MENGARUSTAMAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
DAERAH PENYANGGA DALAM KONSERVASI
Erwin A Perbatakusuma, Erwin S Widodo,
dan Abu Hanifah Lubis dan Abd. Rajab Pasaribu
A. PENDAHULUAN
1. Kepentingan Melindungi Taman Nasional Batang Gadis
Kawasan hutan alam seluas 108.000 hektar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina atas prakarsa dan dorongan komitmen kuat dari Pemerintah Daerah dan masyarakat telah ditunjuk sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan nama Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) oleh Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.126/ Menhut-II/2004. Komitmen politik Pemerintah Kabupaten Madina tersebut perlu dilanjutkan dengan berbagai upaya kontruktif guna mendukung kelestarian Taman Nasional, agar kemanfaatan jangka panjangnya dapat memenuhi kebutuhan lintas generasi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Conservation International Indonesia (Midora, 2006), berdasarkan hasil analisis dari manfaat dan biaya ekonomi menunjukan bahwa pilihan menetapkan kebijakan konservasi TNBG merupakan pilihan yang tepat untuk Kabupaten Madina, karena memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar, jika dibandingkan dengan manfaat dari kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstraktif dan lebih banyak pihak yang diuntungkan secara ekonomi, seperti masyarakat setempat yang tergantung pada sektor pertanian, pemerintah daerah, pihak swasta penyelenggara pariwisata, dan komunitas internasional.
Diperkirakan nilai manfaat ekonomi bersih atau subsidi ekologis dari adanya pembentukan Kawasan TNBG adalah sebesar Rp. 67 Triliun. Diperkirakan nilai manfaat ekonomi dari pembentukan TNBG sebesar Rp. 66,8 Triliun. Nilai ini meliputi nilai pemanfaatan alternatif berupa manfaat pilihan potensi ekowisata (Rp. 64 Triliun), dan manfaat tidak langsung berupa Daerah Aliran Sungai (Rp. 24,8 Milyar) dan simpanan karbon (Rp. 2,1 Triliun), serta manfaat non konsumtif keanekaragaman hayati (Rp. 809 Milyar). Sedangkan, nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya TNBG, sebagai akibat hilangnya nilai pemanfaatan kuantitatif berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu dan biaya pengelolaan taman nasional diestimasikan sebesar Rp. 0,203 Triliun (Midora, 2006). Nilai manfaat ekonomi bersih TNBG akan lebih besar, karena belum mencakup nilai manfaat ekonomi dari hasil hutan non kayu lainnya berupa sarang burung walet dan nilai kerugian yang ditimbulkan kegiatan ekstraktif eksplorasi pertambangan emas.
Adanya nilai manfaat ekonomi yang sangat tinggi dari TNBG menunjukan adanya suatu keharusan TNBG untuk terus dilindungi, diamankan dan dilestarikan fungsi-fungsi ekologis dan kandungan nilai ekonomi di dalamnya, sehingga secara maksimal dapat dimanfaatkan sebagai modal alam tanpa bayar (unchanged natural capital) untuk mendukung serangkaian aktifitas perekonomian lokal secara jangka panjang, seperti pertanian, perkebunan, pariwisata alam, perikanan atau peternakan. Pemerintah kabupaten akan memetik manfaat dalam bentuk, pertama meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten serta, kedua, penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau terciptanya efisiensi APBD. Kedua petikan manfaat diatas dapat dijadikan indikator adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua hal manfaat ini, dikarenakan Pemertah Daerah tidak perlu mengeluarkan biaya ‘mubazir’ (oppotunity cost) dari APBD, ketika munculnya pengeluaran biaya pemulihan bencana alam sebagai konsekuensi rusaknya hutan alam TNBG. Dengan pengertian, karena biaya pemulihan bencana alam akan mengalihkan biaya sektor produktif dalam APBD (pendidikan, perumahan, kesehatan, pengadaan pangan) menjadi biaya yang tidak produktif berupa biaya rehabilitasi sosial atau perbaikan infrastruktur paska bencana alam.
2. Tantangan dan Ancaman Konservasi Taman Nasional Batang Gadis
Saat ini masalah utama dalam perlindungan dan pengelolaan TNBG adalah menemukan jawaban yang realistis terhadap begitu banyaknya ancaman terhadap kawasan konservasi, dan untuk mengurangi tekanan terhadap TNBG, sehingga terlindunginya nilai-nilai kualitas utama TNBG yang dinyatakan dengan istilah-istilah seperti keanekaragaman biota dan ekosistem, sumber daya nuftah, nilai-nilai daerah aliran sungai dan simpanan karbon, potensi untuk ekowisata, nilai penunjang budidaya, pendidikan dan penelitian. Suatu jawaban yang tidak menganggap konservasi dan pembangunan ekonomi sebagai 2 hal yang terpisah dan bahkan saling bertentangan.
