Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Wednesday 25 May 2011

Refleksi Deklarasi Kesepakatan Konservasi ”Tanjung Rompa” dan Usulan Rancangan Keputusan Bersama Badan Kerjasama Desa Pelestarian Hutan DAS Batang Toru


Refleksi Deklarasi Kesepakatan Konservasi ”Tanjung Rompa”
dan Usulan Rancangan Keputusan Bersama
Badan Kerjasama Desa Pelestarian Hutan  DAS Batang Toru[1]

Erwin A Perbatakusuma,  Abdulhamid Damanik dan Abu Hanifah Lubis[2]

1.            PENDAHULUAN
Hutan alam di kawasan Daerah Aliran Sungai Batang Toru yang meliputi tiga kabupaten (Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah), telah diketahui merupakan kawasan penting bagi pelestarian keanekargaman hayati dan sistem pendukung kelangsungan sumber penghidupan masyarakat luas. Kawasan ini dikepung oleh kurang lebih 344.520 jiwa atau 81.870 Kepala Keluarga yang tergantung dan  menerima manfaat dari keberadaan dan kelestarian kawasan hutan ini, seperti ketersediaan air, keseimbangan iklim. Fakta ini menunjukan bahwa adanya karakter saling mempengaruhi dan saling ketergantungan antara kehudupan masyarakat sekitar hutan dengan kondisi kesehatan hutan alam.  


Tetapi, cara pandang dalam pengelolaan kawasan selama ini yang dilakukan pemerintah menyebabkan masalah-masalah pengelolaan kawasan hutan kurang terselesaikan, bahkan semakin akut.  Padahal, daerah penyangga, yaitu kawasan pedesaan yang menjadi tetangga kawasan hutan merupakan Daerah Interaksi yang dapat dikelola sebagai modal sosial oleh pihak pengelola kawasan hutan. Dengan demikian, masyarakat setempat diposisikan bagian dari jalan keluar permasalahan pengelolaan kawasan hutan, bukan sebagai dari persoalan itu sendiri.

Prakarsa dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna  kegiatan pelestarian hutan Batang Toru melalui pembentukan Badan Kerjasama Desa  sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Kesepakatan Konservasi “Tanjung Rompah” merupakan langkah untuk merubah cara pandang  dan pelaksanaan kegiatan pelestarian kawasan hutan Batang Toru berbasis desa.

Kertas kerja ini akan menjelaskan latar belakang kepentingan upaya pelestarian kawasan hutan Batang Toru berbasis pedesaan atau masyarakat lokal. Dalam kertas kerja ini juga dipaparkan upaya tindak lanjut yang dibutuhkan dalam membangun, mendorong dan memperkuat komitmen kerjasama antar desa dalam pelestarian hutan Batang Toru.

2.            KONDISI INTERAKSI HUTAN BATANG TORU DENGAN MASYARAKAT DAN REFLEKSI DEKLARASI TANJUNG ROMPAH

2.1.                      Profil Interaksi Hutan Batang Toru - Masyarakat

Adanya interaksi antara hutan dan masyarakat ditunjukan dengan terdapatnya 60 Sub Daerah Aliran Sungai di dalam dan di sekitar kawasan hutan Batang Toru bagian Barat,  dengan total luasan daerah sebesar 211,690 hektar. Beberapa sub daerah aliran sungai (sub DAS) yang berada di dalam kawasan Hutan Batang Toru memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat di sekitarnya, dimana keberlanjutan dari pembangkit listrik tenaga air sebesar 55 MW di Tapanuli Tengah, tenaga geotermal 300 MW di Tapanuli Utara dan sektor pertanian masyarakat sangat tergantung dari keberadaan jasa lingkungan jangka panjang yang dihasilkan oleh hutan yang ada di dalamnya.
Dari sisi system tata air, pola aliran sungai di Ekosistem Batang Toru mengikuti pola paralel, artinya pola aliran sungai bentuknya memanjang ke satu arah dengan cabang-cabang sungai kecil yang datangnya dari arah lereng-lereng bukit terjal kemudian menyatu di sungai utamanya, yaitu Batang Toru yang mengalir di lembahnya. Pola aliran ini mempunyai resiko membawa bencana banjir dan longsor yang tinggi, jika terjadi pembalakan kayu, konversi hutan alam atau pembuatan jalan memotong punggung bukit yang menyebabkan aliran sungai di daerah hulu tersumbat kayu, batuan dan tanah dan selanjutnya akan membentuk bendungan alam dengan tenaga perusak yang besar bagi daerah di hilir dan lembah dalam bentuk kejadian banjir gelodo atau banjir yang disertai limpasan material batuan dan tanah. Contoh kasus dapat dibuktikan dengan banjir badang pada tahun 2009 di Desa Sibulan-bulan.

