Pertambangan Emas dan Pemusnahan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Batang Gadis dan Konsekuensi Hukumnya
Erwin A Perbatakusuma, Luhut Sihombing , Didi Wurjanto, Erwin S Widodo dan Abu Hanifah Lubis
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki posisi penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia, karena Indonesia adalah menduduki peringkat kedua dari sepuluh negara di dunia yang mempunyai keanekaragaraman hayati tertinggi di dunia (Mittermeier, dkk, 1997). Dan negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati. Disisi lain Indonesia yang kini memiliki lebih dari 500 spesies satwa dan 58 jenis tumbuhan dilindungi dan terancam punah, sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Tetapi, aktivitas manusia telah menghilangkan keanekaragaman hayati dalam jumlah yang sulit diukur dan tidak dapat diprediksi nilai kerugian sosial, ekonomi dan ekologisnya. Diperkirakan 15 - 20 % dari 10 juta sampai 30 juta spesies tumbuhan dan satwa di dunia punah antara tahun 1980 sampai 2000. Ditaksir ratusan jenis akan punah setiap hari dalam 20 - 30 tahun yang akan datang. Hilangnya habitat masih merupakan penyebab utama kepunahan keanekaragaman hayati. Ironisnya kepunahan tertinggi justru menimpa daerah tropis, yang merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia di mana dua pertiga kekayaan keanekaragaman hayati dunia berada (Ledec and Goodland, 1992).
Salah satu aktifitas manusia yang dapat memusnahkan kekayaaan keanekaragaman hayati adalah kegiatan pertambangan emas di kawasan hutan alam. Karena kegiatan ini berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan penghilangan habitat alamiah bagi kelangsungan hidupan liar dan kepentingan kelangsungan jasa-jasa ekologis penting lainnya, seperti tata air, simpanan karbon, penjaga kesuburan tanah dan pengatur iklim.
Pemaparan ini menguraikan keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati TNBG serta implikasi hukumnya, ketika terjadi pemusnahan keanekaragaman hayati oleh kegiatan-kegiatan ekonomi yang berkarakter ekstraktif eksploitatif, seperti halnya yang akan direncanakan oleh PT. Sorikmas Mining (PT.SMM) di dalam kawasan TNBG.
KONTEKS HUKUM PEMBENTUKAN TNBG DAN TUMPANG TINDIH KAWASAN EKSPLORASI DENGAN TNBG
Pembentukan TNBG awalnya bersumber dari keinginan kuat dan diprakasai oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Mandailing Natal (Madina) pada tahun 2003. Prakarsa ini direspon positif oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Departemen Kehutanan. Akhirnya, pada tanggal 29 April 2004 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut-II/2004 mengenai pembentukan TNBG. Landasan hukum TNBG semakin diperkuat dengan adanya Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 Hektar.
Dalam konteks masalah tumpang tindih antara kawasan eksplorasi PT. SMM dengan pembentukan Kawasan TNBG, sebenarnya Departemen Kehutanan sudah mengikuti prosedur yang berlaku dalam pembentukan TNBG. Penunjukan TNBG dilakukan pada saat izin prinsip penggunaan kawasan hutan yang diberikan kepada PT. SMM melalui Surat Depertemen Kehutanan No.804/A/VIII/1998 sudah habis masa berlakunya pada tanggal 16 Desember 1999. Izin ini tidak diperpanjang lagi sampai saat penunjukan TNBG pada tahun 2004. Penegasan dilarangnya kegiatan eksplorasi pertambangan emas di TNBG dikuatkan dengan adanya Surat Menteri Kehutanan No. S.25/Menhut-VII/2005 tanggal 25 Januari 2005 yang menjelaskan lokasi kontrak karya PT. SMM seluas ± 33.721 hektar tidak dapat dilakukan kegiatan eksplorasi pertambangan.
Adalah suatu kenyataan kebijakan pembentukan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang luasnya 108.000 hektar, tumpah tindih dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, Keputusan Presiden No. 41 /2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang berada di Kawasan Hutan yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1999 pada butir kedua dinyatakan bahwa pelaksanaan usaha bagi 13 (tiga belas) perizinan atau perusahaan di bidang pertambangan di Kawasan Hutan Lindung didasarkan pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Berdasarkan kebijakan tersebut Menteri Kehutanan adalah pihak yang paling berwenang untuk memberikan izin kegiatan eksplorasi/studi kelayakan dan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan eksploitasi, produksi dan kontruksi pertambangan.
Hal itu dilandasi melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan. Tetapi dalam Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1999 maupun Peraturan Menteri Kehutanan hanya berlaku untuk Kawasan Hutan Lindung, tidak untuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seperti halnya TNBG. Artinya, secara subtansi kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan oleh PT SMM adalah dilarang di dalam Kawasan Pelestarian Alam TNBG dan hanya diperbolehkan di kawasan hutan lindung yang kewenangan pemberian izinnya pada Menteri Kehutanan atau areal penggunaan lain yang kewenangan pemberian izinnya pada Pemerintah Daerah. Hal itu pun tidak dapat dilakukan dengan pola pertambangan secara terbuka, karena dalam Perpuu No. 1 Tahun 2004 tidak menyebutkan secara eksplisit, bahwa pertambangan terbuka di hutan lindung diizinkan, sehingga bagi para pelaku pertambangan yang ingin melakukan operasi pertambangan secara terbuka di hutan lindung hal tersebut tetap merupakan tindakan yang ilegal dan melanggar hukum.
Berlakunya Undang-undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, tidak begitu saja dapat menggugurkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut-II/2004. Berdasarkan Pasal 7 (4) dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004, kedudukan Keputusan Menteri Kehutanan tetap diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Ekosistemnya, Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Disisi lain, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 pada Pasal 9 menyatakan bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu termasuk dengan konservasi sumberdaya hayati dan keanekaragaman hayati. Dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa usaha yang mempunyai dampak besar terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal dan upaya pengelolaan lingkungan hidup.
Kegiatan eksplorasi, apalagi kegiatan eksploitasi pertambangan emas di Kawasan Pelestarian Alam memiliki dampak penting bagi perubahan lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat setempat. Ditambahkan, karena kawasan hutan alam TNBG yang dimintakan izin penggunaaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi oleh PT. SMM lebih besar dari 5000 hektar, yaitu seluas 33.721 hektar, maka menurut perundangan peraturan lingkungan hidup yang berlaku, khususnya Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), PT. SMM diwajibkan melakukan penyusunan AMDAL dan Rencana Pengelolaan Lingkungan dalam kegiatan eksplorasi pertambangan emas. Tetapi kewajiban ini belum pernah dilakukan oleh PT. SMM .
Disisi lain adalah suatu kewajiban bagi PT. SMM untuk mengikuti kebijakan Republik Indonesia yang berlaku saat ini. Karena dalam satu satu klausul Kontrak Karya PT. SMM yang ditanda-tangani Presiden RI pada tanggal 19 Januari 1998, yaitu pasal 20 (1) dinyatakan bahwa “ perusahaan sesuai dengan perundang-undangan perlindungan lingkungan hidup dan suaka alam yang berlaku dari waktu ke waktu di Indonesia, harus melakukan kegiatannya menurut Persetujuan ini sedemikian rupa untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup …..” Sehingga berdasarkan klausul ini, PT. SMM mempunyai kewajiban untuk mengikuti perubahan kebijakan Republik Indonesia saat ini dengan adanya pembentukan TNBG dan kewajiban melaksanakan AMDAL yang bertujuan untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup.
RONA KEKAYAAN DAN KEUNIKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
TNBG terletak di dalam Kawasan Koridor Biodiversitas Belantara Angkola. Di daerah ini hidup semua jenis hidupan liar yang spektakuler di Sumatera seperti harimau, tapir, siamang dan mungkin badak (Rijksen et al., 2001). Dari kawasan inilah jenis satwa orangutan pertama kali dideskripsikan dalam dunia ilmu pengetahuan modern pada tahun 1641 (Wich et al. 2003).
Keunikan dan variasi geomormologis di Kabupaten Madina, termasuk TNBG memiliki konsekuensi di daerah ini mengandung variasi-variasi habitat yang kaya, seperti hutan rawa dataran tinggi, lahan basah, lembah sungai, hutan gamping, hutan dataran rendah perbukitan dan hutan pegunungan. Adanya variasi habitat ini tentunya lebih dapat mendukung hidupan liar dan keanekaragaman hayati yang sangat kaya.
Kawasan hutan tropis yang menjadi kawasan TNBG berdasarkan Peta Vegetasi Sumatera yang disusun oleh Laumonier et al. (1986) dapat dikategorikan menjadi 2 sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub-tipe Formasi Air Bangis – Singkil yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi menengah (300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut). Kedua, sub-tipe Hutan Montana (1000 – 1800 meter di atas permukaan laut) yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan laut. Berdasarkan analisa peta citra satelit, diantaranya, 50 % atau sekitar 53.000 hektar merupakan hutan dataran rendah dengan Sub-tipe Formasi Air Bangis – Singkil.
Kondisi historis geomorfologis yang mencakup TNBG menyebabkan terjadi pemisahan unit penyebaran fauna (zoogeografi) sebagai akibat adanya perintang geografis (geographical barriers), seperti pegunungan atau sungai. Kabupaten Madina dimasukkan dalam Unit Zoogeografi Danau Toba bagian Selatan. Unit ini berbatasan langsung dengan Unit Zoogeografi Danau Toba bagian Utara, Unit Zoogeografi Pasaman dan Unit Zoogeografi Barumun – Rokan (Perbatakusuma, et al, 2004).
Riset biodiversitas telah dilakukan oleh Pusat Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Conservation International Indonesia, BKSDA Sumatera Utara II dan Pemerintah Kabupaten Madina. (Perbatakusuma, et al, 2004). Secara ringkas hasil riset menyimpulkan kondisi keanekaragamanan hayati di Ekosistem TNBG sebagai berikut:
TNBG merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar langka khas Sumatera dan memiliki nilai penting konservasi global yang terancam punah dan dilindungi undang-undang. Hasil riset terakhir berhasil menambah catatan keberadaan mamalia di TNBG dari 26 jenis menjadi 47 jenis. Di antara jenis mamalia yang tercatat adalah 5 jenis keluarga kucing hutan, termasuk harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac) dan empat jenis primata. Sementara masyarakat juga menginformasikan adanya anjing hutan/ajak (Cuon alpinus) dan dua jenis berang-berang di TNBG. Adanya penyebaran 5 jenis keluarga kucing di TNBG merupakan informasi penting dan temuan baru di Pulau Sumatera. Jumlah jenis yang ditemukan sama tingginya dengan kawasan konservasi penting lainnya di Sumatera, yaitu di Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Dari 25 km pengamatan dengan berjalan kaki dalam areal 4,9 km², dapat diestimasikan bahwa populasi satwa berdasarkan jejak yang ditemukan, kepadatan populasi mamalia besar, tapir dengan kerapatan 2,5 individu per km², beruang 2,5 individu per km² dan harimau 0,4 individu per km², sedangkan kambing hutan yang sangat langka belum dapat diprediksi populasinya.
Selain mamalia besar dan burung, survei ini juga membukukan catatan menarik bagi kelompok satwa lain. Untuk amfibia di antaranya yang tergolong menarik adalah perjumpaan dengan katak bertanduk tiga (Megophrys nasuta). Katak jenis ini merupakan penghuni dasar hutan primer di Sumatera dan Borneo.
Disamping itu ditemukan juga sesilia (Ichtyophis sp.), yaitu jenis amfibia tak bertungkai penghuni bawah permukaan tanah lantai hutan basah di Sumatera dan Sunda Besar. Jenis ini tergolong sulit ditemukan karena jarang sekali keluar dari persembunyiannya di tanah yang basah. Dari kelompok reptilia mencatat adanya King Cobra (Ophiophagus hannah) yang merupakan jenis ular berbisa terbesar di dunia.
Ekosistem TNBG memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi, di antaranya merupakan jenis yang langka, terancam punah dan dilindungi undang-undang. Survei berhasil menambah catatan keberadaan avifauna di TNBG dari 149 jenis menjadi menjadi 247 jenis burung. Catatan sebelumnya untuk seluruh daerah Hutan Belantara Angkola adalah 57 jenis. Dari 247 jenis tersebut, 47 merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, tujuh jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. Dari total jenis burung yang ditemukan 13 jenis merupakan burung yang memberi kontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endemik (endemic bird areas), seperti Dicrurus sumatranus, Lophura inornata dan Daerah Penting bagi Burung (important bird areas), seperti paok Schneider (Pitta schneideri), sepah gunung (Pericrocotus miniatus), sempidan Sumatera (Lophura inornata), kuau-kerdil Sumatera (Polyplectron chalcurum), tokhtor kopua (Carpococcyx viridis), ciung-mungkal Sumatera (Cochoa beccarii) dan meninting kecil (Enicurus velatus). Juga ditemukan dua jenis burung yang akibat terbatasnya informasi mengenai keberadaan jenis tersebut di dunia, dalam kriteria status flora dan fauna menurut IUCN dikategorikan sebagai ‘kekurangan data’ (data deficient), yaitu sikatan bubik (Muscicapa dauurica) dan kutilang gelambir biru (Pycnonotus nieuwenhuisii). Lebih jelasnya diuraikan pada Tabel 2.
Selain itu, kawasan ini juga dikunjungi jenis-jenis burung migran, seperti jenis elang dan burung air, misalnya cekakak Cina (Halcyon pileata), kirik-kirik laut (Merops philippinus), paok hijau (Pitta sordida), raja-udang erasia (Alcedo atthis) dan bentet loreng (Lanius tigrinus). Dengan adanya jenis-jenis burung migran ini menurut skala internasional menunjukkan bahwa TNBG memiliki tingkat kepentingan global yang sangat tinggi untuk dilestarikan fauna dan habitatnya. Disamping itu ada dua jenis yang eksistensinya di Pulau Sumatera masih diragukan, tapi di TNBG dapat ditemukan, yaitu pendendang kaki sirip (Heliopais personata) dan rajawali (Aquila sp.). Dibandingkan dengan kawasan konservasi lain di Sumatera yang memiliki luas yang hampir sama, kekayaan jenis burung di TNBG tergolong sangat tinggi. Sebagai perbandingan, di kawasan Tesso Nilo seluas 188 ribu hektar tercatat 114 jenis (Prawiradilaga et al. 2003). Sedangkan di TN Bukit Tigapuluh yang luasnya 127 ribu hektar tercatat 193 jenis (Prawiradilaga et al. 2003). Jumlah jenis yang tercatat di TNBG hanya selisih sedikit dari TN Bukit Barisan Selatan yang luasnya sekitar tiga kali lipat (356 ribu hektar), yakni 276 jenis (O’Brien & Kinnaird, 1996). Dengan 247 jenis yang tercatat, berarti TNBG merupakan habitat bagi sekitar 40% jenis burung yang tercatat di Sumatera yang menurut pangkalan data Bird Life berjumlah 602 jenis atau 609 jenis menurut Holmes dan Rombang (2001). Pada tahun 2004, TNBG telah dimasukan sebagai kawasan IBA (Important Bird Area) atau Daerah Penting Burung oleh Birdlife International, karena Kawasan TNBG ditemukan jenis-jenis Salvadori's Pheasant (Lophura inornata), Masked Finfoot (Heliopais personatus), Sumatran Ground-cuckoo (Carpococcyx viridis), Schneider's Pitta (Pitta schneideri), Sumatran Cochoa (Cochoa beccarii) (www.birdlife.org, 2005)
Selain jumlah total jenis burung yang tinggi tercatat juga kekayaan jenis dari beberapa kelompok burung tertentu yang keberadaannya sangat tergantung pada kondisi habitat alami yang masih baik. Kelompok jenis-jenis burung seperti rangkong dari keluarga Bucerotidae, tercatat 8 jenis di TNBG atau 80% dari 10 jenis rangkong yang ditemukan di Pulau Sumatera, diantaranya Buceros rhinoceros, Rhinoplax vigil dan Aceros undulatus., takur (keluarga Capitonidae, tercatat 5 jenis), pelatuk (Picidae, tercatat 12 jenis), dan luntur (Trogonidae, tercatat 3 jenis) dikenal sebagai burung-burung yang keberadaannya bergantung pada keberadaan hutan (forest-dependent birds).
