatan kayu (r) tersedia, maka persamaan Eq. 2 (Katterings et al. 2001) lebih baik digunakan, sedangkan apabila tidak tersedia maka persamaan Eq. 1 (Brown, 1997) cukup digunakan dengan hasil dugaan yang juga baik. Persamaan Eq. 2 (Katterings et al., 2001) ditujukan untuk mengurangi bias dugaan akibat adanya variasi r setiap jenis pohon, yaitu variasi r setiap jenis pohon tidak diperhitungkan dalam Brown (1997).
Nilai biomassa hutan hujan primer tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan yang diungkapkan oleh Brown (1997) bahwa potensi rata-rata biomassa di atas permukaan tanah dari hutan Indonesia yang tidak terganggu adalah sebesar 533 t/ha. Biomassa di atas permukaan tanah hutan hujan primer di Batang Toru juga lebih tinggi dibandingkan dengan hutan hujan tropis primer di kawasan Amazon yang nilainya berkisar antara 356,2-376,6 t/ha (Fearside et al., 1999, Nascimento & Laurance, 2002). Hasil pendugaan karbon tersebut juga lebih besar dibandingkan dengan hutan pada daerah subtropis (Haripriya, 2002, Helmisaari et al., 2002). Hasil ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Faeth et al. (1994) bahwa potensi pertumbuhan di hutan tropis umumnya lebih tinggi dan lebih cepat, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman.
Simpanan karbon terbesar (lebih dari 46% pada hutan Aek Silemes dan lebih dari 58% pada hutan Aek Game-game) dari keseluruhan kandungan karbon tegakan untuk hutan di Aek Game-game terdapat pada pepohonan dengan diamater di atas 50 cm (Tabel 2 dan 3), meskipun jumlah individunya hanya sekitar 2,37-3,04% dari keseluruhan kerapatan tegakan (Gambar 2). Hal ini berarti bahwa, gangguan hutan yang menyebabkan hilangnya pohon berdiameter besar berarti hilangnya sebagian besar simpanan karbon dari tegakan hutan.
Meskipun simpanan karbon jangka panjang dari produk-produk kayu termasuk salah satu kriteria yang digunakan dalam penyerapan karbon (Nabuurs & Mohren, 1995), namun ancaman kehilangan biodiversitas akibat pemanenan di Batang Toru sangat tinggi mengingat sebagian besar (90%) jenis pohon penyusun hutan di kawasan tersebut memiliki kerapatan yang sangat rendah, yakni <10 individu per ha dan frekuensi ditemukan yang juga sangat rendah, yakni <20%. Hasil penelitian Davis (2000), Muhdi et al. (2006) dan Ramos et al. (2007) menyatakan bahwa kegiatan pemanenan kayu dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) menimbulkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35%. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem hutan yang lestari untuk kawasan Batang Toru sangat penting untuk dilakukan, tidak hanya sebagai gudang karbon, namun juga untuk meningkatkan berbagai fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem tersebut.

Kesimpulan dan Saran
Hutan hujan primer di kawasan Batang Toru merupakan hutan dalam kondisi seimbang dan memiliki biomassa di atas permukaan tanah yang tinggi, yakni berkisar 551,8-623,0 t/ha. Nilai tersebut setara dengan 275,9-311,5 t C/ha dengan jumlah gas CO2 yang telah diabsorpsi oleh tegakan hutan tersebut adalah 1.012,6-1.143,2 t CO2/ha. Sebagian besar (lebih dari 45%) karbon tegakan terdapat pada pepohonan yang berdiamater 50 cm atau lebih. Oleh karena itu, upaya perlindungan hutan hujan primer yang masih tersisa di kawasan Batang Toru menjadi sangat penting, tidak hanya untuk perlindungan habitat satwa yang dilindungi dan pengaturan tata air, juga perannya dalam menyimpan karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Nilai simpanan karbon yang didapatkan merupakan kondisi dalam satu waktu dan masih di bawah total keseluruhan karbon tegakan hutan. Oleh karena itu, dalam membangun dasar yang kuat untuk memasuki pasar karbon melalui mekanisme REDD yang berlaku pada skala bentang alam, maka pada tahap selanjutnya perlu dilakukan analisis spasial dan perhitungan laju deforestasi skala bentang alam, perhitungan karbon berbasis skenario dengan atau tanpa proyek REDD dan perhitungan karbon pada empat gudang karbon (carbon pool) lainnya dalam ekosistem hutan, yaitu karbon di bawah permukaan tanah, tumbuhan bawah, serasah dan tanah.

