Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Wednesday, 25 May 2011

The Batang Toru Forest Revisited



The Batang Toru Forest Revisited [1]

Erwin A Perbatakusuma, Bonni Dewantara and Iwan H Wijayanto [2]


1.  Background

The Batang Toru Forest Ecosystem (BTFE) consisted West and East Batang Toru Forest Range. The BTFE is located in North Sumatra Province south of the second world largest lake of Lake Toba. Roads separate West Batang from the East Sarulla area, in which orangutans also are found. Geographically, the BTFE is located at 980 50’ - 99018’ East Longitude and 10 26’ - 1 0 56’ North Latitude. The site is accessible from Medan, 1 hour by plane, and 10 – 12 hours by car. The Batang Toru is a water catchment area that encompasses four regencies : North Tapanuli, Central Tapanuli, Sibolga and South Tapanuli. Primary rain forest dominates the vegetation cover, which grows on steep hillsides with more than a 60-degree slope. Batang Toru holds at least six principal habitat types including moss forest (above 600 meter), hill side moist forest (dominant between 200 m -600 m), lowland, cliffs and talus slopes, secondary forest, and riparian forest. Total existing forest covers approximately 148,000 hectares.

Increasing pressures on forest resources and habitats, including loss and degradation of habitat through land clearing, threaten the remaining Batang Toru forest. In addition, this area includes Batang Gadis, Batang Toru

BAGAIMANA SEHARUSNYA, MENATA KAWASAN HUTAN LINDUNG YANG DIAKUI DAN BERMANFAAT BAGI PARA PIHAK ?


BAGAIMANA SEHARUSNYA,
MENATA KAWASAN HUTAN LINDUNG
 YANG DIAKUI DAN BERMANFAAT BAGI PARA PIHAK ? [1]

Erwin A Perbatakusuma,  Abdulhamid Damanik [2],
Oktavianus Zebua, dan Prawira [3]

PENDAHULUAN

Berdasarkan pengertian yang tertuang dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, maka Hutan Lindung dijelaskan sebagai  kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan  memelihara kesuburan tanah. Karena kepentingannya untuk kelangsungan hidup kita bersama, maka kawasan hutan lindung dan hasil hutannya harus dilindungi terus-menerus. Perlindungan hutan merupakan upaya  untuk menghentikan, mencegah dan  membatasi kerusakan dan pemusnahan kawasan hutan dan hasil hutannya yang disebabkan  perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit. Selain itu merupapakan upaya mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan  hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

STRUKTUR VEGETASI DAN SIMPANAN KARBON HUTAN HUJAN TROPIKA PRIMER DI BATANG TORU, SUMATERA UTARA


STRUKTUR VEGETASI DAN SIMPANAN KARBON HUTAN HUJAN TROPIKA PRIMER DI BATANG TORU, SUMATERA UTARA
Vegetation structure and carbon stock of primary tropical rain forest at Batang Toru, North Sumatra

Onrizal1©, Ismail2, Erwin A Perbatakusuma3, Herwasono Sudjito3,
Jatna Supriatna3, Iwan H Wijayanto3
1Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
2Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3Conservation International Indonesia

Abstract
Deforestation and forest degradation contribute for 20 to 25 percent of annual total carbon dioxide (CO2) emissions and to be one of substantial factor of climate change or global warming. Avoided deforestation into carbon-market regime by reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) scheme has been agreed on COP 13 of UNFCCC that was held in Bali on December 2007. REDD application need reliable scientific basic about the amount of carbon storage in well managed natural forest. The aims of this research were to detect vegetation structure and to estimate aboveground biomass, carbon stock and CO2 absorption of primary tropical rain forest at Key Biodiversity Area of Batang Toru Forest Block, North Sumatra Province by existing allometric equation. We designed 20 sampling plots of 20 x 20 m in two forest area, i.e. Aek Game-game forest and Aek Silemes forest. All trees 5 cm at diameter at breast height (dbh) and above were measure and identified. From the study, the distribution of diameter class formed “L” curve which mean an indication as balanced forest. The aboveground biomass of the forest is 544.4 to 583.0 t/ha in Aek Silemes forest and 604.5 to 613.6 t/ha Aek game-game forest. It is equivalent with 272.2 to 291.5 t C/ha or 999.0 to 1,069.9 t CO2/ha in Aek Silemes forest and 302.2 to 306.8 t C/ha or 1,109.2 to 1,125.9 t CO2/ha in Aek game-game forest. More of carbon stock (>46% for Aek Silemes forest and >58% for Aek game-game forest) saved within dbh of trees 50 cm and above. Therefore, sustainable management of forest ecosystem is very important to reduce CO2 emission from deforestation and forest degradation and to improve the function of forest ecology and economy.
Keywords: aboveground biomass, carbon stock, CO2, primary tropical rain forest, Batang Toru-North Sumatra