Catatan menarik lainnya adalah catatan tentang jenis-jenis burung pemangsa (raptor species). Sebanyak 14 jenis burung pemangsa tercatat di kawasan ini. Salah satu di antaranya, yakni baza hitam (Aviceda leuphotes) merupakan jenis pengunjung (migratory species). Memperhatikan kedudukan burung pemangsa yang berada di puncak piramid dari rantai makanan (food web), maka kekayaan jenis burung pemangsa di TNBG dapat mengindikasikan kondisi populasi mangsa yang cukup baik. Kita dapat menduga bahwa kondisi populasi mangsa yang baik tentu memerlukan kondisi habitat yang baik. Oleh karena perannya yang penting dalam ekosistem, semua jenis burung pemangsa telah dilindungi dalam peraturan perundangan Indonesia.
Kawasan TNBG bukan hanya memiliki kekayaan, fauna tetapi juga keunikan keanekaragaman hayatinya. Keberadaan pedendang kaki-sirip (Heliopais personata) yang keberadaannya di Sumatera selama ini masih belum meyakinkan juga berhasil direkam dalam bentuk foto. Sementara itu, dua buah gambar elang terbang yang sangat menyerupai rajawali totol (Aquila clanga) juga berhasil diambil dengan kamera di daerah survei. Jenis elang ini di Sumatera selama ini baru tercatat sekali, yakni di daerah Sumatera Selatan (Holmes 1996). Sementara itu, dalam waktu yang relatif singkat, dengan perangkap kamera telah berhasil didokumentasikan adanya kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), kucing emas (Catopuma temmincki), dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kambing hutan dan kucing emas merupakan dua jenis satwa langka yang selama ini sangat jarang ditemukan di hutan alam, bahkan oleh mereka yang telah bertahun-tahun mengoperasikan perangkap kamera di Pulau Sumatera.
Ekosistem TNBG kemungkinan merupakan zona hibridisasi (pertemuan/persilangan) dari jenis-jenis satwa khas Sumatera bagian Selatan, Utara dan Timur. Hal itu sangat dimungkinkan karena secara biogeografis letak TNBG diantara Unit Zoogeografi Danau Toba bagian selatan yang berbatasan langsung dengan unit-unit zoogeografi Danau Toba bagian utara, Pasaman dan Barumun – Rokan. Pengamatan mengindikasikan adanya variasi morfologi/warna beberapa jenis satwa di sana dibanding dengan jenis yang sama di tempat lain, baik di Sumatera maupun di Indonesia. Sebagai contoh, jenis simpai/lutung/rekrek (Presbytis sp.) yang menghuni di TNBG ternyata tidak sama dengan yang diilustrasikan dalam berbagai publikasi dan buku panduan lapangan yang ada. Pola warna rekrek/lutung di TNBG cenderung lebih menyerupai kombinasi pola warna antara tiga jenis Presbytis yang hidup di daerah lain yang pernah diteliti, yakni P. thomasi, P. femoralis dan P. melalophos. Seperti diketahui, P. thomasi selama ini diyakini sebarannya ke bagian selatan Pulau Sumatera tidak melampaui Danau Toba, sedangkan P. femoralis di Sumatera hanya di bagian daratan dan pulau-pulau sebelah timur (Riau).
Ekosistem TNBG menyimpan keanekaragaman hayati flora dan keunikan yang sangat tinggi serta banyak dari jenis tersebut terancam punah sebelum diketahui manfaatnya bagi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian seluas 1 hektar petak cuplikan di hutan dataran rendah (660 meter dpl) di TNBG terdapat 240 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47 suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Nilai penting jenis untuk famili dari 10 famili yang paling seringkali ditemukan menunjukan bahwa keluarga Dipterocarpaceae menempati urutan pertama dengan Species Important Values for a Family (TSIVF) sebesar 84,24% disusul secara berurutan keluarga-keluarga dari Euphorbiaceae 31.97%, Burseraceae 24.11%, Myrtaceae 15.89%, Fagaceae 13.72%, Lauraceae 11.62 %, Sapotaceae 11.51% , Myristicaceae 9.73%, Moraceae 9.09% dan Clusiaceae 7.44%.(Kartawinata, et al 2004)
Dari jumlah jenis flora yang dapat teridentifikasi diantaranya 184 jenis dalam 41 suku terdiri pohon berdiameter setinggi dada ≥ 10 cm. Jenis-jenis pohon di TNBG lebih kaya daripada di hutan dataran rendah lain di Sumatera Utara, tetapi lebih miskin daripada di Borneo dan Semenanjung Malaya. Selanjutnya kepadatan pohonnya sebanyak 583 pohon per-hektar lebih tinggi dibandingkan di Ketambe (Sumatera Utara), Bukit Lagong and Sungai Menyala (Semenanjung Malaysia), dan Ladan serta Belalong (Brunei), tetapi lebih rendah dibandingkan di Malinau dan Sebulu (Kalimantan Barat), Gunung Mulu (Sarawak) dan Andulau (Brunei).
Hal menarik lainnya, penambahan jenis terus berrtambah walaupun luas petak cuplikan telah mencapai 1 hektar (Kartawinata, et al 2004). Hal yang menarik lainnya, dalam petak cuplikan 200 meter2 tercatat 222 jenis tumbuhan berpembuluh. Dengan demikian menurut Perbatakusuma, dkk (2004), angka-angka tersebut telah melampaui jumlah jenis dengan luas petak penelitian dan metoda yang sama dan saat ini diketahui tertinggi di dunia, yaitu di hutan dataran rendah Tesso Nilo di Provinsi Riau (Prawiradilaga, 2003) Lihat Tabel 3 yang memperlihatkan perbandingan kekayaan flora dibeberapa lokasi penelitian di kawasan konservasi di Sumatera.
Hasil riset menunjukan distribusi kelas diameter pohon di petak penelitian seluas satu hektar di TNBG mengikuti pola ‘J terbalik’ atau distribusi eksponensial negatif yang menjadi salah satu karakter di hutan alam tropika yang belum terganggu. Hal itu mencerminkan struktur populasi dapat dianggap ideal stabil dan mandiri dalam mempertahankan struktur populasi. Tipe struktur kelas diameter ini memperlihatkan jumlah pohon berdiameter kecil lebih besar dibandingkan pohon berdiameter besar dan secara konstan jumlah pohon berdiameter kecil berkurang pada kelas diameter berikutnya. Karakter dari struktur populasi demikian dicirikan melimpahnya jenis yang tahan naungan (shade-tolerant species) yang berdiameter kecil dan jenis-jenis primer yang terpelihara melalui pertumbuhan pohon berdiameter kecil yang konstan. Dalam struktur populasi tersebut dianggap aman karena diasumsikan pohon dewasa yang mati akan tergantikan oleh individu pohon yang tumbuh dari kelas diameter yang lebih kecil.
Struktur populasi tumbuhan dalam hutan tropis sangat dinamik dan sensitif mengalami perubahan jika terjadi gangguan dalam proses perbanyakan dan perkembangan anakan pohon (seedling recruitment and establishment). Misalnya, jika terjadi pembukaan kanopi hutan yang luas oleh pembalakan kayu, konversi hutan alam maupun perambahan hutan. Di hutan tropis jumlah individu suatu jenis tumbuhan adalah kecil, jadi berarti hilangnya sejumlah kecil individu akan mempunyai dampak yang besar terhadap keseimbangan biologi dan ukuran populasi suatu jenis dan proses regenerasi hutan
Jenis-jenis yang teridentifikasi di hutan dataran rendah terdapat jenis bunga langka dan dilindungi yaitu Bunga Padma (Raffesia sp.) jenis baru, Nepenthes sp. dan Amorphaphalus sp. Dan juga jenis-jenis endemik untuk Sumatera seperti Baccaurea dulcis Merr., Hopea nigra Burck , Shorea platyclados Sloot. ex Foxw. Selain itu, banyak jenis-jenis pohon komersil dari Dipterocarpaceae (meranti-merantian) telah masuk dalam Daftar Status Merah IUCN (IUCN Red List), sehingga penting diprioritaskan tindakan konservasinya agar jenis-jenis tersebut tidak punah (conservation dependent), seperti Aglaia ganggo Miq., Hopea nigra Burck, Shorea gibbosa Brandis, Shorea platyclados Sloot. ex Foxw., Vatica perakensis King, Vatica mangachapoi Blco, Anisoptera costata Korth., Shorea acuminata Dyer dan Hopea beccariana Burck Tingkatan ancaman kepunahan jenis bervariasi dari tingkat critically endangered, endangered sampai tingkatan vulnerable dengan penyebab pemusnahan jenis diakibatkan berbagai sumber berupa perusakan habitat alami, konversi atau hilangnya habitat alami sampai penebangan habis suatu jenis (IUCN, 2004).
Selain itu lebih dari 100 jenis tumbuhan berpotensi untuk obat telah dikoleksi guna menyelamatkan jenis mikroba endofitik berupa miroba jamur dan kapang yang hidup dalam jaringan tumbuhan (xylem dan phloem) dari kepunahan. Dan sampai saat ini telah dapat dikoleksi 1500 jenis mikroba yang terdiri dari jamur dan kapang. Konservasi mikroba dari hutan tropis Indonesia belum pernah dilakukan oleh lembaga mana pun sebelumnya. Mikroba ini banyak memberikan manfaat, antara lain sebagai sumber obat-obatan, pupuk organik, bio-insektisida ataupun bio-fungsida yang menunjang sektor pertanian maupun penghasil enzim dan hormon yang dibutuhkan oleh sektor industri. Dari jenis mikroba yang dikumpulkan telah menghasilkan sejumlah 745 isolat mikroba endofitik murni yang terdiri dari 393 isolat jamur dan 352 isolat bakteri. Diantaranya dari 115 jenis isolat yang telah diuji hampir separuhnya teridentifikasi menghasilkan senyawa kimia aktif yang dapat memerangi beberapa bakteri pathogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, seperti Echerichia coli, Bacillus sp. dan bakteri penyakit tanaman budidaya, seperti Xanthomonas campestris dan Pseudomas solanaceum. Disamping itu beberapa diantaranya mampu menghasilkan hormon tumbuh (indole acetic acid) dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan tanaman budidaya.
Hasil kajian menunjukkan perlindungan jenis satwa di TNBG menjadi penting karena terkait dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan. Eksistensi jenis satwa payung (umbrella species) maupun jenis satwa kharismatik, seperti harimau Sumatera, beruang madu, kambing hutan ataupun tapir membutuhkan kondisi hutan alam yang utuh dengan luasan tertentu untuk mereka dapat bertahan hidup dalam jangka panjang. Ini berarti dengan melindungi tempat hidup mereka, yaitu tutupan hutan alam sekaligus jasa-jasa ekologis hutan alam dan hasil hutan bukan kayu dapat terjaga, seperti sumber air, pencegah erosi/banjir atau keseimbangan iklim dan potensi wisata alam.
Selain dilindungi dan langka, jenis-jenis mamalia mempunyai peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis dan keutuhan keanekaragaman hayati di dalam Kawasan TNBG dan di kawasan budidaya masyarakat seperti peranannya sebagai pemencar biji, penyubur tanah, daur ulang mineral tanah, pemangsa (predator), pengendali populasi babi dan tikus yang menjadi hama tanaman masyarakat, penyerbukan bunga dan pengendali serangga yang dapat menjadi hama tanaman masyarakat.
Berkurang dan hilangnya populasi jenis satwa liar yang menjadi mangsa harimau Sumatera, seperti rusa, kijang, kambing hutan, pelanduk dan babi akan menyebabkan meningkatnya konflik harimau dengan manusia di kawasan budidaya yang merugikan secara ekonomi, misalnya ternak. Bahkan dapat merengut korban jiwa manusia, seperti yang terjadi di Desa Rantau Panjang pada tahun 2002 dan 2003. Hilangnya satwa liar jenis kunci bagi kepentingan ekologis (ecological key species atau amplifier species) yang berperan sebagai pemangsa biji, pemencar biji, penyerbukan tanaman, pengendalian babi dan tikus, tentunya secara langsung dan tidak langsung akan menurunkan produktifitas pertanian di daerah pedesaan dengan meningkatnya gangguan hama penyakit tanaman budidaya, seperti tikus, babi, serangga. Lihat penjelasan pada Tabel 1
Adanya kekayaan jenis burung ini, juga menunjukan keragaman peranannya dalam ekosistem hutan, seperti jenis-jenis rangkong berperan sebagai pemangsa biji, agen pemencaran biji atau jenis lainnya yang dapat berperan sebagai penyerbuk tanaman (polinator) dan pengendali serangga hama tanaman yang mendukung produktifitas kawasan pertanian masyarakat. Pemusnahan jenis burung tersebut yang dikatagorikan “spesies kunci” tentunya akan menimbulkan kerugian sosial ekonomi yang besar bagi kawasan pertanian masyarakat.
Banyaknya jenis burung rangkong yang ditemukan di TNBG menunjukan kawasan ini sesuai sebagai habitat satwa pemakan buah (frugivores). Jenis burung rangkong karena daerah jelajahnya sangat luas memiliki konsekuensi sebagai agen pemencar biji berjarak jauh (long-distance seed disperser) berpotensi mempengaruhi proses ekologi penting di dalam hutan alam, khususnya regenerasi hutan dan menjaga keanekaragaman hayati tumbuhan, termasuk dinamika metapopulasi, persistensi populasi dan keanekaragaman komunitas tumbuhan (Ouborg et al. 1999, Cain et al. 2000). Dalam hutan alam yang terfragmentasi, pemencaran biji berjarak jauh seperti dilakukan burung rangkong memainkan peranan penting dalam memelihara keanekaragaman genetis tumbuhan melalui aliran gen diantara populasi tumbuhan yang terfragmentasi (Hamilton 1999)
DAMPAK EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS
TERHADAP PEMUSNAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Laju kepunahan spesies flora dan juga fauna dapat dipastikan sejalan atau lebih tinggi dari laju penggundulan hutan (deforestasi). Padahal tidak kurang dari 11% spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 15% spesies amfibi dan reptilia serta 17% spesies burung yang ada di dunia (Adisoemarto dan Rifai, 1994) tersimpan di hutan hutan tropis kita. Sementara itu, pada tahun 1992 saja, laju penggundulan hutan tropis di Indonesia berkisar antara 0,5 -1,0 % per tahun (Blockhus et al., 1992) yang diduga mengakibatkan punahnya 27 % jenis kehidupan liar pada seperempat abad mendatang (Reid, 1992). Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan 1 spesies (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada 10 tahun terakhir2 (Jakarta Post, 21 Mei 2003). Salah satu keputusan dalam para pihak Dalam pertemuan para pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati di Den Haag pada tahun 2002, menyatakan bahwa para pihak, termasuk negara Indonesia harus mengupayakan “penurunan laju kerusakan keanekaragaman hayati yang nyata pada tahun 2010 di tingkat global, regional dan nasional”.