Hubungan (interaksi) antara masyarakat setempat dengan Hutan batang Toru didemontrasikan dengan bukti pada tahun 2003 saja, diperkirakan jumlah penduduk yang berdomisili di sekitar kawasan hutan Batang Toru mencapai 38.622 jiwa atau 10.316 kapala keluarga, yang masuk ke dalam 53 desa pada 10 kecamatan di tiga kabupaten. Dimana, 21 desa masuk ke Kabupaten Tapanuli Selatan, 28 desa masuk ke Kabupaten Tapanuli Utara dan yang berada di Kabupaten Tapanuli Tengah sebanyak 4 desa. Penduduk yang mendiami kawasan di sekitar hutan Batang Toru umumnya berasal dari kawasan dataran tinggi sekitar Danau Toba dan wilayah Tapanuli Selatan, serta pendatang dari Pulau Nias.

Diperkirakan interaksi hutan dengan masyarakat telah terjadi sejak awal abad ke-19, hutan Batang Toru telah dimanfaatkan oleh penduduk di sekitarnya untuk menyokong penghidupan mereka, seperti: agroforestri (kebun campur) yang berbasis pada komoditas kemenyan, kopi dan karet. Intensitas pemanfaatan lahan sangat beragam mulai dari sawah, kebun campur dan hutan kemasyarakatan. Di beberapa lokasi, dirasakan masih cukup kuat sistem kepemilikan secara adat. Ditambahkan oleh Budidarsono (2006), bahwa 90% penduduk di sekitar kawasan hutan Batang Toru telah mengembangkan berbagai bentuk sistim pertanian berbasis pohon yang secara dinamis menyesuaikan kondisi kelerengan yang curam dengan tanah relatif kurang subur. Bentuk sistim-sistim pertanian berbasis pohon tersebut berupa agroforestri/ wanatani karet tua, agroforestri durian, monokultur karet, pekarangan rumah berbasis tanaman coklat, agroforestri pinang–coklat, agroforestri gmelina–jati–kayu manis, agroforestri padi ladang–pisang–ubi–coklat, monikultur kopi arabika, agroforestri pisang–coklat, agroforestri rambutan–durian–coklat, agroforestri jeruk–coklat, agroforestri kemenyan–kopi arabika, agroforestri salak–durian, agroforestri karet–salak, agroforestri salak–karet, monokultur salak dan monokultur kayu manis. Banyak kebun campur tua yang kurang terkelola, namun menjadi habitat orangutan Sumatera. Pertanian berbasis pohon tersebut memiliki implikasi selain menjadi sumber penghidupan masyarakat, juga mempunyai fungsi jasa lingkungan konservasi tanah dan air serta menjaga keragaman hayati.

Kawasan hutan di Ekosistem batang Toru yang ditunjuk atau ditetapkan sebagai Kawasan-kawasan  Hutan Lindung, Hutan Konservasi maupun Hutan Produksi, pada tataran masyarakat umumnya, belum dianggap dan dihargai sebagai bagian dari mitra penting dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan yang dilakukan pemerintah.  Selama ini mereka dipandang, bukan  merupakan bagian dari solusi, tetapi justru dianggap menjadi bagian dari permasalahan kerusakan hutan. Disamping itu, cara pandang pendekatan “pengamanan sepihak” yang dilakukan oleh pemerintah ataupun Polisi Kehutanan, kerapkali mendominasi dan digunakan dalam mencari jalan keluar dalam perlindungan kawasan hutan.  Cara pandang lainnya adalah rendahnya pemahaman tentang perubahan-perubahan yang berinteraksi pada aspek sosial, ekonomi, budaya lokal, serta aspek kesejarahan hubungan interaksi masyarakat dengan kawasan hutan dan akhirnya  terjebak pada pola pengelolaan yang cenderung membatasi diri agar tidak keluar dari batas kawasan hutan. Pengelolaan kawasan hutan condong mengutamakan aspek-aspek melindungi, mengamankan flora dan fauna, tanpa memberikan jalan keluar hal-hal apa saja yang dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan dari modal alam yang ada di dalam kawasan hutan tersebut. Sehingga di lapangan menimbulkan berbagai tafsir tentang apa yang boleh dan tidak boleh dimanfaatkan, bagaimana caranya, dan seterusnya.