Refleksi Deklarasi Kesepakatan Konservasi ”Tanjung Rompa” dan Usulan Rancangan Keputusan Bersama Badan Kerjasama Desa Pelestarian Hutan DAS Batang Toru


Refleksi Deklarasi Kesepakatan Konservasi ”Tanjung Rompa”
dan Usulan Rancangan Keputusan Bersama
Badan Kerjasama Desa Pelestarian Hutan  DAS Batang Toru[1]

Erwin A Perbatakusuma,  Abdulhamid Damanik dan Abu Hanifah Lubis[2]

1.            PENDAHULUAN
Hutan alam di kawasan Daerah Aliran Sungai Batang Toru yang meliputi tiga kabupaten (Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah), telah diketahui merupakan kawasan penting bagi pelestarian keanekargaman hayati dan sistem pendukung kelangsungan sumber penghidupan masyarakat luas. Kawasan ini dikepung oleh kurang lebih 344.520 jiwa atau 81.870 Kepala Keluarga yang tergantung dan  menerima manfaat dari keberadaan dan kelestarian kawasan hutan ini, seperti ketersediaan air, keseimbangan iklim. Fakta ini menunjukan bahwa adanya karakter saling mempengaruhi dan saling ketergantungan antara kehudupan masyarakat sekitar hutan dengan kondisi kesehatan hutan alam.  

Peluang Partisipasi Masyarakat Melestarikan Hutan dan Kelangsungan Perkebunan Kopi Rakyat Melalui Skema Hutan Kemasyarakatan


Peluang Partisipasi Masyarakat Melestarikan Hutan dan
Kelangsungan Perkebunan Kopi Rakyat Melalui
Skema Hutan Kemasyarakatan[1]

Erwin A Perbatakusuma dan Abdulhamid Damanik [2]


1. Latar belakang

Kopi adalah komoditas pertanian terbesar di dunia yang diperdagangan secara legal. Komoditas ini ditanam di 16 kawasan dari 34 kawasan yang dikategorikan ’bidiversity hotspot” atau kawasan penting pelestarian keanekaragaman hayati yang paling terancam punah di dunia,  salah satu kawasan penting tersebut di  Indonesia  dikenal sebagai ”Sundaland Hotspot”  yang meliputi Pulau Sumatera. Saat ini, di Indonesia perluasan kawasan kebun kopi telah melampaui batas yuridis, merusak dan memusnahkan kawasan-kawasan kunci keanekaragaman hayati tersebut, seperti kawasan-kawasan Taman Nasional, hutan lindung. Dan kondisi ini tentunya akan mempercepat kemusnahan hidupan liar dan mengurangi kemampuan hutan alam untuk menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang dibutuhkan umat manusia, khususnya masyarakat petani seperti ketersediaan air, penghasil oksigen, kesuburan tanah, ketersediaan satwa penyerbuk bunga, pemangsa hama atau pemencar biji tanaman budidaya seperti untuk tanaman kopi.

Peranan Hutan Alam, Wanatani Kopi dan Hutan Kemasyarakatan sebagai Penyimpan Karbon dalam Mengurangi Pemanasan Globa


Peranan Hutan Alam, Wanatani Kopi dan
Hutan Kemasyarakatan sebagai Penyimpan Karbon
dalam Mengurangi Pemanasan Global[1]

Erwin A Perbatakusuma dan Abdulhamid Damanik[2]


PENDAHULUAN

Pemanasan global sebagai akibat terjadinya perubahan iklim global merupakan bencana alam dan kebenaran yang tidak terbantahkan dan secara pasti menyusahkan bagi kita semua di saat ini dan masa akan datang ! Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan lapisan atmosfir. Keseimbangan