Berdasarkan Teori Island Biogeography (Arthur dan Wilson, 1967) yang menyatakan bahwa semakin luas hutan yang tidak terputus kawasannya, maka semakin tinggi kandungan jenis flora dan faunanya. Tidak hanya jumlah jenis secara keseluruhan lebih tinggi, tetapi juga rata-rata jenis perhektar. Sebaliknya makin hutan di luar kawasan konservasi ditebang dan dikonversi, semakin menurun jenis flora dan fauna di dalam kawasan konservasi Ada banyak faktor yang mempengaruhi dan belum seluruhnya diketahui, namun salah satu faktor yang penyebab utama dalam kepunahan ini adalah kerusakan dan hilangnya hutan di luar kawasan konservasi tersebut dan luas kawasan beberapa habitat alamiah berkurang daya dukungnya untuk beberapa populasi jenis ataupun beberapa habitat tidak terwakili lagi.
Analisa kepunahan jenis secara umum di dunia menunjukan bahwa faktor-faktor yang paling menentukan kehilangan jenis adalah a). fragmentasi dan kehilangan habitat alamiah, b). pemburuan berlebihan (overkill), c).dampak introduksi jenis eksotik, d). polusi dan e). dampak sekunder atau ripple effect yang diartikan kalau satu jenis punah maka ada beberapa jenis lain yang ikut punah (Wind dan Rijksen, 1992 ). Jadi dapat disimpulkan, bahwa perubahan habitat alamiah yang terjadi di luar kawasan konservasi akan berdampak negatif pada keutuhan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayatinya, apalagi kalau perubahan bentang alam tersebut terjadi di dalam kawasan konservasi..
Bagaimana dampak kegiatan pertambangan emas terhadap keutuhan keanekaragaman hayati? Umumnya dalam siklus pertambangan emas skala besar mempunyai dua siklus kegiatan utama (kegiatan eksplorasi – kegiatan ekstraksi) yang saling berkaitan, yaitu eksplorasi, pengembangan dan kontruksi proyek, operasi tambang, ekstraksi bahan galian dan penutupan dan reklamasi kawasan pertambangan. Antara kegiatan eksplorasi dan ekstraksi mempunyai potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial masyarakat yang mirip hanya berbeda dalam intensitas dampaknya Kegiatan eksplorasi mempunyai intensitas dampak yang lebih rendah, tetapi dengan luasan daerah dampak yang relatif luas, dibandingkan dengan kegiatan ekstraksi yang memiliki intensitas dampak yang tinggi dengan luasan kawasan dampak yang lebih kecil (Sweeting dan Clark, 2000)
Ada berapa masalah-masalah utama yang muncul dalam kegiatan eksplorasi pertambangan emas, yaitu :
1. Dampak eksplorasi pada aras keanekaragaman hayati seringkali dilupakan;
2. Fase eksplorasi adalah fase penting dalam menentukan masa depan lokasi operasi pertambangan;
3. Dampak langsung eksplorasi kurang terlihat nyata, tetapi dampak tidak langsung yang penting, seperti
pembukaan akses jalan dan pembangunan infrastruktur pendukung eksplorasi;
4. Perusahaan kecil dan menengah dengan profil publik yang rendah selalu yang menyelenggarakan
kegiatan eksplorasi;
5. Kegiatan eksplorasi melibatkan investasi yang besar, tetapi sangat tinggi resiko dengan tingkat
keuntungan ekonomi yang rendah;
6. Informasi tentang kandungan keanekaragaman hayati dan ekosistimnya, seringkali tidak tersedia.
Potensi dampak negatif dari kegiatan eksplorasi pertambangan akibat adanya pembukaan lahan, pembangunan akses jalan dan pembangunan infrastruktur pertambangan dapat meliputi erosi, sedimentasi, perubahan iklim mikro, polusi limbah padat, limbah cair dan suara, hilangnya habitat fauna flora langka dan terancam punah secara global. Dampak terbesar adanya dampak tidak langsung sosial, sebagai akibat dari meningkatnya akses jalan ke kawasan terpencil, sehingga menyebabkan terjadinya migrasi spontan penduduk yang diikuti dengan kolonisasi penduduk dan penggundulan kawasan hutan alam sekitar kawasan kegiatan eksplorasi. (Sweeting dan Clark, 2000)
Sweeting dan Clark (2000) menambahkan bahwa tahapan lanjutan dari fase kegiatan eksplorasi berupa kegiatan pembuatan parit/lubang dan penggalian contoh bahan mineral yang disesuaikan dengan arah dan bentuk tertentu dari deposit mineral mempunyai potensi dampak negatif lingkungan yang sangat tinggi. Karena dalam kegiatan ini dilakukan kegiatan-kegiatan pembukaan lahan, pembuatan akses jalan dan penggunaan mesin dan alat-alat berat. Dampak ini akan berakumulasi jika pembangunan infrastruktur permanen semakin besar, sebagai konsekuensi dari luas cakupan kawasan yang akan dieksplorasi. Uraian ini menunjukan bahwa kegiatan pertambangan emas yang dilakukan di kawasan hutan alam akan menimbulkan faktor-faktor hilangnya jenis keanekaragaman hayati sebagaimana yang diterangkan oleh Wind dan Rijksen (1992).
Pembukaan hutan alam TNBG untuk kegiatan eksplorasi akan mengakibatkan pembukaan kanopi hutan sehingga akan terjadi fragmentasi habitat dan mengurangi keragaman habitat alamiah dalam bentuk “pulau-pulau hutan”. Fragmentasi hutan merupakan hal penentu dalam menentukan laju pemusnahan jenis. Karena fragmentasi akan menyebabkan terisolasinya suatu spesies akibat terputusnya hubungan antar populasi jenis, terhambatnya proses kolonisasi, penyebaran dan penjelajahan. Itu akan menyebabkan suatu spesies terserang persilangan genetik, penyakit dan menghasilkan populasi tidak mampu berbiak sehingga terjadi percepatan pemusnahan jenis secara lokal (Lee, et al 1988). Disamping adanya implikasi dari Teori Biogeografi Pulau yang menyatakan bahwa pulau-pulau atau kawasan hutan alam yang terisolasi memiliki jenis fauna yang makin berkurang dan menampung lebih sedikit spesies dibandingkan dengan kawasan hutan alam yang tidak terfragmentasi. (Arthur and Wilson, 1967). Whitmore and Sayer (1992) menambahkan bahwa dalam teori ‘demographic stochasticity’, pulau yang besar atau dapat diumpamakan kawasan hutan alam yang luas menyimpan populasi suatu jenis yang besar pula. Hal ini berarti laju musnahnya suatu jenis di pulau yang besar atau di kawasan hutan alam yang luas lebih lambat dibandingkan dengan pulau kecil atau kawasan hutan alam yang luasannya kecil.
Pembukaan tajuk hutan alam dalam kegiatan eksplorasi pertambangan, juga sangat berpengaruh terhadap hubungan interaksi mutualistik antara satwa liar dengan tumbuhan yang penting peranannya dalam memelihara keanekaragaman hayati hutan tropis dan proses ko-evolusi atau saling berkembang bersama antara hewan dan tumbuhan. TNBG diketahui menyimpan kekayaan satwa liar yang tinggi yang merupakan jenis-jenis kunci bagi kepentingan ekologis yang berperan sebagai pemangsa biji, pemencar biji, penyerbukan tanaman, pengendalian babi dan tikus.
Dari jenis-jenis burung rangkong sampai jenis primata memiliki peran sebagai pemencar dan pemangsa biji yang bermanfaat untuk membantu proses regenerasi hutan dan memelihara keanekaraman hayati hutan tropika. Studi yang dilakukan oleh Dew (2001) di hutan tropis Amazon menunjukan bahwa monyet Humboldt's woolly monkey (Lagothrix lagothricha poeppigii) dan white-bellied spider monkey (Ateles belzebuth belzebuth) mempunyai efektifitas sangat tinggi sebagai pemencar biji, misalnya rata-rata jarak pemencaran biji 245 meter, 23% biji yang dipencarkan berkecambah di lantai hutan. Hasil studi Hovestadt, et al (1999) di hutan tropis Afrika memperlihatkan bahwa pemencaran biji yang dilakukan oleh satwa liar lebih efisien dibandingkan biji yang dipencarkan oleh angin dalam proses rekolonisasi jenis-jenis tumbuhan pada hutan yang rusak setelah mengalami gangguan.
Pembukaan hutan alam untuk kegiatan pertambangan juga akan menyebabkan menurunnya bahkan musnahnya populasi jenis tumbuhan Ara (figs) sebagai sumber pakan banyak jenis satwa liar, khususnya pada saat musim paceklik buah. Diketahui ada 3 jenis Ara yang hidup di TNBG, diantaranya Ficus drupacea dan Ficus uncinulata. Hal tersebut akan memicu terjadinya permusnahan spesies secara lokal. Karena musnahnya Ara akan menyebabkan terganggunya atau punahnya populasi spesies lain (cascade effects) (Bronstein 1992; Thiollay 1992.).
Penjelasan tersebut diatas menggambarkan bahwa upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan karena penambangan di Kawasan Hutan Lindung maupun di Kawasan Pelestarian Alam melalui pembatasan blok dan pembentukan zonasi untuk kawasan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan emas masih diragukan efektifitasnya dalam mengurangi laju kepunahan keanekaragaman hayati. Upaya "lokalisasi" kerusakan pada suatu kawasan ekologis, sebagaimana halnya TNBG merupakan kesalahan paradigma, karena kawasan ekologis merupakan satu kesatuan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya dan mempunyai keterkaitan dengan siklus kehidupan.
IMPLIKASI HUKUM PEMUSNAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994 membawa implikasi kebutuhan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional di bidang keanekaragaman hayati agar konsisten dengan Konvensi. Berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, ratifikasi konvensi tersebut menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan penempatannya dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1994 menjadikan konvensi tersebut mengikat bagi seluruh warga negara di Indonesia. Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara beradab, Indonesia harus menjaga kredibilitas internasionalnya dan terikat secara moral dengan konvensi tersebut yang sejumlah pasalnya mewajibkan negara untuk melaksanakan upaya konservasi keanekaragamanan hayati.
Dua elemen penting dari pembukaan Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) yang perlu diperhatikan oleh negara antara lain:
1. prinsip pencegahan, yaitu kerusakan terhadap keanekaragaman hayati harus diantisipasi, diatasi dan
dicegah pada sumbernya.
2. prinsip berjaga-jaga atau kehati-hatian secara dini (precautionary), yaitu kelemahan akibat tidak
memadainya ilmu pengetahuan hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk penundaan upaya
pencegahan atau minimalisasi ancaman terhadap keanekaragaman hayati.
Beberapa tanggung-jawab negara yang meratifikasi KKH, khususnya kaitannya dengan konservasi secara in situ, sebagaimana tujuan dari pembentukan TNBG diuraikan dalam pasal 8 dari KKH diantaranya yaitu :
1. mengembangkan sistem kawasan lindung atau kawasan yang memerlukan penanganan khusus untuk
mengkonservasi keanekaragaman hayati;
2. mengatur atau mengelola sumber daya hayati yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati baik
di dalam maupun di luar kawasan lindung, dengan maksud untuk menjamin konservasi dan pemanfaatan
secara berkelanjutan;
3. memajukan perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan populasi yang berdaya hidup dari
spesies di dalam lingkungan alaminya;
4. memajukan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di kawasan yang berdekatan
dengan kawasan lindung dengan maksud untuk dapat lebih melindungi kawasan-kawasan ini;
5. merehabilitasi dan memulihkan ekosistem yang rusak dan mendorong pemulihan jenis-jenis terancam, di
antaranya melalui pengembangan dan pelaksanaan rencana-rencana atau strategi pengelolaan lainnya;
6. mencegah masuknya serta mengendalikan atau membasmi jenis-jenis asing yang mengancam ekosistem,
habitat atau spesies.
Ditambahkan dalam pasal 14 dari KKH dinyatakan adanya kewajiban negara untuk memperkenalkan prosedur tepat guna yang memerlukan pengkajian dampak lingkungan terhadap proyek-proyek yang diusulkan, yang diperkirakan mempunyai akibat merugikan terhadap keanekaragaman hayati untuk menghindarkan atau memperkecil akibat semacam itu dan bila sesuai, mengizinkan partisipasi masyarakat melalui prosedur tertentu
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya pembentukan TNBG dan pelarangan pertambangan terbuka di Kawasan Pelestarian Alam dan Hutan Lindung merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab negara untuk melaksanakan prinsip-prinsip dan kewajiban KKH tersebut.
Dari sudut hukum, kegiatan penambangan di Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi dapat dikategorikan merupakan suatu tindakan yang salah secara hukum, karena jelas-jelas telah melanggar ketentuan di beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan yang berlaku di Indonesia yaitu :
1. Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. PT. SMM yang bermaksud melakukan kegiatan eksplorasi di TNBG yang merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Padahal ketentuan di dalam Undang-undang No.5 tahun 1990 sudah jelas-jelas melarang kegiatan yang dapat merusak keutuhan kawasan dan ekosistemnya. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang dimaksud, maka dapat diancam hukuman pidana berdasarkan ketentuan pidana dalam undang-undang ini sebagaimana pasal 40, dengan pidana penjara paling lama 5 sampai 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 100 juta atau Rp. 200 juta.
2. Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Perdebatan hukum boleh atau tidaknya kegiatan tambang di hutan lindung, diluar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seharusnya sudah selesai karena Pasal 38 ayat (4) Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang secara tegas melarang kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung, karena mengingat pentingnya fungsi kawasan hutan lindung terhadap daya dukung ekosistem, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Dan dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (3) yang menyatakan bahwa di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di Kawasan Hutan Produksi dengan ketentuan khusus dan selektif. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diancam hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5 milyar.
3. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di dalam TNBG maupun di Kawasan Hutan Lindung memiliki dampak besar bagi lingkungan hidup dan mempunyai unsur perusakan lingkungan hidup di Kawasan TNBG. Pada pasal 9 ayat (3) dalam Undang-undang No. 23 dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Dan jelas disini, bahwa pembentukan TNBG merupakan salah satu kewajiban Pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup dalam konteks konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Pemerintah juga berkewajiban menerapkan perangkat dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan (pasal 10 butir e), salah satunya bersumber dari perusakan lingkungan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (pasal 1 ayat 14). Dan selanjutnya disebutkan adanya sanksi pidana yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan linkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta.
4. Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. TNBG mengandung jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang ditetapkan sebagai golongan yang dilindungi, endemik dan terancam punah. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa secara ideal dilakukan di dalam habitat aslinya (in situ) (Pasal 8 ayat 1 dan penjelasannya) melalui kegiatan pembinaan habitat dan populasinya (Pasal 8 ayat 3 huruf e). Salah satu tujuan pengawetan jenis ini adalah menghindari jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan serta memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada (Pasal 2). Dan Pemerintah sebagaimana Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) berkewajiban melakukan upaya pengawetan terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang telah ditetapkan dalam golongan yang dilindungi dengan kriteria mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam dan daerah penyebaran terbatas (endemik) dan pada Pasal 13, dinyatakan bahwa Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya. Pada pasal 27 ayat 5 dinyatakan tindakan represif yang meliputi penegakan hukum dapat dilakukan terhadap adanya tindakan hukum, termasuk di dalamnya pelanggaran terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
ARBITRASE INTERNASIONAL, MUNGKINKAH ?
Alasan yang seringkali dikemukakan adalah pembentukan TNBG dan larangan penambangan secara terbuka di Kawasan Hutan Lindung dan TNBG ditetapkan setelah konsesi pertambangan diberikan melalui Kontrak Karya (KK) kepada PT.SMM. Dengan demikian, PT. SMM dirugikan oleh kebijakan yang ditetapkan setelah konsesi diberikan, dan Pemerintah dikuatirkan harus membayar sejumlah ganti kerugian secara finansial, atau menjadi sengketa di forum arbitrase internasional. Kekuatiran ini sebenarnya tidak mempunyai argumentasi yang kuat yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dalam Kontrak Karya PT. SMM pasal 23 ayat (1) memiliki klausul “keadaan memaksa” (force majeure). Salah satu penyebab force majeure berdasarkan kontrak karya adalah “perintah atau petunjuk (adverse order or direction) dari pemerintah “de jure” atau “de facto”, atau perangkatnya atau sub divisinya yang merugikan”. Konsekuensi dari klausul tersebut adalah bilamana Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam rangka menyelamatkan sumberdaya keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna kemaslahatan orang banyak yang diwujudkan dalam bentuk Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut-II/2004 mengenai pembentukan TNBG dapat ditafsirkan sebagai force majeure. Dalam kondisi yang demikian, meskipun Pemerintah telah menandatangani Kontrak Karya untuk menyetujui suatu kegiatan pertambangan di suatu lokasi, tapi kemudian sebagian atau seluruh lokasi tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Lindung atau Kawasan Taman Nasional dengan pertimbangan demi kemaslahatan orang banyak, maka Pemerintah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Seperti diketahui maksud penetapan hutan lindung adalah: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air; (2) mencegah banjir; (3) mengendalikan erosi; (4) mencegah intrusi air laut; dan (5) memelihara kesuburan tanah. Dan maksud penetapan Kawasan Taman Nasional adalah (1) perlindungan sistim penyangga kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) pemanfaatan secara lestari. Dengan demikian karena perintah pasal 38 ayat 4 Undang-undang No.41/ 1999 dan Pasal 30 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 merupakan perintah Undang-undang, maka secara hukum perusahaan tidak bisa menuntut adanya kompensasi atau ganti kerugian apapun, karena kebijakan pemerintah tersebut dapat dikategorikan sebagai adverse order or direction sebagai penyebab force majeure.
2. Disisi lain adalah suatu kewajiban bagi PT. SMM untuk mengikuti kebijakan Republik Indonesia yang berlaku saat ini. Karena dalam satu satu klausul Kontrak Karya PT. SMM yang ditanda-tangani Presiden RI pada tanggal 19 Januari 1998, yaitu pasal 20 (1) dinyatakan bahwa “ perusahaan sesuai dengan perundang-undangan perlindungan lingkungan hidup dan suaka alam yang berlaku dari waktu ke waktu di Indonesia, harus melakukan kegiatannya menurut Persetujuan ini sedemikian rupa untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup …..” Pasal ini diterima PT.SMM dimana mereka diharuskan untuk berkewajiban secara terus menerus agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai suaka alam dan lingkungan hidup yang berlaku dari waktu ke waktu selama masa berlakunya kontrak karya. Sehingga berdasarkan klausul ini, PT. SMM mempunyai kewajiban untuk mengikuti perubahan kebijakan Republik Indonesia saat ini dengan adanya pembentukan TNBG dan kewajiban melaksanakan AMDAL yang bertujuan untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup.
3. Pasal 21-22 Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA), memang memberikan hak PT. SMM yang melakukan penanaman modal yang dibolehkan dalam UU PMA untuk melakukan arbitrase terhadap pemerintah Indonesia. Namun demikian, hak ini dibatasi hanya untuk menentukan batas kompensasi yang wajar yang diakibatkan oleh “nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”. Pasal ini dengan demikian hanya relevan pada kasus-kasus dimana terjadi pengambilalihan investasi seluruhnya dan secara langsung oleh Pemerintah, misalnya ketika pemerintah mengambil alih operasi perusahaan modal asing dan menjadikannya milik negara. Dilakukannya penyesuaian operasi perusahaan terhadap aturan lingkungan –sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 38(4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan—tidak termasuk dalam kategori “nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”, bahkan untuk penafsiran yang paling bebas sekalipun. Operator pertambangan asing masih tetap memiliki hak kepemilikan yang sama atas operasinya, baik sebelum atau sesudah diberlakukannya peraturan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada dasar argumen yang kuat bagi PT. SMM untuk mengajukan arbitrase internasional berdasarkan Pasal 21-22 Undang-undang PMA. Semua BIT (Bilateral Investment Treaties) dan/atau MITs (Multilateral Investment Treaties) dimana Indonesia menjadi pihaknya, menjamin agar Pemerintah Indonesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang “setara dengan”, “berbobot sama dengan”, atau “memberikan dampak yang sama dengan” penghilangan hak. PT.SMM tidak akan berhasil dalam klaim yang didasarkan pada BIT atau MIT yang menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung, karena pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung dan di Kawasan TNBG tidak dapat dianggap sebagai penghilangan secara tidak langsung hak investasi PT.SMM
4. PT. SMM masih memiliki hak-hak yang tepat sama dengan hak-hak yang mereka miliki sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu hak untuk menambang dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan suaka alam dan lingkungan hidup, dalam hal ini Pasal 38(4) Undang-undang Kehutanan. PT.SMM juga tidak dapat mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa pemerintah Indonesia melanggar BIT dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan yang sama dan setara, karena pelarangan tersebut berada dalam lingkup wewenang Pemerintah Indonesia, dan hal tersebut dilakukan demi kepentingan publik yang sah, dan tidak mendiskriminasi atau secara tidak adil telah merugikan PT. SMM. Ditambahkan Undang-undang Kehutanan No. 41/1999 dan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Ekosistemnya, Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati memiliki hukum yang lebih tinggi daripada Kontrak Karya PT. SMM. Jadi tidak tidak masuk akal apabila PT.SMM akan melakukan arbitrase internasional hanya berdasarkan Kontrak Karya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Kesimpulan
a. TNBG mempunyai nilai konservasi yang tinggi berskala global, karena kekayaan dan keunikan keanekaragaman hayati dan ekosistim serta jasa lingkungan penting lainnya yang terkandung di TNBG. Hal tersebut harus dilindungi dan dilestarikan, karena menyangkut kelangsungan hajat hidup orang banyak antar generasi.
b. Pembentukan TNBG sudah mengikuti peraturan perundangan yang berlaku, memenuhi kriteria pembentukan Kawasan Taman Nasional dan sejalan dengan aspirasi masyarakat setempat dan Pemerintah Kabupaten Mandailing, sehingga eksistensinya tidak perlu digugat kembali oleh PT.SMM secara hukum..
c. Kegiatan eksplorasi maupun rencana eksploitasi pertambangan emas dengan pola terbuka yang dilakukan PT. SMM di Kawasan TNBG dan Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Mandailing Natal akan menimbulkan dampak penting bagi kondisi keanekaragaman hayati dan ekosistim TNBG serta masyarakat setempat yang mengambil manfaat ekonomi dari jasa lingkungan yang disediakan TNBG melalui keanekaragaman hayati yang dikandungnya.
d. Pemusnahan keanekaragaman hayati dan ekosistim TNBG akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan emas oleh PT. SMM akan mempunyai implikasi hukum yang serius, karena terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah diatur oleh peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Disamping itu akan menjadi sorotan dan isu internasional, karena Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati.
e. Kekuatiran adanya tuntutan arbitrase internasional yang akan diajukan PT. SMM tidak mempunyai alasan yang kuat. Seharusnya kita harus menunjukan bahwa Pemerintah Indonesia serius terhadap segala konvensi internasional di bidang lingkungan demi kepentingan lingkungan global, demi kepentingan umat manusia di dunia, dan demi kepentingan kehidupan di planet bumi ini. Konvensi internasional di bidang lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati dapat membela dan memperkuat posisi kita di Arbitrase Internasional.
2. Rekomendasi kebijakan teknik
a. Departemen Kehutanan harus konsisten terhadap pembentukan TNBG. Selanjutnya menetapkan kebijakan, agar tidak memberikan ijin penggunaan kawasan untuk eksplorasi pertambangan emas di TNBG dan hutan lindung, sebelum PT. Sorikmas Mining melakukan penyusunan Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana yang diatur dalam perundangan peraturan yang berlaku. Penyusunannya harus terintegrasi dengan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati di TNBG dan dilakukan dengan akuntabilitas dan transparansi yang tinggi dan dipantau pelaksanaannnya oleh pihak eksternal.
b. Departemen Kehutanan agar tidak mengijinkan PT. Sorikmas Mining untuk melakukan kegiatan pertambangan emas secara terbuka maupun tertutup di Kawasan TNBG, karena pertimbangan nilai konservasi keanekaragaman hayati yang tinggi dan unik serta kemanfaatannya bagi masyarakat luas.
REFERENSI
Adisoemarto, S dan Rifa, M.A (Eds) 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Kantor Menteri Lingkungan Hidup dan Komphalindo, Jakarta
Blockhus, J.M, Dillenbeck, Sayer, J.A and Wegge, P (Eds) 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forest. IUCN, Gland.
Bronstein, J.L. 1992. Seed Predators as Mutualists: Ecology and Evolution of the Fig-Pollinator Interaction in Insect-Plant Interactions. Vol. IV, E. Bernays ed. Boca Raton, FL: CRC Press, pp.1–44.
Cain, M. L., Milligan, B. G. and Strand, A. E. 2000. Long-distance seed dispersal in plant population. – Am. J. Bot. 87: 1217–1227.
Dew, LJ. 2001. Synecology and Seed Dispersal in Woolly Monkeys (Lagothrix lagotricha poeppigii) and Spider Monkeys (Ateles belzebuth belzebuth) in Parque Naçional Yasuní, Ecuador. Manuscript.
Gillison, A.N. 2001. Vegetation Survey and Habitat Assesment of the Tesso Nilo Forest Complex. Technical Report. Pekanbaru.
Hamilton, M. B. 1999. Tropical Tree Gene Flow and Seed Dispersal. – Nature 401: 129–130
Hilton-Taylor, C. (compiler) 2000. 2000 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Downloaded on 10 June 2002.
Holmes, D.A. (1996): Sumatra Bird Report. Kukila 8: 9-56
Holmes, D. dan Rombang, W.M. 2001: Daerah Penting bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife International Indonesia Programme, Bogor.
Hovestadt. T, Yao P and Linsenmair KE. 1999. Seed Dispersal Mechanisms and the Vegetation of Forest Islands in a West African Forest-savanna Mosaic (Como´e National Park, Ivory Coast) Plant Ecology 144: 1–25. Netherlands.
IUCN .2004. IUCN Red List of Threatened Species www.redlist.org
Kartawinata, K, Afriastini, J.J, Heriyanto, M and Samsoedin, I. 2004. A Tree Species Inventory in A One-Hectare Plot at the Batang Gadis National Park, North Sumatra, Indonesia. Reinwardtia 12(2)_145
Laumounier, Y, Purnadjaja and Setiabudhi. 1986. Vegetation Map of Sumatra: Central Sumatra. ICTP and Seameo-Biotrop. Bogor
Ledec, G and Goodland, R 1992. Harmonising Sustainable Development with Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K and White, J (Eds). Conservation Biology. The Commonweath Science Council. London
Lee, P. C., Thornback, J. and Bennett, E.L. 1988. Threatened Primates of Africa: The IUCN Red Data Book. Gland, Switzerland and Cambridge, U.K.
MacArthur, RH and Wilson, EO. 1967 The Teory of Island Biogeography. Princenton University Press. Princeton.
Mittermeier, R, Gill P dan Goettsch- Mittermeier (1997) Megadiversity : Earths Bilogically Wealthist Nations. Conservation International – Cemex. Prado Norte.
O’Brien, T.G. dan Kinnaird, M.F (1996): Birds and Mammals of the Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Oryx 30(3): 207-217.
Ouborg, N. J., Piquot, Y. and Van Groenendael, J. M. 1999. Population Genetics, Molecular Markers and the Study of Dispersal in Plants. – J. Ecol. 87: 551–568.
Perbatakusuma, Erwin. A, Supriatna, Jatna, Wurjanto. Didi, Supriadi. Prie, Ismoyo. Budi, Wiratno, Sihombing. Luhut, Wijayanto. Iwan, Widodo.Erwin. S, Manullang. Barita O, Siregar. Safaruddin, Damanik. Abdulhamid dan Lubis. Abu, H. .2005. Bersama Membangun Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing – Natal dan Conservation International Indonesia. Jakarta.
Perbatakusuma, EA, Wurjanto, D, Widodo ES, Daulay, AH dan Ismoyo, B 2006 . Taman Nasional Batang Gadis, Pertambangan di Hutan Lindung, dan Ancaman Arbitrase International : Kasus PT. Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal. Kertas Kebijakan Conservation International Indonesia. Medan
Prawiradilaga, D. M., A. Suyanto, W. A. Noerdjito, A. Saim, Purwaningsih, I. Rachmatika, S. Susiarti, I. Sidik, A. Marakarmah, A. Mun’im, M. H. Sinaga, E. Cholik, Ismail, M. Maharani, Y. Purwanto, dan E.. B. Waluyo. (2003): Survey Report on Biodiversity of Tesso Nilo. LIPI-WWF Indonesia. Tidak Dipublikasikan
Reid, W.V 1992. How Many Species Will There Be? In Whitmore, T.C and Sayer J.A (Eds) Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman and Hall. London.
Rijksen HD, Meijaard, Erik , Junaid, Hasrul and Dijkstra, B (2001) : The Angkola Wilderness : Siondop - Batang Gadis Catchment Area. Proposal for Investigating the Feasibility of a Development Project. IFAW Technical Memorandum No. 3. Tidak Dipublikasikan
Sweeting, AR and Clark AP (2000) : Lightening the Lode : A Guide to Responsible Large-sale Mining. Conservation International. Washington DC.
Wich, S.A., I. Singleton, .S. Utami-Atmoko, M.L. Geuters, H.D. Rijksen and C.P. van Schaik. 2003. The Status of the Sumatera Orang-utan Pongo abelii and Update. Oryx Vol 37 No. 1 January 2003.
Wind. J dan Rijksen, H. 1992. Keragaman Sumber Daya Alam Daerah Penyangga. Makalah pada Workshop Program Daerah Penyangga, Bogor.
Whitmore TC. and Sayer JC. 1992. Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London.