Masalah paling mendesak yang menuntut perhatian utama dalam pelestarian dan perlindungan Kawasan Hutan Batang Toru adalah menangkal pengaruh-pengaruh yang mengarah pada kepunahan dan hilangnya keanekaragaman biologis dan habitat alamiah serta hilangnya pemeliharaan terhadap proses-proses jasa-jasa lingkungan dari Hutan Batang Toru, seperti pembunuhan fauna flora berlebihan, kehancuran dan terpecahnya habitat alami, pencemaran, masuknya jenis-jenis asing dan kepunahan sekunder sebagai akibat adanya kepunahan jenis asli. Dan ancaman kepunahan ini sebagian besar sangat dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian  di kawasan budidaya.  Karena pada kenyataannya, diperkirakan, hampir sebagian besar kawasan Batang Toru atau sekitar  90 – 10%  bersinggungan langsung dengan kawasan budidaya, seperti pertanian lahan kering, pertanian sawah, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, pertambangan, instalasi pembangkit tenaga listrik dan perkebunan besar swasta. Kawasan ini dapat dikenal sebagai Daerah Interaksi Hutan – Masyarakat (forest-people interaction zone).

Bukti interaksi antara kawasan budidaya dengan hidupan satwa liar, misal dapat dirujuk dari kondisi penyebaran orangutan Sumatera. Hampir semua posisi orangutan dekat dengan akses yang digunakan masyarakat apakah itu jalan utama bahkan jalan yang digunakan masyarakat untuk beraktivitas di sekitar hutan. Dari posisi jalan pengerasan (jalan utama), lokasi Lobusingkam dan Uluala kelihatannya yang relatif lebih jauh dari posisi orangutan. Akan tetapi di dua lokasi tersebut sudah ada jalan pengerasan dan jalan logging eks PT. Teluk Nauli yang menghubungkannya dengan jalan utama. Dari semua lokasi, posisi orangutan terhadap permukiman penduduk relatif dekat. Sehingga orangutan sering kelihatan dan bahkan memasuki kebun-kebun penduduk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sumber pakan mereka di lokasi tersebut sudah sangat minim sehingga mereka mencoba mencari sumber makanan ke lokasi yang berdekatan dengan permukiman. Keberadaan populasi orangutan di Blok Batangtoru Barat sangat mengalami tekanan yang datangnya dari hampir semua arah. Tekanan tersebut berupa dampak aktivitas manusia yang berdampak pada kerusakan hutan dimana itu merupakan habitat dari orangutan.

Ancaman lain datang dari semakin dekatnya posisi permukiman dan akses jalan penduduk dengan posisi keberadaan orangutan itu sendiri. Dengan semakin dekatnya jarak permukiman, penduduk pada wilayah tersebut akan semakin agresif dalam melakukan kegiatan-kegiatan pertanian kedalam hutan dan mengambil hasil hutan. Demikian halnya dengan jalan yang akan membuka akses ke habitat orangutan. Beberapa hal itu akan berdampak semakin tingginya potensi interaksi kontra produktif antara manusia dan populasi orangutan. Terlebih lagi masih banyak persepsi dimasyarakat bahwa orangutan dapat mengancam keselamatan penduduk dan menjadi satwa penganggu tanaman budidaya yang berpotensi terhadap tindakan kekerasan terhadap orangutan oleh manusia berupa perburuan dan pembunuhan,

Bukti adanya hubungan yang erat antara aktivitas ekonomi masyarakat dengan kawasan hutan Batang Toru juga diperlihatkan dari perubahan kondisi tutupan hutannya akibat penggundulan hutan (deforestasi) yang disebabkan perluasan lahan pertanian, pertambangan, pembangunan infrastruktur pembangkit listrik dan jalan serta usaha pemanfaatan hasil hutan kayu oleh perusahan. Pada tahun 1990 sampai 2000 ditemukan pembukaan hutan seluas 6,34 km2.  Ditambahkan, nilai rata-rata pembukaan hutan dari tahun 1990 – 2007 adalah 142 hektar pertahun dan apabila kegiatan pembukaan hutan ini tidak dapat dicegah, maka diperkirakan pada tahun 2015, kawasan Batang Toru akan kehilangan hutan seluas 700 sampai 1600 hektar (Perbatakusuma, et al, 2007)