Daftar Pustaka
Alfarado, L.X.R. & S. Wertz-Kanounnikoff. 2007. Why are we seeing “REDD”? An analysis of the international debate on reducing emissions from deforestation and degradation in developing countries. Natural Resources, IDDRI. Paris.
BMG. 2006. Informasi curah hujan bulanan tahun 2000-2005 dan harian tahun 2005 pada 3 stasiun pengamatan (Batang Toru, Gabe Hutaraja, Pinang Sori). Stasiun Klimatologi Sampali, Badan Meteorologi dan Geofisika. Medan.
Boer, R. 2004. Opsi mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Warta Konservasi Lahan Basah 12 (1): 20-21, 24
Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forest. FAO Forestry Paper 134. Rome.
Brown, S. 1999. Guidelines for inventorying and monitoring carbon offsets in forest-based projects. Winrock International. Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International, Airlington, VA, USA.
Chomitz, K. M. 2006. Policies for national-level avoided deforestation programs: a proposal for discussion. World Bank: 17.
Conservation International Indonesia, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Syiah Kuala, & Wildlife Conservation Society. 2007. Priority sites for conservation in Sumatra: key biodiversity areas. CII, Dephut RI, LIPI, Unand, Unsyiah, WCS. Jakarta, Indonesia.
Davis, A.J.  2000. Does Reduced-Impact Logging Help Preserve Biodiversity in Tropical Rainforests? A Case Study from Borneo using Dung Beetles (Coleoptera: Scarabaeoidea) as Indicators. Environmental Entomology 29 (3): 467-475.
Delaney, M. & J. Roshetko. 1999. Field test of carbon monitoring methods for home gardens in Indonesia. Dalam: Field tests of carbon monitoring methods in forestry projects. Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International, Airlington, VA, USA. h 45-51
Delaney, M. 1999. Field test of carbon monitoring methods for agroforestry in the Philippines. Dalam: Field tests of carbon monitoring methods in forestry projects. Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International, Airlington, VA, USA. h 28-32
Faeth, P., C. Cort, & R. Livenash. 1994. Evaluating the carbon sequestration benefits of forestry projects in developing country. World Resources Institute. Annapura. Nepal.
Fearnside, P.M., P.M.L.A. Graca, N.L. Filho, F.J.A. Rodrigues, & J.M. Robinson. 1999. Tropical forest burning in Brazilian Amazonia: measurement of biomass loading, burning efficiency and charcoal formation at Altamira, Para. For. Ecol. & Manage. 123: 35-79.
Haripriya, G.S. 2002. Biomass carbon of truncated diameter classes in Indian forests. For. Ecol. & Manage 168: 1-13.
Helmisaari, H.S., K. Makkonen, S. Kellomaki, E. Valtonen, & E. Malkonen. 2002. Below-and above-ground biomass, production and nitrogen use in Scots pine stands in eastern Finland. For. Ecol. & Manage 165: 317-326.
ICRAF SE Asia. 2008. Wood densitiy databese. http://www.worldagroforestry.org/sea/Products/AFDbases/WD/ [20-22 Agustus 2008]
International Panel on Climate Change. 2003. IPPC guidelines for nation greenhouse inventories : reference manual IPCC. IPCC.