Erwin A Perbatakusuma, Luhut Sihombing , Didi Wurjanto, Erwin S Widodo dan Abu Hanifah Lubis
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki posisi penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia, karena Indonesia adalah menduduki peringkat kedua dari sepuluh negara di dunia yang mempunyai keanekaragaraman hayati tertinggi di dunia (Mittermeier, dkk, 1997). Dan negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati. Disisi lain Indonesia yang kini memiliki lebih dari 500 spesies satwa dan 58 jenis tumbuhan dilindungi dan terancam punah, sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Tetapi, aktivitas manusia telah menghilangkan keanekaragaman hayati dalam jumlah yang sulit diukur dan tidak dapat diprediksi nilai kerugian sosial, ekonomi dan ekologisnya. Diperkirakan 15 - 20 % dari 10 juta sampai 30 juta spesies tumbuhan dan satwa di dunia punah antara tahun 1980 sampai 2000. Ditaksir ratusan jenis akan punah setiap hari dalam 20 - 30 tahun yang akan datang. Hilangnya habitat masih merupakan penyebab utama kepunahan keanekaragaman hayati. Ironisnya kepunahan tertinggi justru menimpa daerah tropis, yang merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia di mana dua pertiga kekayaan keanekaragaman hayati dunia berada (Ledec and Goodland, 1992).
Salah satu aktifitas manusia yang dapat memusnahkan kekayaaan keanekaragaman hayati adalah kegiatan pertambangan emas di kawasan hutan alam. Karena kegiatan ini berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan penghilangan habitat alamiah bagi kelangsungan hidupan liar dan kepentingan kelangsungan jasa-jasa ekologis penting lainnya, seperti tata air, simpanan karbon, penjaga kesuburan tanah dan pengatur iklim.
Pemaparan ini menguraikan keunikan dan kekayaan keanekaragaman hayati TNBG serta implikasi hukumnya, ketika terjadi pemusnahan keanekaragaman hayati oleh kegiatan-kegiatan ekonomi yang berkarakter ekstraktif eksploitatif, seperti halnya yang akan direncanakan oleh PT. Sorikmas Mining (PT.SMM) di dalam kawasan TNBG.
KONTEKS HUKUM PEMBENTUKAN TNBG DAN TUMPANG TINDIH KAWASAN EKSPLORASI DENGAN TNBG
Pembentukan TNBG awalnya bersumber dari keinginan kuat dan diprakasai oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Mandailing Natal (Madina) pada tahun 2003. Prakarsa ini direspon positif oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Departemen Kehutanan. Akhirnya, pada tanggal 29 April 2004 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut-II/2004 mengenai pembentukan TNBG. Landasan hukum TNBG semakin diperkuat dengan adanya Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 Hektar.
Dalam konteks masalah tumpang tindih antara kawasan eksplorasi PT. SMM dengan pembentukan Kawasan TNBG, sebenarnya Departemen Kehutanan sudah mengikuti prosedur yang berlaku dalam pembentukan TNBG. Penunjukan TNBG dilakukan pada saat izin prinsip penggunaan kawasan hutan yang diberikan kepada PT. SMM melalui Surat Depertemen Kehutanan No.804/A/VIII/1998 sudah habis masa berlakunya pada tanggal 16 Desember 1999. Izin ini tidak diperpanjang lagi sampai saat penunjukan TNBG pada tahun 2004. Penegasan dilarangnya kegiatan eksplorasi pertambangan emas di TNBG dikuatkan dengan adanya Surat Menteri Kehutanan No. S.25/Menhut-VII/2005 tanggal 25 Januari 2005 yang menjelaskan lokasi kontrak karya PT. SMM seluas ± 33.721 hektar tidak dapat dilakukan kegiatan eksplorasi pertambangan.
Adalah suatu kenyataan kebijakan pembentukan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang luasnya 108.000 hektar, tumpah tindih dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, Keputusan Presiden No. 41 /2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang berada di Kawasan Hutan yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1999 pada butir kedua dinyatakan bahwa pelaksanaan usaha bagi 13 (tiga belas) perizinan atau perusahaan di bidang pertambangan di Kawasan Hutan Lindung didasarkan pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Berdasarkan kebijakan tersebut Menteri Kehutanan adalah pihak yang paling berwenang untuk memberikan izin kegiatan eksplorasi/studi kelayakan dan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan eksploitasi, produksi dan kontruksi pertambangan.
Hal itu dilandasi melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan. Tetapi dalam Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1999 maupun Peraturan Menteri Kehutanan hanya berlaku untuk Kawasan Hutan Lindung, tidak untuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seperti halnya TNBG. Artinya, secara subtansi kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan oleh PT SMM adalah dilarang di dalam Kawasan Pelestarian Alam TNBG dan hanya diperbolehkan di kawasan hutan lindung yang kewenangan pemberian izinnya pada Menteri Kehutanan atau areal penggunaan lain yang kewenangan pemberian izinnya pada Pemerintah Daerah. Hal itu pun tidak dapat dilakukan dengan pola pertambangan secara terbuka, karena dalam Perpuu No. 1 Tahun 2004 tidak menyebutkan secara eksplisit, bahwa pertambangan terbuka di hutan lindung diizinkan, sehingga bagi para pelaku pertambangan yang ingin melakukan operasi pertambangan secara terbuka di hutan lindung hal tersebut tetap merupakan tindakan yang ilegal dan melanggar hukum.
Berlakunya Undang-undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, tidak begitu saja dapat menggugurkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut-II/2004. Berdasarkan Pasal 7 (4) dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004, kedudukan Keputusan Menteri Kehutanan tetap diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Ekosistemnya, Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Disisi lain, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 pada Pasal 9 menyatakan bahwa dalam pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu termasuk dengan konservasi sumberdaya hayati dan keanekaragaman hayati. Dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa usaha yang mempunyai dampak besar terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal dan upaya pengelolaan lingkungan hidup.
Kegiatan eksplorasi, apalagi kegiatan eksploitasi pertambangan emas di Kawasan Pelestarian Alam memiliki dampak penting bagi perubahan lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat setempat. Ditambahkan, karena kawasan hutan alam TNBG yang dimintakan izin penggunaaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi oleh PT. SMM lebih besar dari 5000 hektar, yaitu seluas 33.721 hektar, maka menurut perundangan peraturan lingkungan hidup yang berlaku, khususnya Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), PT. SMM diwajibkan melakukan penyusunan AMDAL dan Rencana Pengelolaan Lingkungan dalam kegiatan eksplorasi pertambangan emas. Tetapi kewajiban ini belum pernah dilakukan oleh PT. SMM .
Disisi lain adalah suatu kewajiban bagi PT. SMM untuk mengikuti kebijakan Republik Indonesia yang berlaku saat ini. Karena dalam satu satu klausul Kontrak Karya PT. SMM yang ditanda-tangani Presiden RI pada tanggal 19 Januari 1998, yaitu pasal 20 (1) dinyatakan bahwa “ perusahaan sesuai dengan perundang-undangan perlindungan lingkungan hidup dan suaka alam yang berlaku dari waktu ke waktu di Indonesia, harus melakukan kegiatannya menurut Persetujuan ini sedemikian rupa untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup …..” Sehingga berdasarkan klausul ini, PT. SMM mempunyai kewajiban untuk mengikuti perubahan kebijakan Republik Indonesia saat ini dengan adanya pembentukan TNBG dan kewajiban melaksanakan AMDAL yang bertujuan untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup.
RONA KEKAYAAN DAN KEUNIKAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
TNBG terletak di dalam Kawasan Koridor Biodiversitas Belantara Angkola. Di daerah ini hidup semua jenis hidupan liar yang spektakuler di Sumatera seperti harimau, tapir, siamang dan mungkin badak (Rijksen et al., 2001). Dari kawasan inilah jenis satwa orangutan pertama kali dideskripsikan dalam dunia ilmu pengetahuan modern pada tahun 1641 (Wich et al. 2003).
Keunikan dan variasi geomormologis di Kabupaten Madina, termasuk TNBG memiliki konsekuensi di daerah ini mengandung variasi-variasi habitat yang kaya, seperti hutan rawa dataran tinggi, lahan basah, lembah sungai, hutan gamping, hutan dataran rendah perbukitan dan hutan pegunungan. Adanya variasi habitat ini tentunya lebih dapat mendukung hidupan liar dan keanekaragaman hayati yang sangat kaya.
Kawasan hutan tropis yang menjadi kawasan TNBG berdasarkan Peta Vegetasi Sumatera yang disusun oleh Laumonier et al. (1986) dapat dikategorikan menjadi 2 sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub-tipe Formasi Air Bangis – Singkil yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi menengah (300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut). Kedua, sub-tipe Hutan Montana (1000 – 1800 meter di atas permukaan laut) yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan laut. Berdasarkan analisa peta citra satelit, diantaranya, 50 % atau sekitar 53.000 hektar merupakan hutan dataran rendah dengan Sub-tipe Formasi Air Bangis – Singkil.
Kondisi historis geomorfologis yang mencakup TNBG menyebabkan terjadi pemisahan unit penyebaran fauna (zoogeografi) sebagai akibat adanya perintang geografis (geographical barriers), seperti pegunungan atau sungai. Kabupaten Madina dimasukkan dalam Unit Zoogeografi Danau Toba bagian Selatan. Unit ini berbatasan langsung dengan Unit Zoogeografi Danau Toba bagian Utara, Unit Zoogeografi Pasaman dan Unit Zoogeografi Barumun – Rokan (Perbatakusuma, et al, 2004).
Riset biodiversitas telah dilakukan oleh Pusat Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Conservation International Indonesia, BKSDA Sumatera Utara II dan Pemerintah Kabupaten Madina. (Perbatakusuma, et al, 2004). Secara ringkas hasil riset menyimpulkan kondisi keanekaragamanan hayati di Ekosistem TNBG sebagai berikut:
TNBG merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar langka khas Sumatera dan memiliki nilai penting konservasi global yang terancam punah dan dilindungi undang-undang. Hasil riset terakhir berhasil menambah catatan keberadaan mamalia di TNBG dari 26 jenis menjadi 47 jenis. Di antara jenis mamalia yang tercatat adalah 5 jenis keluarga kucing hutan, termasuk harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac) dan empat jenis primata. Sementara masyarakat juga menginformasikan adanya anjing hutan/ajak (Cuon alpinus) dan dua jenis berang-berang di TNBG. Adanya penyebaran 5 jenis keluarga kucing di TNBG merupakan informasi penting dan temuan baru di Pulau Sumatera. Jumlah jenis yang ditemukan sama tingginya dengan kawasan konservasi penting lainnya di Sumatera, yaitu di Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Dari 25 km pengamatan dengan berjalan kaki dalam areal 4,9 km², dapat diestimasikan bahwa populasi satwa berdasarkan jejak yang ditemukan, kepadatan populasi mamalia besar, tapir dengan kerapatan 2,5 individu per km², beruang 2,5 individu per km² dan harimau 0,4 individu per km², sedangkan kambing hutan yang sangat langka belum dapat diprediksi populasinya.
Selain mamalia besar dan burung, survei ini juga membukukan catatan menarik bagi kelompok satwa lain. Untuk amfibia di antaranya yang tergolong menarik adalah perjumpaan dengan katak bertanduk tiga (Megophrys nasuta). Katak jenis ini merupakan penghuni dasar hutan primer di Sumatera dan Borneo.
Disamping itu ditemukan juga sesilia (Ichtyophis sp.), yaitu jenis amfibia tak bertungkai penghuni bawah permukaan tanah lantai hutan basah di Sumatera dan Sunda Besar. Jenis ini tergolong sulit ditemukan karena jarang sekali keluar dari persembunyiannya di tanah yang basah. Dari kelompok reptilia mencatat adanya King Cobra (Ophiophagus hannah) yang merupakan jenis ular berbisa terbesar di dunia.
Ekosistem TNBG memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi, di antaranya merupakan jenis yang langka, terancam punah dan dilindungi undang-undang. Survei berhasil menambah catatan keberadaan avifauna di TNBG dari 149 jenis menjadi menjadi 247 jenis burung. Catatan sebelumnya untuk seluruh daerah Hutan Belantara Angkola adalah 57 jenis. Dari 247 jenis tersebut, 47 merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, tujuh jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. Dari total jenis burung yang ditemukan 13 jenis merupakan burung yang memberi kontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endemik (endemic bird areas), seperti Dicrurus sumatranus, Lophura inornata dan Daerah Penting bagi Burung (important bird areas), seperti paok Schneider (Pitta schneideri), sepah gunung (Pericrocotus miniatus), sempidan Sumatera (Lophura inornata), kuau-kerdil Sumatera (Polyplectron chalcurum), tokhtor kopua (Carpococcyx viridis), ciung-mungkal Sumatera (Cochoa beccarii) dan meninting kecil (Enicurus velatus). Juga ditemukan dua jenis burung yang akibat terbatasnya informasi mengenai keberadaan jenis tersebut di dunia, dalam kriteria status flora dan fauna menurut IUCN dikategorikan sebagai ‘kekurangan data’ (data deficient), yaitu sikatan bubik (Muscicapa dauurica) dan kutilang gelambir biru (Pycnonotus nieuwenhuisii). Lebih jelasnya diuraikan pada Tabel 2.
Selain itu, kawasan ini juga dikunjungi jenis-jenis burung migran, seperti jenis elang dan burung air, misalnya cekakak Cina (Halcyon pileata), kirik-kirik laut (Merops philippinus), paok hijau (Pitta sordida), raja-udang erasia (Alcedo atthis) dan bentet loreng (Lanius tigrinus). Dengan adanya jenis-jenis burung migran ini menurut skala internasional menunjukkan bahwa TNBG memiliki tingkat kepentingan global yang sangat tinggi untuk dilestarikan fauna dan habitatnya. Disamping itu ada dua jenis yang eksistensinya di Pulau Sumatera masih diragukan, tapi di TNBG dapat ditemukan, yaitu pendendang kaki sirip (Heliopais personata) dan rajawali (Aquila sp.). Dibandingkan dengan kawasan konservasi lain di Sumatera yang memiliki luas yang hampir sama, kekayaan jenis burung di TNBG tergolong sangat tinggi. Sebagai perbandingan, di kawasan Tesso Nilo seluas 188 ribu hektar tercatat 114 jenis (Prawiradilaga et al. 2003). Sedangkan di TN Bukit Tigapuluh yang luasnya 127 ribu hektar tercatat 193 jenis (Prawiradilaga et al. 2003). Jumlah jenis yang tercatat di TNBG hanya selisih sedikit dari TN Bukit Barisan Selatan yang luasnya sekitar tiga kali lipat (356 ribu hektar), yakni 276 jenis (O’Brien & Kinnaird, 1996). Dengan 247 jenis yang tercatat, berarti TNBG merupakan habitat bagi sekitar 40% jenis burung yang tercatat di Sumatera yang menurut pangkalan data Bird Life berjumlah 602 jenis atau 609 jenis menurut Holmes dan Rombang (2001). Pada tahun 2004, TNBG telah dimasukan sebagai kawasan IBA (Important Bird Area) atau Daerah Penting Burung oleh Birdlife International, karena Kawasan TNBG ditemukan jenis-jenis Salvadori's Pheasant (Lophura inornata), Masked Finfoot (Heliopais personatus), Sumatran Ground-cuckoo (Carpococcyx viridis), Schneider's Pitta (Pitta schneideri), Sumatran Cochoa (Cochoa beccarii) (www.birdlife.org, 2005)
Selain jumlah total jenis burung yang tinggi tercatat juga kekayaan jenis dari beberapa kelompok burung tertentu yang keberadaannya sangat tergantung pada kondisi habitat alami yang masih baik. Kelompok jenis-jenis burung seperti rangkong dari keluarga Bucerotidae, tercatat 8 jenis di TNBG atau 80% dari 10 jenis rangkong yang ditemukan di Pulau Sumatera, diantaranya Buceros rhinoceros, Rhinoplax vigil dan Aceros undulatus., takur (keluarga Capitonidae, tercatat 5 jenis), pelatuk (Picidae, tercatat 12 jenis), dan luntur (Trogonidae, tercatat 3 jenis) dikenal sebagai burung-burung yang keberadaannya bergantung pada keberadaan hutan (forest-dependent birds).