Merujuk dari interaksi yang terjadi di Kawasan Hutan Batang Toru, maka strategi pengelolaan kawasan hutan ke depan, pengelolaannya harus lebih ditujukan untuk memperhatikan faktor-faktor di luar batas fisik kawasan hutan atau penglihatan keluar (outward looking). Dengan membangun jaringan kerjasama (kolaborasi) dengan para pihak kunci, diharapkan  diperoleh berbagai solusi praktis, realistis, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan. Dan ketika masyarakat setempat telah diperkuat dan terorganisasi dengan baik (well-organized) dan memperoleh manfaat langsung dan nyata dari keberadaan kawasan hutan yang akhirnya mekanisme pengamanan kawasan hutan menjadi otomatis dipikul bersama dengan Pemerintah. Mereka akan menjadi “penyangga sosial” yang efektif di lapisan paling depan untuk menjaga kawasan hutan Batang Toru dan mendapatkan manfaat langsung dan nyata dari keberadaan kawasan hutan yang terjaga dan lestari itu. Apabila hal ini terjadi, maka hasil guna dan daya guna pengelolaan kawasan hutan dapat diharapkan terjadi.

Uraian kondisi interaksi antara hutan dengan masyarakat yang dijelaskan diatas, membenarkan bahwa jaringan kerjasama antar desa dalam pelestarian hutan Batang Toru menjadi suatu kebutuhan dan salah satu pilihan yang tepat pada kondisi kemajemukan permasalahan pengelolaan kawasan hutan di Batang Toru.

2.2  Refleksi Deklarasi Kesepakatan Konservasi “Tanjung Rompah”  :  Kemana
        Harus  Melangkah ?

Berdasarkan Deklarasi “Tanjung Rompah” yang ditetapkan pada tanggal 5 Maret 2009 di Desa Tanjung Rompah, kerjasama antar desa untuk pelestarian kawasan hutan Batang Toru telah dilembagakan dengan pembentukan Badan Kerjasama Desa Pelestarian Ekoistem Hutan Daerah Aliran Sungai Batang Toru.  Badan inilah nantinya yang diharapkan melaksanakan strategi-strategi yang telah dibangun bersama. Proses ini dapat disebut Tahapan Persiapan Kemitraan Para Pihak dalam kaitannya membangun kolaborasi antar desa.

Adalah penting sebelum memasuki tahapan pelaksanaan kerjasama, yaitu melakukan tahapan proses mengembangkan rencana dan kesepakatan bersama. Proses ini meliputi membangun visi, misi, nilai-nilai oragnisasi dan strategi bersama, rencana strategis, menyusun program bersama dan penyusunan struktur organisasi, pembagian peran dan tanggungjawab dan penyusunan aturan organisasi. Hal-hal diatas dituangkan dalam Keputusan Bersama Kepala Desa tentang Badan Kerjasama Desa Pelestarian Hutan Batang Toru.

Kelembagaan kerjasama antar desa yang bersifat multi pihak harus memiliki nilai-nilai organisasi (value). Nilai-nilai inilah yang akan selalu menjadi “roh organisasi”. Nilai adalah sesuatu yang setiap orang berkeinginan untuk mendapatkannya, sesuatu yang  diharapkan bersama. Oleh karenanya, nilai-nilai ini juga sesuatu yang harus menjadi pedoman bagi setiap personil dalam melakukan semua langkah yang dilakukannya. Beberapa contoh dari nilai-nilai suatu organisasi itu misalnya “transparansi” atau keterbukaan atau ‘akuntabilitas’ Apabila suatu organisasi sepakat menjalankan nilai ini, maka setiap langkahnya, lembaga harus selalu memegang nilai ini. Nilai ini misalnya akan diwujudkan dalam proses perencanaan program yang dilakukan secara lebih terbuka, agar terbangun agenda bersama. Lembaga yang tidak menganut nilai ini akan selalu tertutup di dalam setiap langkahnya. Kita mengetahui banyak sekali lembaga yang bersifat ‘menyendiri-tertutup’ seperti ini. Nilai lain misalya ‘networking’ atau jaringan kerja. Bila organisasi memiliki nilai ini, maka di setiap langkahnya akan selalu mencari mitra dalam bekerja, bahkan sejak dalam perencanaan program sudah dimulai dicari siapa saja mitra yang tertarik dengan bidang yang sedang direncanakan. Nilai lainnya, contohnya “keberpihakan pada pelestarian alam dan masyarakat miskin” Pola ini akan merubah total ‘citra’ lembaga kerjasama desa menjadi lebih kesetaraan-terbuka-luwes-berkelanjutan, tanpa harus kehilangan identitasnya.

Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode   perencanaan. Visi adalah merupakan representasi dari keyakinan kita tentang bagaimana seharusnya bentuk pengelolaan Kawasan Hutan Batang Toru pada masa depan dalam pandangan para pihak. Visi bisa bersifat intuitif pada awal mulanya. Visi sebaiknya dirumuskan oleh para pihak. Proses untuk mendapatkan kesepakatan ini seringkali memerlukan waktu lama. Namun hasilnya diharapkan merupakan hasil kesepakatanyang menjadi  impian atau cita-cita bersama.

Selanjutnya misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan
untuk mewujudkan visi. Diartikan pula sebagai langkah-langkah lembaga secara garis besar dalam kurun waktu tertentu dalam mencapai visinya. Misi juga harus menunjukkan “daftar dan lingkup” kegiatan utama lembaga kolaborasi pengelolaan. Misi dirancang untuk memberikan tuntunan yang teguh dalam pengambilan keputusan manajemen yang penting.  Pernyataan misi harus bisa menjawab empat pertanyaan yang mengandung alasan mengapa organisasi itu ada : Siapa kita? Apa yang kita lakukan? Untuk siapa kita melakukannya? Mengapa kita melakukannya?

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pernyataan misi memiliki fungsi: Pertama, menetapkan  sasaran organisasi. Kedua, bermanfaat untuk mengkoordinasikan tindakan dan usaha.  Dan selanjutnya strategi adalah langkah-langkah atau upaya taktis berisikan program program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.

3.            ASPEK LEGAL  DAN USULAN RANCANGAN KERJASAMA ANTAR DESA

3.1 ASPEK YURIDIS

Kerjasama antar desa dan pembentukan Badan Kerjasama Desa dalam aturan yang berlaku dijamin pada pasal 204  dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.

Pasal 214
(1) Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat.
(2)…...
(3) …..
(4) Untuk pelaksanaan kerja sama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat,(2), dan ayat (3) dapat dibentuk badan kerja sama.



Selanjutnya bidang kerjasama desa diatur lebih lanjut dalam dalam Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 2007 tentang Kerjasama Desa. Dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri tersebut dinyatakan bahwa kerjasama desa adalah suatu rangkaian kegiatan bersama antar desa atau desa dengan pihak ketiga dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.  Secara terperinci kerjasama desa diatur pada pasal-pasal  dalam Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai berikut:

Pasal 82
(1) Desa dapat mengadakan kerjasama antar desa untuk kepentingan desa masing-masing.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang membebani masyarakat dan desa harus mendapatkan persetujuan Badan Perwakilan Desa.
(3) Kerjasama antar desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 83
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) ayat (3) berlaku juga bagi desa yang melakukan kerja sama dengan pihak ketiga.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang :
a. peningkatan perekonomian masyarakat desa;
b. peningkatan pelayanan pendidikan;
c. kesehatan;
d. sosial budaya;
e. ketentraman dan ketertiban; dan/atau
f. pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi tepat guna dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.

Tak kalah pentingnya bahwa arah pembangunan kawasan pedesaan sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 51 Tahun 2007 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat.  Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masayarakat  atau disingkat PKPBM adalah pembangunan yang merupakan hasil perencanaan pembangunan yang dilakukan bukan berdasarkan unit administrative desa, melainkan atas dasar kesamaan fungsi kawasan perdesaan dan pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan atas prakarsa  masyarakat meliputi penataan ruang secara partisipatif, pengembangan pusat pertumbuhan terpadu antar desa, dan penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan.