Kershaw. K.A. 1973. Quantitative and dynamic plant ecology. 2nd ed. American Elsevier Publ. Co. New York
Ketterings, Q.M., R. Coe, M. van Noordwijk, Y. Ambagau, & C.A. Palm. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. For. Ecol. & Manage 146: 199-209
Kusmana, C. 1997. Metode survey vegetasi. IPB Press. Bogor
Meyer, H.A. 1952. Structure, growth, and drain in balanced uneven-aged forests. J. For. 50 (2): 85-92.
Mirbach, Mv. 2000. Carbon budget accounting at the forest management unit level: an overview of issues and methods. Canada’s Model Forest Program, Natural Resources Canada, Canadian Forest Service. Ottawa.
Muhdi, Elias & S. Manan. 2006. Dampak Pemanenan Kayu Berdampak Rendah dan Konvensional Terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal di Hutan Alam (Studi Kasus dai Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, West Kalimantan). J. Manaj. Hut. Trop. 12 (3): 78-87. 
Myers, E.C. 2007. Policies to reduce emissions from deforestation and degradation (REDD) in tropical forests: an examination of the issues facing the incorporation of REDD into market-based climate policies. Resources for the Future RFF DP 07-50. Washington DC.
Nabuurs, G.J., & G.M.J. Mohren. 1995. Modeling analysis of potential carbon sequestration in selected forest type. Can. J. For. Res. 25: 1157-1172
Nascimento, H.E.M. & W.F. Laurance. 2002. Total aboveground biomass in central Amazonian rainforests: a landscape-scale study. For. Ecol. & Manage. 168: 311-321.
Newman, M.F., P.F. Burgess, & T.C. Whitmore. 1999. Pedoman identifikasi pohon-pohon Dipterocarpaceae Sumatera. Prosea Indonesia. Bogor.
Powel, M.H. 1999. Effect of inventory precision and variance on the estimated number of sample plots and inventory variable cost: the Noel Kempff Mercado climate action project. Winrock International. Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International, Airlington, VA, USA.
Prosea. 1994. Plant resources of South-east Asia 5. (1) Timber trees: major commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia, 610 pp
Prosea. 1995. Plant resources of South-east Asia 5. (2) Timber trees: minor commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia, 655 pp
Prosea. 1996. Plant resources of South-east Asia 5. (2) Timber trees: lesser-know timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia, 655 pp
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Peta Tanah Pulau Sumatera. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Ramos, C.A., O. Carvalho, & B.D. Amaral.  2006.  Short-term effects of reduced-impact logging on eastern Amazon fauna.  For. Ecol. & Manage. 232 (1): 26-35.
Reyes, G., S. Brown, J. Chapman, & A. E. Lugo, 1992. Wood densities of tropical tree species. USDA Forest Service, General Technical Report SO-88, Southern Forest Experiment Station, New Orleans, Louisiana, USA
Sambas, E.N. 1999. Flora Hutan Tepi Sungai Alas, Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser. Dalam: Partomihardjo, T., Y. Purwanto, S. Handini, Koestoto, H. Julistiono, D. Agustiyani, F. Sulawesty, & T. Widiyanto (eds.). Laporan Teknik 1998/1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI. Bogor. h. 1-6
Santilli M., P. Moutinho, S. Schwartzman, D. Nepstad, L. Curran, & C. Nobre. 2005. Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climate Change 71: 267-276.
Schmidt, F.G. & J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types on wet and dry period ratios for Indonesia western New Guinea. Verhandel. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta.
Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1982. Ekologi hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Streck, C. 2007. Expanding the carbon market to include REDD?. Paper presented at 13th COP of UNFCC in Bali, 6 December 2007
World Bank. 2007. Forest carbon partnership facility concept note. Washington, DC.
Yusuf, R., Purwaningsih, & Gusman. 2005. Komposisi dan struktur hutan vegetasi hutan alam Rimbo Panti, Propinsi Sumatera Barat. Biodiversitas 6 (4): 266-271


©  Jl Tri Dharma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155. Telepon +62-61-8220605, HP. +6281314769742,   E-mail: onrizal03@yahoo.com; onrizal@usu.ac.id