Catatan menarik lainnya adalah catatan tentang jenis-jenis burung pemangsa (raptor species). Sebanyak 14 jenis burung pemangsa tercatat di kawasan ini. Salah satu di antaranya, yakni baza hitam (Aviceda leuphotes) merupakan jenis pengunjung (migratory species). Memperhatikan kedudukan burung pemangsa yang berada di puncak piramid dari rantai makanan (food web), maka kekayaan jenis burung pemangsa di TNBG dapat mengindikasikan kondisi populasi mangsa yang cukup baik. Kita dapat menduga bahwa kondisi populasi mangsa yang baik tentu memerlukan kondisi habitat yang baik. Oleh karena perannya yang penting dalam ekosistem, semua jenis burung pemangsa telah dilindungi dalam peraturan perundangan Indonesia.
Kawasan TNBG bukan hanya memiliki kekayaan, fauna tetapi juga keunikan keanekaragaman hayatinya. Keberadaan pedendang kaki-sirip (Heliopais personata) yang keberadaannya di Sumatera selama ini masih belum meyakinkan juga berhasil direkam dalam bentuk foto. Sementara itu, dua buah gambar elang terbang yang sangat menyerupai rajawali totol (Aquila clanga) juga berhasil diambil dengan kamera di daerah survei. Jenis elang ini di Sumatera selama ini baru tercatat sekali, yakni di daerah Sumatera Selatan (Holmes 1996). Sementara itu, dalam waktu yang relatif singkat, dengan perangkap kamera telah berhasil didokumentasikan adanya kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), kucing emas (Catopuma temmincki), dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kambing hutan dan kucing emas merupakan dua jenis satwa langka yang selama ini sangat jarang ditemukan di hutan alam, bahkan oleh mereka yang telah bertahun-tahun mengoperasikan perangkap kamera di Pulau Sumatera.
Ekosistem TNBG kemungkinan merupakan zona hibridisasi (pertemuan/persilangan) dari jenis-jenis satwa khas Sumatera bagian Selatan, Utara dan Timur. Hal itu sangat dimungkinkan karena secara biogeografis letak TNBG diantara Unit Zoogeografi Danau Toba bagian selatan yang berbatasan langsung dengan unit-unit zoogeografi Danau Toba bagian utara, Pasaman dan Barumun – Rokan. Pengamatan mengindikasikan adanya variasi morfologi/warna beberapa jenis satwa di sana dibanding dengan jenis yang sama di tempat lain, baik di Sumatera maupun di Indonesia. Sebagai contoh, jenis simpai/lutung/rekrek (Presbytis sp.) yang menghuni di TNBG ternyata tidak sama dengan yang diilustrasikan dalam berbagai publikasi dan buku panduan lapangan yang ada. Pola warna rekrek/lutung di TNBG cenderung lebih menyerupai kombinasi pola warna antara tiga jenis Presbytis yang hidup di daerah lain yang pernah diteliti, yakni P. thomasi, P. femoralis dan P. melalophos. Seperti diketahui, P. thomasi selama ini diyakini sebarannya ke bagian selatan Pulau Sumatera tidak melampaui Danau Toba, sedangkan P. femoralis di Sumatera hanya di bagian daratan dan pulau-pulau sebelah timur (Riau).
Ekosistem TNBG menyimpan keanekaragaman hayati flora dan keunikan yang sangat tinggi serta banyak dari jenis tersebut terancam punah sebelum diketahui manfaatnya bagi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian seluas 1 hektar petak cuplikan di hutan dataran rendah (660 meter dpl) di TNBG terdapat 240 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47 suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Nilai penting jenis untuk famili dari 10 famili yang paling seringkali ditemukan menunjukan bahwa keluarga Dipterocarpaceae menempati urutan pertama dengan Species Important Values for a Family (TSIVF) sebesar 84,24% disusul secara berurutan keluarga-keluarga dari Euphorbiaceae 31.97%, Burseraceae 24.11%, Myrtaceae 15.89%, Fagaceae 13.72%, Lauraceae 11.62 %, Sapotaceae 11.51% , Myristicaceae 9.73%, Moraceae 9.09% dan Clusiaceae 7.44%.(Kartawinata, et al 2004)
Dari jumlah jenis flora yang dapat teridentifikasi diantaranya 184 jenis dalam 41 suku terdiri pohon berdiameter setinggi dada ≥ 10 cm. Jenis-jenis pohon di TNBG lebih kaya daripada di hutan dataran rendah lain di Sumatera Utara, tetapi lebih miskin daripada di Borneo dan Semenanjung Malaya. Selanjutnya kepadatan pohonnya sebanyak 583 pohon per-hektar lebih tinggi dibandingkan di Ketambe (Sumatera Utara), Bukit Lagong and Sungai Menyala (Semenanjung Malaysia), dan Ladan serta Belalong (Brunei), tetapi lebih rendah dibandingkan di Malinau dan Sebulu (Kalimantan Barat), Gunung Mulu (Sarawak) dan Andulau (Brunei).
Hal menarik lainnya, penambahan jenis terus berrtambah walaupun luas petak cuplikan telah mencapai 1 hektar (Kartawinata, et al 2004). Hal yang menarik lainnya, dalam petak cuplikan 200 meter2 tercatat 222 jenis tumbuhan berpembuluh. Dengan demikian menurut Perbatakusuma, dkk (2004), angka-angka tersebut telah melampaui jumlah jenis dengan luas petak penelitian dan metoda yang sama dan saat ini diketahui tertinggi di dunia, yaitu di hutan dataran rendah Tesso Nilo di Provinsi Riau (Prawiradilaga, 2003) Lihat Tabel 3 yang memperlihatkan perbandingan kekayaan flora dibeberapa lokasi penelitian di kawasan konservasi di Sumatera.
Hasil riset menunjukan distribusi kelas diameter pohon di petak penelitian seluas satu hektar di TNBG mengikuti pola ‘J terbalik’ atau distribusi eksponensial negatif yang menjadi salah satu karakter di hutan alam tropika yang belum terganggu. Hal itu mencerminkan struktur populasi dapat dianggap ideal stabil dan mandiri dalam mempertahankan struktur populasi. Tipe struktur kelas diameter ini memperlihatkan jumlah pohon berdiameter kecil lebih besar dibandingkan pohon berdiameter besar dan secara konstan jumlah pohon berdiameter kecil berkurang pada kelas diameter berikutnya. Karakter dari struktur populasi demikian dicirikan melimpahnya jenis yang tahan naungan (shade-tolerant species) yang berdiameter kecil dan jenis-jenis primer yang terpelihara melalui pertumbuhan pohon berdiameter kecil yang konstan. Dalam struktur populasi tersebut dianggap aman karena diasumsikan pohon dewasa yang mati akan tergantikan oleh individu pohon yang tumbuh dari kelas diameter yang lebih kecil.
Struktur populasi tumbuhan dalam hutan tropis sangat dinamik dan sensitif mengalami perubahan jika terjadi gangguan dalam proses perbanyakan dan perkembangan anakan pohon (seedling recruitment and establishment). Misalnya, jika terjadi pembukaan kanopi hutan yang luas oleh pembalakan kayu, konversi hutan alam maupun perambahan hutan. Di hutan tropis jumlah individu suatu jenis tumbuhan adalah kecil, jadi berarti hilangnya sejumlah kecil individu akan mempunyai dampak yang besar terhadap keseimbangan biologi dan ukuran populasi suatu jenis dan proses regenerasi hutan
Jenis-jenis yang teridentifikasi di hutan dataran rendah terdapat jenis bunga langka dan dilindungi yaitu Bunga Padma (Raffesia sp.) jenis baru, Nepenthes sp. dan Amorphaphalus sp. Dan juga jenis-jenis endemik untuk Sumatera seperti Baccaurea dulcis Merr., Hopea nigra Burck , Shorea platyclados Sloot. ex Foxw. Selain itu, banyak jenis-jenis pohon komersil dari Dipterocarpaceae (meranti-merantian) telah masuk dalam Daftar Status Merah IUCN (IUCN Red List), sehingga penting diprioritaskan tindakan konservasinya agar jenis-jenis tersebut tidak punah (conservation dependent), seperti Aglaia ganggo Miq., Hopea nigra Burck, Shorea gibbosa Brandis, Shorea platyclados Sloot. ex Foxw., Vatica perakensis King, Vatica mangachapoi Blco, Anisoptera costata Korth., Shorea acuminata Dyer dan Hopea beccariana Burck Tingkatan ancaman kepunahan jenis bervariasi dari tingkat critically endangered, endangered sampai tingkatan vulnerable dengan penyebab pemusnahan jenis diakibatkan berbagai sumber berupa perusakan habitat alami, konversi atau hilangnya habitat alami sampai penebangan habis suatu jenis (IUCN, 2004).
Selain itu lebih dari 100 jenis tumbuhan berpotensi untuk obat telah dikoleksi guna menyelamatkan jenis mikroba endofitik berupa miroba jamur dan kapang yang hidup dalam jaringan tumbuhan (xylem dan phloem) dari kepunahan. Dan sampai saat ini telah dapat dikoleksi 1500 jenis mikroba yang terdiri dari jamur dan kapang. Konservasi mikroba dari hutan tropis Indonesia belum pernah dilakukan oleh lembaga mana pun sebelumnya. Mikroba ini banyak memberikan manfaat, antara lain sebagai sumber obat-obatan, pupuk organik, bio-insektisida ataupun bio-fungsida yang menunjang sektor pertanian maupun penghasil enzim dan hormon yang dibutuhkan oleh sektor industri. Dari jenis mikroba yang dikumpulkan telah menghasilkan sejumlah 745 isolat mikroba endofitik murni yang terdiri dari 393 isolat jamur dan 352 isolat bakteri. Diantaranya dari 115 jenis isolat yang telah diuji hampir separuhnya teridentifikasi menghasilkan senyawa kimia aktif yang dapat memerangi beberapa bakteri pathogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, seperti Echerichia coli, Bacillus sp. dan bakteri penyakit tanaman budidaya, seperti Xanthomonas campestris dan Pseudomas solanaceum. Disamping itu beberapa diantaranya mampu menghasilkan hormon tumbuh (indole acetic acid) dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan tanaman budidaya.
Hasil kajian menunjukkan perlindungan jenis satwa di TNBG menjadi penting karena terkait dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan. Eksistensi jenis satwa payung (umbrella species) maupun jenis satwa kharismatik, seperti harimau Sumatera, beruang madu, kambing hutan ataupun tapir membutuhkan kondisi hutan alam yang utuh dengan luasan tertentu untuk mereka dapat bertahan hidup dalam jangka panjang. Ini berarti dengan melindungi tempat hidup mereka, yaitu tutupan hutan alam sekaligus jasa-jasa ekologis hutan alam dan hasil hutan bukan kayu dapat terjaga, seperti sumber air, pencegah erosi/banjir atau keseimbangan iklim dan potensi wisata alam.
Selain dilindungi dan langka, jenis-jenis mamalia mempunyai peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis dan keutuhan keanekaragaman hayati di dalam Kawasan TNBG dan di kawasan budidaya masyarakat seperti peranannya sebagai pemencar biji, penyubur tanah, daur ulang mineral tanah, pemangsa (predator), pengendali populasi babi dan tikus yang menjadi hama tanaman masyarakat, penyerbukan bunga dan pengendali serangga yang dapat menjadi hama tanaman masyarakat.
Berkurang dan hilangnya populasi jenis satwa liar yang menjadi mangsa harimau Sumatera, seperti rusa, kijang, kambing hutan, pelanduk dan babi akan menyebabkan meningkatnya konflik harimau dengan manusia di kawasan budidaya yang merugikan secara ekonomi, misalnya ternak. Bahkan dapat merengut korban jiwa manusia, seperti yang terjadi di Desa Rantau Panjang pada tahun 2002 dan 2003. Hilangnya satwa liar jenis kunci bagi kepentingan ekologis (ecological key species atau amplifier species) yang berperan sebagai pemangsa biji, pemencar biji, penyerbukan tanaman, pengendalian babi dan tikus, tentunya secara langsung dan tidak langsung akan menurunkan produktifitas pertanian di daerah pedesaan dengan meningkatnya gangguan hama penyakit tanaman budidaya, seperti tikus, babi, serangga. Lihat penjelasan pada Tabel 1
Adanya kekayaan jenis burung ini, juga menunjukan keragaman peranannya dalam ekosistem hutan, seperti jenis-jenis rangkong berperan sebagai pemangsa biji, agen pemencaran biji atau jenis lainnya yang dapat berperan sebagai penyerbuk tanaman (polinator) dan pengendali serangga hama tanaman yang mendukung produktifitas kawasan pertanian masyarakat. Pemusnahan jenis burung tersebut yang dikatagorikan “spesies kunci” tentunya akan menimbulkan kerugian sosial ekonomi yang besar bagi kawasan pertanian masyarakat.
Banyaknya jenis burung rangkong yang ditemukan di TNBG menunjukan kawasan ini sesuai sebagai habitat satwa pemakan buah (frugivores). Jenis burung rangkong karena daerah jelajahnya sangat luas memiliki konsekuensi sebagai agen pemencar biji berjarak jauh (long-distance seed disperser) berpotensi mempengaruhi proses ekologi penting di dalam hutan alam, khususnya regenerasi hutan dan menjaga keanekaragaman hayati tumbuhan, termasuk dinamika metapopulasi, persistensi populasi dan keanekaragaman komunitas tumbuhan (Ouborg et al. 1999, Cain et al. 2000). Dalam hutan alam yang terfragmentasi, pemencaran biji berjarak jauh seperti dilakukan burung rangkong memainkan peranan penting dalam memelihara keanekaragaman genetis tumbuhan melalui aliran gen diantara populasi tumbuhan yang terfragmentasi (Hamilton 1999)
DAMPAK EKSPLORASI PERTAMBANGAN EMAS
TERHADAP PEMUSNAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Laju kepunahan spesies flora dan juga fauna dapat dipastikan sejalan atau lebih tinggi dari laju penggundulan hutan (deforestasi). Padahal tidak kurang dari 11% spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 15% spesies amfibi dan reptilia serta 17% spesies burung yang ada di dunia (Adisoemarto dan Rifai, 1994) tersimpan di hutan hutan tropis kita. Sementara itu, pada tahun 1992 saja, laju penggundulan hutan tropis di Indonesia berkisar antara 0,5 -1,0 % per tahun (Blockhus et al., 1992) yang diduga mengakibatkan punahnya 27 % jenis kehidupan liar pada seperempat abad mendatang (Reid, 1992). Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan 1 spesies (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada 10 tahun terakhir2 (Jakarta Post, 21 Mei 2003). Salah satu keputusan dalam para pihak Dalam pertemuan para pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati di Den Haag pada tahun 2002, menyatakan bahwa para pihak, termasuk negara Indonesia harus mengupayakan “penurunan laju kerusakan keanekaragaman hayati yang nyata pada tahun 2010 di tingkat global, regional dan nasional”.