Dalam pasal 3 Peraturan Menteri tersebut selain prinsip-prinsip keadilan, keanekargaman, tranparan, akuntabel, keberpihakan, sinergis dan, partisipatif, dinyatakan beberapa prinsip terkait dengan pelestarian lingkungan yaitu :

1)       Prinsip holistik bahwa PKPBM dilakukan melalui upaya yang mampu merespon permasalahan masyarakat perdesaan yang multi dimensional meliputi dimensi sosial budaya, kelembagaan, ekonomi, sumber daya alam, lingkungan dan infrastruktur.
2)       Prinsip keseimbangan bahwa PKPBM menekankan keharmonisan antara  pencapaian tujuan ekonomi dalam rangka menciptakan kemakmuran bagi masyarakat banyak dan tujuan sosial dalam bentuk memelihara kelestarian lingkungan serta konservasi sumber daya alam.
3)       Prinsip keterkaitan ekologis bahwa PKPBM dilakukan dengan memperhatikan  keterkaitan antara satu tipologi kawasan pertanian terkait dengan kawasan lindung dan sebagainya.


3.2. RANCANGAN KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA DESA TENTANG BADAN
         KERJASAMA DESA PELESTARIAN HUTAN BATANG TORU

Merujuk Pasal 8 dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 2007 tentang Kerjasama Desa, bahwa kerjasama antar desa ditetapkan dengan Keputusan Bersama dan dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan kerjasama .

Pada Pasal 9 pada aturan yang sama bahwa usulan rancangan Keputusan Bersama setidak-tidaknya memuat aspek-aspek sebagai berikut :

a.         Landasan pemikiran penerbitan Keputusan Bersama
b.        Landasan hukum
c.         Maksud dan tujuan kerjama
d.        Nilai-nilai kerjasama
e.         Ruang lingkup kerjasama
f.          Bidang Kerjasama
g.         Tata cara dan ketentuan pelaksanaan keIjasama;
h.        Jangka waktu
i.           Hak dan kewajiban
j.           Pembiayaan
k.         Tata cara perubahan, penundaan dan pembatalan
l.           Penyelesaian perselisihan
m.      Lain-lain ketentuan yang diperlukan.

Usulan Rancangan Keputusan Bersama Kepala Desa tentang Badan Kerjasama Desa Pelestarian Hutan Batang Toru, secara terperinci dapat dilihat pada lampiran kertas kerja ini.

4.            RUJUKAN PUSTAKA

Perbatakusuma, Erwin A, Damanik A, Soedjito, H, Lubis, S, Lubis, A.H, Hasibuan, O dan Wicaksana, D  (Eds).  2009. “Perencanaan Konservasi Partisipatif untuk Pelestarian Hutan Batang Toru”. Proseding. Laporan Lokakarya. Conservation International, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara, Medan.
Perbatakusuma, Erwin, Dewantara B, Wijayanto, I, Kemp, N, Damanik, A, Tamura, Y, Yatori, Y, Hibi, Y, Samsoedin I and Heriyanto NM. (2008) A Feasibility Assessment for Calculating Carbon Stock in The Batang Toru Forest Ecosystem for REDD Opportunity. Research Report to Japan Bank for International Development Conservation nternational, Jakarta, Indonesia

Perbatakusuma, Erwin. A, Supriatna, Jatna, Siregar, Rondang S.E, Wurjanto, Didy, Sihombing, Luhut, dan Sitaparasti, Dhani (2006): Mengarustamakan Kebijakan Konservasi Biodiversitas dan Sistem Penyangga Kehidupan di Kawasan Hutan Alam Sungai Batang Toru Provinsi Sumatera Utara. Laporan Teknik. Program Konservasi Orangutan Batang Toru. Conservation International Indonesia – Departemen Kehutanan. Pandan.

Perbatakusuma, Erwin. A, Supriatna, Jatna, Wurjanto. Didi, Supriadi. Prie, Ismoyo. Budi, Wiratno, Sihombing. Luhut, Wijayanto. Iwan, Widodo. Erwin. S, Manullang.Barita O, Siregar. Safaruddin, Damanik. Abdulhamid dan Lubis. Abu, H. (2005): Bersama Membangun Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Naskah Kebijakan Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing – Natal dan Conservation International Indonesia. Jakarta.



[1] Kertas kerja disampaikan dalam Lokakarya dan Rapat Umum I ” Penguatan Kapasitas Kelembagaan Badan Kerjasama Desa Badan Kerjasama Desa Pelestarian Ekosistem Hutan DAS Batang Toru.
[2] Penggiat konservasi bekerja di Conservation International Indonesia – Program Sumatera