Berdasarkan Teori Island Biogeography (Arthur dan Wilson, 1967) yang menyatakan bahwa semakin luas hutan yang tidak terputus kawasannya, maka semakin tinggi kandungan jenis flora dan faunanya. Tidak hanya jumlah jenis secara keseluruhan lebih tinggi, tetapi juga rata-rata jenis perhektar. Sebaliknya makin hutan di luar kawasan konservasi ditebang dan dikonversi, semakin menurun jenis flora dan fauna di dalam kawasan konservasi Ada banyak faktor yang mempengaruhi dan belum seluruhnya diketahui, namun salah satu faktor yang penyebab utama dalam kepunahan ini adalah kerusakan dan hilangnya hutan di luar kawasan konservasi tersebut dan luas kawasan beberapa habitat alamiah berkurang daya dukungnya untuk beberapa populasi jenis ataupun beberapa habitat tidak terwakili lagi.
Analisa kepunahan jenis secara umum di dunia menunjukan bahwa faktor-faktor yang paling menentukan kehilangan jenis adalah a). fragmentasi dan kehilangan habitat alamiah, b). pemburuan berlebihan (overkill), c).dampak introduksi jenis eksotik, d). polusi dan e). dampak sekunder atau ripple effect yang diartikan kalau satu jenis punah maka ada beberapa jenis lain yang ikut punah (Wind dan Rijksen, 1992 ). Jadi dapat disimpulkan, bahwa perubahan habitat alamiah yang terjadi di luar kawasan konservasi akan berdampak negatif pada keutuhan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayatinya, apalagi kalau perubahan bentang alam tersebut terjadi di dalam kawasan konservasi..
Bagaimana dampak kegiatan pertambangan emas terhadap keutuhan keanekaragaman hayati? Umumnya dalam siklus pertambangan emas skala besar mempunyai dua siklus kegiatan utama (kegiatan eksplorasi – kegiatan ekstraksi) yang saling berkaitan, yaitu eksplorasi, pengembangan dan kontruksi proyek, operasi tambang, ekstraksi bahan galian dan penutupan dan reklamasi kawasan pertambangan. Antara kegiatan eksplorasi dan ekstraksi mempunyai potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial masyarakat yang mirip hanya berbeda dalam intensitas dampaknya Kegiatan eksplorasi mempunyai intensitas dampak yang lebih rendah, tetapi dengan luasan daerah dampak yang relatif luas, dibandingkan dengan kegiatan ekstraksi yang memiliki intensitas dampak yang tinggi dengan luasan kawasan dampak yang lebih kecil (Sweeting dan Clark, 2000)
Ada berapa masalah-masalah utama yang muncul dalam kegiatan eksplorasi pertambangan emas, yaitu :
1. Dampak eksplorasi pada aras keanekaragaman hayati seringkali dilupakan;
2. Fase eksplorasi adalah fase penting dalam menentukan masa depan lokasi operasi pertambangan;
3. Dampak langsung eksplorasi kurang terlihat nyata, tetapi dampak tidak langsung yang penting, seperti
pembukaan akses jalan dan pembangunan infrastruktur pendukung eksplorasi;
4. Perusahaan kecil dan menengah dengan profil publik yang rendah selalu yang menyelenggarakan
kegiatan eksplorasi;
5. Kegiatan eksplorasi melibatkan investasi yang besar, tetapi sangat tinggi resiko dengan tingkat
keuntungan ekonomi yang rendah;
6. Informasi tentang kandungan keanekaragaman hayati dan ekosistimnya, seringkali tidak tersedia.
Potensi dampak negatif dari kegiatan eksplorasi pertambangan akibat adanya pembukaan lahan, pembangunan akses jalan dan pembangunan infrastruktur pertambangan dapat meliputi erosi, sedimentasi, perubahan iklim mikro, polusi limbah padat, limbah cair dan suara, hilangnya habitat fauna flora langka dan terancam punah secara global. Dampak terbesar adanya dampak tidak langsung sosial, sebagai akibat dari meningkatnya akses jalan ke kawasan terpencil, sehingga menyebabkan terjadinya migrasi spontan penduduk yang diikuti dengan kolonisasi penduduk dan penggundulan kawasan hutan alam sekitar kawasan kegiatan eksplorasi. (Sweeting dan Clark, 2000)
Sweeting dan Clark (2000) menambahkan bahwa tahapan lanjutan dari fase kegiatan eksplorasi berupa kegiatan pembuatan parit/lubang dan penggalian contoh bahan mineral yang disesuaikan dengan arah dan bentuk tertentu dari deposit mineral mempunyai potensi dampak negatif lingkungan yang sangat tinggi. Karena dalam kegiatan ini dilakukan kegiatan-kegiatan pembukaan lahan, pembuatan akses jalan dan penggunaan mesin dan alat-alat berat. Dampak ini akan berakumulasi jika pembangunan infrastruktur permanen semakin besar, sebagai konsekuensi dari luas cakupan kawasan yang akan dieksplorasi. Uraian ini menunjukan bahwa kegiatan pertambangan emas yang dilakukan di kawasan hutan alam akan menimbulkan faktor-faktor hilangnya jenis keanekaragaman hayati sebagaimana yang diterangkan oleh Wind dan Rijksen (1992).
Pembukaan hutan alam TNBG untuk kegiatan eksplorasi akan mengakibatkan pembukaan kanopi hutan sehingga akan terjadi fragmentasi habitat dan mengurangi keragaman habitat alamiah dalam bentuk “pulau-pulau hutan”. Fragmentasi hutan merupakan hal penentu dalam menentukan laju pemusnahan jenis. Karena fragmentasi akan menyebabkan terisolasinya suatu spesies akibat terputusnya hubungan antar populasi jenis, terhambatnya proses kolonisasi, penyebaran dan penjelajahan. Itu akan menyebabkan suatu spesies terserang persilangan genetik, penyakit dan menghasilkan populasi tidak mampu berbiak sehingga terjadi percepatan pemusnahan jenis secara lokal (Lee, et al 1988). Disamping adanya implikasi dari Teori Biogeografi Pulau yang menyatakan bahwa pulau-pulau atau kawasan hutan alam yang terisolasi memiliki jenis fauna yang makin berkurang dan menampung lebih sedikit spesies dibandingkan dengan kawasan hutan alam yang tidak terfragmentasi. (Arthur and Wilson, 1967). Whitmore and Sayer (1992) menambahkan bahwa dalam teori ‘demographic stochasticity’, pulau yang besar atau dapat diumpamakan kawasan hutan alam yang luas menyimpan populasi suatu jenis yang besar pula. Hal ini berarti laju musnahnya suatu jenis di pulau yang besar atau di kawasan hutan alam yang luas lebih lambat dibandingkan dengan pulau kecil atau kawasan hutan alam yang luasannya kecil.
Pembukaan tajuk hutan alam dalam kegiatan eksplorasi pertambangan, juga sangat berpengaruh terhadap hubungan interaksi mutualistik antara satwa liar dengan tumbuhan yang penting peranannya dalam memelihara keanekaragaman hayati hutan tropis dan proses ko-evolusi atau saling berkembang bersama antara hewan dan tumbuhan. TNBG diketahui menyimpan kekayaan satwa liar yang tinggi yang merupakan jenis-jenis kunci bagi kepentingan ekologis yang berperan sebagai pemangsa biji, pemencar biji, penyerbukan tanaman, pengendalian babi dan tikus.
Dari jenis-jenis burung rangkong sampai jenis primata memiliki peran sebagai pemencar dan pemangsa biji yang bermanfaat untuk membantu proses regenerasi hutan dan memelihara keanekaraman hayati hutan tropika. Studi yang dilakukan oleh Dew (2001) di hutan tropis Amazon menunjukan bahwa monyet Humboldt's woolly monkey (Lagothrix lagothricha poeppigii) dan white-bellied spider monkey (Ateles belzebuth belzebuth) mempunyai efektifitas sangat tinggi sebagai pemencar biji, misalnya rata-rata jarak pemencaran biji 245 meter, 23% biji yang dipencarkan berkecambah di lantai hutan. Hasil studi Hovestadt, et al (1999) di hutan tropis Afrika memperlihatkan bahwa pemencaran biji yang dilakukan oleh satwa liar lebih efisien dibandingkan biji yang dipencarkan oleh angin dalam proses rekolonisasi jenis-jenis tumbuhan pada hutan yang rusak setelah mengalami gangguan.
Pembukaan hutan alam untuk kegiatan pertambangan juga akan menyebabkan menurunnya bahkan musnahnya populasi jenis tumbuhan Ara (figs) sebagai sumber pakan banyak jenis satwa liar, khususnya pada saat musim paceklik buah. Diketahui ada 3 jenis Ara yang hidup di TNBG, diantaranya Ficus drupacea dan Ficus uncinulata. Hal tersebut akan memicu terjadinya permusnahan spesies secara lokal. Karena musnahnya Ara akan menyebabkan terganggunya atau punahnya populasi spesies lain (cascade effects) (Bronstein 1992; Thiollay 1992.).
Penjelasan tersebut diatas menggambarkan bahwa upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan karena penambangan di Kawasan Hutan Lindung maupun di Kawasan Pelestarian Alam melalui pembatasan blok dan pembentukan zonasi untuk kawasan eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan emas masih diragukan efektifitasnya dalam mengurangi laju kepunahan keanekaragaman hayati. Upaya "lokalisasi" kerusakan pada suatu kawasan ekologis, sebagaimana halnya TNBG merupakan kesalahan paradigma, karena kawasan ekologis merupakan satu kesatuan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya dan mempunyai keterkaitan dengan siklus kehidupan.
IMPLIKASI HUKUM PEMUSNAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Ratifikasi Pemerintah Indonesia terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994 membawa implikasi kebutuhan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional di bidang keanekaragaman hayati agar konsisten dengan Konvensi. Berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, ratifikasi konvensi tersebut menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan penempatannya dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1994 menjadikan konvensi tersebut mengikat bagi seluruh warga negara di Indonesia. Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara beradab, Indonesia harus menjaga kredibilitas internasionalnya dan terikat secara moral dengan konvensi tersebut yang sejumlah pasalnya mewajibkan negara untuk melaksanakan upaya konservasi keanekaragamanan hayati.
Dua elemen penting dari pembukaan Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) yang perlu diperhatikan oleh negara antara lain:
1. prinsip pencegahan, yaitu kerusakan terhadap keanekaragaman hayati harus diantisipasi, diatasi dan
dicegah pada sumbernya.
2. prinsip berjaga-jaga atau kehati-hatian secara dini (precautionary), yaitu kelemahan akibat tidak
memadainya ilmu pengetahuan hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk penundaan upaya
pencegahan atau minimalisasi ancaman terhadap keanekaragaman hayati.
Beberapa tanggung-jawab negara yang meratifikasi KKH, khususnya kaitannya dengan konservasi secara in situ, sebagaimana tujuan dari pembentukan TNBG diuraikan dalam pasal 8 dari KKH diantaranya yaitu :
1. mengembangkan sistem kawasan lindung atau kawasan yang memerlukan penanganan khusus untuk
mengkonservasi keanekaragaman hayati;
2. mengatur atau mengelola sumber daya hayati yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati baik
di dalam maupun di luar kawasan lindung, dengan maksud untuk menjamin konservasi dan pemanfaatan
secara berkelanjutan;
3. memajukan perlindungan ekosistem, habitat alami dan pemeliharaan populasi yang berdaya hidup dari
spesies di dalam lingkungan alaminya;
4. memajukan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di kawasan yang berdekatan
dengan kawasan lindung dengan maksud untuk dapat lebih melindungi kawasan-kawasan ini;
5. merehabilitasi dan memulihkan ekosistem yang rusak dan mendorong pemulihan jenis-jenis terancam, di
antaranya melalui pengembangan dan pelaksanaan rencana-rencana atau strategi pengelolaan lainnya;
6. mencegah masuknya serta mengendalikan atau membasmi jenis-jenis asing yang mengancam ekosistem,
habitat atau spesies.
Ditambahkan dalam pasal 14 dari KKH dinyatakan adanya kewajiban negara untuk memperkenalkan prosedur tepat guna yang memerlukan pengkajian dampak lingkungan terhadap proyek-proyek yang diusulkan, yang diperkirakan mempunyai akibat merugikan terhadap keanekaragaman hayati untuk menghindarkan atau memperkecil akibat semacam itu dan bila sesuai, mengizinkan partisipasi masyarakat melalui prosedur tertentu
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya pembentukan TNBG dan pelarangan pertambangan terbuka di Kawasan Pelestarian Alam dan Hutan Lindung merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab negara untuk melaksanakan prinsip-prinsip dan kewajiban KKH tersebut.
Dari sudut hukum, kegiatan penambangan di Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi dapat dikategorikan merupakan suatu tindakan yang salah secara hukum, karena jelas-jelas telah melanggar ketentuan di beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan yang berlaku di Indonesia yaitu :
1. Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. PT. SMM yang bermaksud melakukan kegiatan eksplorasi di TNBG yang merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Padahal ketentuan di dalam Undang-undang No.5 tahun 1990 sudah jelas-jelas melarang kegiatan yang dapat merusak keutuhan kawasan dan ekosistemnya. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang dimaksud, maka dapat diancam hukuman pidana berdasarkan ketentuan pidana dalam undang-undang ini sebagaimana pasal 40, dengan pidana penjara paling lama 5 sampai 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 100 juta atau Rp. 200 juta.
2. Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Perdebatan hukum boleh atau tidaknya kegiatan tambang di hutan lindung, diluar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seharusnya sudah selesai karena Pasal 38 ayat (4) Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang secara tegas melarang kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung, karena mengingat pentingnya fungsi kawasan hutan lindung terhadap daya dukung ekosistem, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Dan dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (3) yang menyatakan bahwa di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di Kawasan Hutan Produksi dengan ketentuan khusus dan selektif. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diancam hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5 milyar.
3. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di dalam TNBG maupun di Kawasan Hutan Lindung memiliki dampak besar bagi lingkungan hidup dan mempunyai unsur perusakan lingkungan hidup di Kawasan TNBG. Pada pasal 9 ayat (3) dalam Undang-undang No. 23 dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Dan jelas disini, bahwa pembentukan TNBG merupakan salah satu kewajiban Pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup dalam konteks konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Pemerintah juga berkewajiban menerapkan perangkat dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan (pasal 10 butir e), salah satunya bersumber dari perusakan lingkungan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (pasal 1 ayat 14). Dan selanjutnya disebutkan adanya sanksi pidana yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan linkungan hidup, diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta.
4. Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. TNBG mengandung jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang ditetapkan sebagai golongan yang dilindungi, endemik dan terancam punah. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa secara ideal dilakukan di dalam habitat aslinya (in situ) (Pasal 8 ayat 1 dan penjelasannya) melalui kegiatan pembinaan habitat dan populasinya (Pasal 8 ayat 3 huruf e). Salah satu tujuan pengawetan jenis ini adalah menghindari jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan serta memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada (Pasal 2). Dan Pemerintah sebagaimana Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) berkewajiban melakukan upaya pengawetan terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang telah ditetapkan dalam golongan yang dilindungi dengan kriteria mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam dan daerah penyebaran terbatas (endemik) dan pada Pasal 13, dinyatakan bahwa Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya. Pada pasal 27 ayat 5 dinyatakan tindakan represif yang meliputi penegakan hukum dapat dilakukan terhadap adanya tindakan hukum, termasuk di dalamnya pelanggaran terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
ARBITRASE INTERNASIONAL, MUNGKINKAH ?
Alasan yang seringkali dikemukakan adalah pembentukan TNBG dan larangan penambangan secara terbuka di Kawasan Hutan Lindung dan TNBG ditetapkan setelah konsesi pertambangan diberikan melalui Kontrak Karya (KK) kepada PT.SMM. Dengan demikian, PT. SMM dirugikan oleh kebijakan yang ditetapkan setelah konsesi diberikan, dan Pemerintah dikuatirkan harus membayar sejumlah ganti kerugian secara finansial, atau menjadi sengketa di forum arbitrase internasional. Kekuatiran ini sebenarnya tidak mempunyai argumentasi yang kuat yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dalam Kontrak Karya PT. SMM pasal 23 ayat (1) memiliki klausul “keadaan memaksa” (force majeure). Salah satu penyebab force majeure berdasarkan kontrak karya adalah “perintah atau petunjuk (adverse order or direction) dari pemerintah “de jure” atau “de facto”, atau perangkatnya atau sub divisinya yang merugikan”. Konsekuensi dari klausul tersebut adalah bilamana Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam rangka menyelamatkan sumberdaya keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna kemaslahatan orang banyak yang diwujudkan dalam bentuk Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut-II/2004 mengenai pembentukan TNBG dapat ditafsirkan sebagai force majeure. Dalam kondisi yang demikian, meskipun Pemerintah telah menandatangani Kontrak Karya untuk menyetujui suatu kegiatan pertambangan di suatu lokasi, tapi kemudian sebagian atau seluruh lokasi tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Lindung atau Kawasan Taman Nasional dengan pertimbangan demi kemaslahatan orang banyak, maka Pemerintah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Seperti diketahui maksud penetapan hutan lindung adalah: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air; (2) mencegah banjir; (3) mengendalikan erosi; (4) mencegah intrusi air laut; dan (5) memelihara kesuburan tanah. Dan maksud penetapan Kawasan Taman Nasional adalah (1) perlindungan sistim penyangga kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) pemanfaatan secara lestari. Dengan demikian karena perintah pasal 38 ayat 4 Undang-undang No.41/ 1999 dan Pasal 30 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 merupakan perintah Undang-undang, maka secara hukum perusahaan tidak bisa menuntut adanya kompensasi atau ganti kerugian apapun, karena kebijakan pemerintah tersebut dapat dikategorikan sebagai adverse order or direction sebagai penyebab force majeure.
2. Disisi lain adalah suatu kewajiban bagi PT. SMM untuk mengikuti kebijakan Republik Indonesia yang berlaku saat ini. Karena dalam satu satu klausul Kontrak Karya PT. SMM yang ditanda-tangani Presiden RI pada tanggal 19 Januari 1998, yaitu pasal 20 (1) dinyatakan bahwa “ perusahaan sesuai dengan perundang-undangan perlindungan lingkungan hidup dan suaka alam yang berlaku dari waktu ke waktu di Indonesia, harus melakukan kegiatannya menurut Persetujuan ini sedemikian rupa untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup …..” Pasal ini diterima PT.SMM dimana mereka diharuskan untuk berkewajiban secara terus menerus agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai suaka alam dan lingkungan hidup yang berlaku dari waktu ke waktu selama masa berlakunya kontrak karya. Sehingga berdasarkan klausul ini, PT. SMM mempunyai kewajiban untuk mengikuti perubahan kebijakan Republik Indonesia saat ini dengan adanya pembentukan TNBG dan kewajiban melaksanakan AMDAL yang bertujuan untuk mengurangi dan menanggulangi kerusakan lingkungan hidup.
3. Pasal 21-22 Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA), memang memberikan hak PT. SMM yang melakukan penanaman modal yang dibolehkan dalam UU PMA untuk melakukan arbitrase terhadap pemerintah Indonesia. Namun demikian, hak ini dibatasi hanya untuk menentukan batas kompensasi yang wajar yang diakibatkan oleh “nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”. Pasal ini dengan demikian hanya relevan pada kasus-kasus dimana terjadi pengambilalihan investasi seluruhnya dan secara langsung oleh Pemerintah, misalnya ketika pemerintah mengambil alih operasi perusahaan modal asing dan menjadikannya milik negara. Dilakukannya penyesuaian operasi perusahaan terhadap aturan lingkungan –sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 38(4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan—tidak termasuk dalam kategori “nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”, bahkan untuk penafsiran yang paling bebas sekalipun. Operator pertambangan asing masih tetap memiliki hak kepemilikan yang sama atas operasinya, baik sebelum atau sesudah diberlakukannya peraturan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada dasar argumen yang kuat bagi PT. SMM untuk mengajukan arbitrase internasional berdasarkan Pasal 21-22 Undang-undang PMA. Semua BIT (Bilateral Investment Treaties) dan/atau MITs (Multilateral Investment Treaties) dimana Indonesia menjadi pihaknya, menjamin agar Pemerintah Indonesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang “setara dengan”, “berbobot sama dengan”, atau “memberikan dampak yang sama dengan” penghilangan hak. PT.SMM tidak akan berhasil dalam klaim yang didasarkan pada BIT atau MIT yang menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung, karena pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung dan di Kawasan TNBG tidak dapat dianggap sebagai penghilangan secara tidak langsung hak investasi PT.SMM
4. PT. SMM masih memiliki hak-hak yang tepat sama dengan hak-hak yang mereka miliki sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu hak untuk menambang dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan suaka alam dan lingkungan hidup, dalam hal ini Pasal 38(4) Undang-undang Kehutanan. PT.SMM juga tidak dapat mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa pemerintah Indonesia melanggar BIT dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan yang sama dan setara, karena pelarangan tersebut berada dalam lingkup wewenang Pemerintah Indonesia, dan hal tersebut dilakukan demi kepentingan publik yang sah, dan tidak mendiskriminasi atau secara tidak adil telah merugikan PT. SMM. Ditambahkan Undang-undang Kehutanan No. 41/1999 dan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Ekosistemnya, Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati memiliki hukum yang lebih tinggi daripada Kontrak Karya PT. SMM. Jadi tidak tidak masuk akal apabila PT.SMM akan melakukan arbitrase internasional hanya berdasarkan Kontrak Karya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Kesimpulan
a. TNBG mempunyai nilai konservasi yang tinggi berskala global, karena kekayaan dan keunikan keanekaragaman hayati dan ekosistim serta jasa lingkungan penting lainnya yang terkandung di TNBG. Hal tersebut harus dilindungi dan dilestarikan, karena menyangkut kelangsungan hajat hidup orang banyak antar generasi.
b. Pembentukan TNBG sudah mengikuti peraturan perundangan yang berlaku, memenuhi kriteria pembentukan Kawasan Taman Nasional dan sejalan dengan aspirasi masyarakat setempat dan Pemerintah Kabupaten Mandailing, sehingga eksistensinya tidak perlu digugat kembali oleh PT.SMM secara hukum..
c. Kegiatan eksplorasi maupun rencana eksploitasi pertambangan emas dengan pola terbuka yang dilakukan PT. SMM di Kawasan TNBG dan Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Mandailing Natal akan menimbulkan dampak penting bagi kondisi keanekaragaman hayati dan ekosistim TNBG serta masyarakat setempat yang mengambil manfaat ekonomi dari jasa lingkungan yang disediakan TNBG melalui keanekaragaman hayati yang dikandungnya.
d. Pemusnahan keanekaragaman hayati dan ekosistim TNBG akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan emas oleh PT. SMM akan mempunyai implikasi hukum yang serius, karena terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah diatur oleh peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Disamping itu akan menjadi sorotan dan isu internasional, karena Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati.
e. Kekuatiran adanya tuntutan arbitrase internasional yang akan diajukan PT. SMM tidak mempunyai alasan yang kuat. Seharusnya kita harus menunjukan bahwa Pemerintah Indonesia serius terhadap segala konvensi internasional di bidang lingkungan demi kepentingan lingkungan global, demi kepentingan umat manusia di dunia, dan demi kepentingan kehidupan di planet bumi ini. Konvensi internasional di bidang lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati dapat membela dan memperkuat posisi kita di Arbitrase Internasional.
2. Rekomendasi kebijakan teknik
a. Departemen Kehutanan harus konsisten terhadap pembentukan TNBG. Selanjutnya menetapkan kebijakan, agar tidak memberikan ijin penggunaan kawasan untuk eksplorasi pertambangan emas di TNBG dan hutan lindung, sebelum PT. Sorikmas Mining melakukan penyusunan Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana yang diatur dalam perundangan peraturan yang berlaku. Penyusunannya harus terintegrasi dengan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati di TNBG dan dilakukan dengan akuntabilitas dan transparansi yang tinggi dan dipantau pelaksanaannnya oleh pihak eksternal.
b. Departemen Kehutanan agar tidak mengijinkan PT. Sorikmas Mining untuk melakukan kegiatan pertambangan emas secara terbuka maupun tertutup di Kawasan TNBG, karena pertimbangan nilai konservasi keanekaragaman hayati yang tinggi dan unik serta kemanfaatannya bagi masyarakat luas.
REFERENSI
Adisoemarto, S dan Rifa, M.A (Eds) 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Kantor Menteri Lingkungan Hidup dan Komphalindo, Jakarta
Blockhus, J.M, Dillenbeck, Sayer, J.A and Wegge, P (Eds) 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forest. IUCN, Gland.
Bronstein, J.L. 1992. Seed Predators as Mutualists: Ecology and Evolution of the Fig-Pollinator Interaction in Insect-Plant Interactions. Vol. IV, E. Bernays ed. Boca Raton, FL: CRC Press, pp.1–44.
Cain, M. L., Milligan, B. G. and Strand, A. E. 2000. Long-distance seed dispersal in plant population. – Am. J. Bot. 87: 1217–1227.
Dew, LJ. 2001. Synecology and Seed Dispersal in Woolly Monkeys (Lagothrix lagotricha poeppigii) and Spider Monkeys (Ateles belzebuth belzebuth) in Parque Naçional Yasuní, Ecuador. Manuscript.
Gillison, A.N. 2001. Vegetation Survey and Habitat Assesment of the Tesso Nilo Forest Complex. Technical Report. Pekanbaru.
Hamilton, M. B. 1999. Tropical Tree Gene Flow and Seed Dispersal. – Nature 401: 129–130
Hilton-Taylor, C. (compiler) 2000. 2000 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Downloaded on 10 June 2002.
Holmes, D.A. (1996): Sumatra Bird Report. Kukila 8: 9-56
Holmes, D. dan Rombang, W.M. 2001: Daerah Penting bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife International Indonesia Programme, Bogor.
Hovestadt. T, Yao P and Linsenmair KE. 1999. Seed Dispersal Mechanisms and the Vegetation of Forest Islands in a West African Forest-savanna Mosaic (Como´e National Park, Ivory Coast) Plant Ecology 144: 1–25. Netherlands.
IUCN .2004. IUCN Red List of Threatened Species www.redlist.org
Kartawinata, K, Afriastini, J.J, Heriyanto, M and Samsoedin, I. 2004. A Tree Species Inventory in A One-Hectare Plot at the Batang Gadis National Park, North Sumatra, Indonesia. Reinwardtia 12(2)_145
Laumounier, Y, Purnadjaja and Setiabudhi. 1986. Vegetation Map of Sumatra: Central Sumatra. ICTP and Seameo-Biotrop. Bogor
Ledec, G and Goodland, R 1992. Harmonising Sustainable Development with Conservation of Wildlands. In Vijay, P.K and White, J (Eds). Conservation Biology. The Commonweath Science Council. London
Lee, P. C., Thornback, J. and Bennett, E.L. 1988. Threatened Primates of Africa: The IUCN Red Data Book. Gland, Switzerland and Cambridge, U.K.
MacArthur, RH and Wilson, EO. 1967 The Teory of Island Biogeography. Princenton University Press. Princeton.
Mittermeier, R, Gill P dan Goettsch- Mittermeier (1997) Megadiversity : Earths Bilogically Wealthist Nations. Conservation International – Cemex. Prado Norte.
O’Brien, T.G. dan Kinnaird, M.F (1996): Birds and Mammals of the Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Oryx 30(3): 207-217.
Ouborg, N. J., Piquot, Y. and Van Groenendael, J. M. 1999. Population Genetics, Molecular Markers and the Study of Dispersal in Plants. – J. Ecol. 87: 551–568.
Perbatakusuma, Erwin. A, Supriatna, Jatna, Wurjanto. Didi, Supriadi. Prie, Ismoyo. Budi, Wiratno, Sihombing. Luhut, Wijayanto. Iwan, Widodo.Erwin. S, Manullang. Barita O, Siregar. Safaruddin, Damanik. Abdulhamid dan Lubis. Abu, H. .2005. Bersama Membangun Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing – Natal dan Conservation International Indonesia. Jakarta.
Perbatakusuma, EA, Wurjanto, D, Widodo ES, Daulay, AH dan Ismoyo, B 2006 . Taman Nasional Batang Gadis, Pertambangan di Hutan Lindung, dan Ancaman Arbitrase International : Kasus PT. Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal. Kertas Kebijakan Conservation International Indonesia. Medan
Prawiradilaga, D. M., A. Suyanto, W. A. Noerdjito, A. Saim, Purwaningsih, I. Rachmatika, S. Susiarti, I. Sidik, A. Marakarmah, A. Mun’im, M. H. Sinaga, E. Cholik, Ismail, M. Maharani, Y. Purwanto, dan E.. B. Waluyo. (2003): Survey Report on Biodiversity of Tesso Nilo. LIPI-WWF Indonesia. Tidak Dipublikasikan
Reid, W.V 1992. How Many Species Will There Be? In Whitmore, T.C and Sayer J.A (Eds) Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman and Hall. London.
Rijksen HD, Meijaard, Erik , Junaid, Hasrul and Dijkstra, B (2001) : The Angkola Wilderness : Siondop - Batang Gadis Catchment Area. Proposal for Investigating the Feasibility of a Development Project. IFAW Technical Memorandum No. 3. Tidak Dipublikasikan
Sweeting, AR and Clark AP (2000) : Lightening the Lode : A Guide to Responsible Large-sale Mining. Conservation International. Washington DC.
Wich, S.A., I. Singleton, .S. Utami-Atmoko, M.L. Geuters, H.D. Rijksen and C.P. van Schaik. 2003. The Status of the Sumatera Orang-utan Pongo abelii and Update. Oryx Vol 37 No. 1 January 2003.
Wind. J dan Rijksen, H. 1992. Keragaman Sumber Daya Alam Daerah Penyangga. Makalah pada Workshop Program Daerah Penyangga, Bogor.
Whitmore TC. and Sayer JC. 1992. Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman & Hall. London.