Masalah paling mendesak yang menuntut perhatian utama dalam pelestarian dan perlindungan TNBG adalah menangkal pengaruh-pengaruh yang mengarah pada kepunahan dan hilangnya keanekaragaman biologis dan hilangnya pemeliharaan terhadap proses-proses ekologis dari TNBG, seperti pembunuhan fauna flora berlebihan, kehancuran dan fragmentasi habitat alami, pencemaran, masuknya jenis-jenis asing dan kepunahan sekunder (ripple effect), akibat adanya kepunahan spesies asli. Dan ancaman kepunahan ini sebagian besar sangat dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian di Kawasan Budidaya. Karena pada kenyataannya dengan panjang batas TNBG termasuk batas enclave yang diperkirakan sepanjang ± 280,32 km tersebut, sebagian besar kawasan TNBG atau sekitar 80 – 90% bersinggungan langsung dengan kawasan budidaya, seperti lahan pertanian masyarakat, HPH dan perkebunan besar swasta. Kawasan ini dapat dikenal sebagai Daerah Interaksi Taman Nasional – Masyarakat (park-people interaction zone).
Masalah-masalah yang disebutkan di atas diperparah belum cukupnya ruang partisipasi dari masyarakat setempat dan pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengelolaan dari sumber daya alam milik umum, di luar kawasan TNBG untuk mendukung kelestarian TNBG. Selain itu,. kurang adanya hak kepemilikan dan hak penggarapan lahan yang jelas bagi masyarakat setempat akan mengakibatkan hilangnya keperdulian, perhatian dan peranserta masyarakat setempat terhadap pelestarian sumber daya dan penipisan sumber daya alam, spekulasi dan eksploitasi tanah.
Dengan pengecualian pengelolaan “ lubuk larangan”, penerapan kepatuhan terhadap norma-norma bersama sebagai suatu sanksi sosial yang efektif terhadap tingkah laku yang anti-sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam, tidak berkembang menjadi sistem pengelolaan modern dalam memelihara tingkat produksi dan sistem produksi yang sehat dan ramah lingkungan. Sanksi dan insentif lokal telah menjadi kurang operasional ataupun tidak berfungsi lagi, terutama karena tekanan dan kekuatan-kekuatan di luar kendali kelompok lokal. Belum lagi jika kepadatan penduduk semakin meningkat dan perubahan budaya ke arah materialistik dan pragmatis, maka akan berakibat pada ekploitasi kawasan hutan secara berlebihan, sehingga memerlukan suatu inovasi sistem pemanfaatan baru. Masih lemahnya pengelolaan TNBG menyebabkan sumber daya alam TNBG berubah menjadi "sumber-sumber daya lebih terbuka". Akibatnya, kawasan-kawasan hutan menjadi korban penyerobotan tanah, konversi hutan, spekulan tanah dan petani pionir pembuka hutan serta penggarap berpindah.
Secara singkat, beberapa tantangan khusus di TNBG yang akan dihadapi pada saat ini dan mendatang adalah berkurangnya luasan tutupan hutan alam yang menyebabkan kerusakan fungsi ekosistem TNBG dan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati fauna maupun flora, sehingga berakibat berkurangnya modal ekologis guna menyokong kelangsungan hidup masyarakat dan kesinambungan pembangunan ekonomi daerah. Tantangan ini disebabkan didorong oleh hal-hal sebagai berikut :
- Kebutuhan lahan untuk perluasan areal pertanian dan perkebunan rakyat yang diikuti pemukiman penduduk
- Belum adanya kejelasan dan disepakati patok batas tetap dan zonasi pengelolaan TNBG, sehingga kemungkinan menimbulkan konflik tenurial dengan masyarakat lokal dan kesulitan pengambilan tindakan penegakan hukum bagi para pelanggar
- Belum jelasnya kesepakatan tentang akses pengelolaan sumberdaya alam TNBG bagi masyarakat setempat, khusus hasil hutan bukan kayu, seperti walet, wisata alam, getah-getahan, rotan;
- Kebijakan dari pemerintah pusat, seperti rencana pertambangan emas dengan sistim pertambangan terbuka dan pelaksanaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekitar TNBG yang belum menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan
- Kebijakan tata ruang daerah dan rencana strategis kabupaten yang belum mengakomodasikan kepentingan perlindungan eksistensi jasa ekologis dari TNB
- Pola penanganan konservasi TNBG belum mencakup skala lansekap/ekosistem /bioregion, misalnya belum memasukan kawasan hutan alam yang esensial untuk diintegrasikan ke dalam ekosistem TNBG, seperti kawasan hutan Gunung Bukit Kelabu di Kecamatan Muara Sipongi sebagai hulu Sungai Batang Gadis; kawasan hutan kerangas yang langka; kawasan hutan Bukit Malintang yang memiliki fenomena geologi unik Danau Tinggal di Kabupaten Pasaman dan kawasan hutan alam eks HPH Aek Gadis Timber yang mengandung petak-petak hutan dataran rendah, hutan gamping dan hutan rawa air tawar;
- Penebangan liar yang terorganisasi dengan memanfaatkan kondisi subsistensi dan kemiskinan masyarakat lokal;
- Belumnya tersentuhnya penanganan enklave TNBG di Desa Batahan;
- Belum tersentuhnya penanganan jalan yang memotong kawasan TNBG seperti jalan yang menuju enklave Batahan dan bekas pembangunan jalan di Hutabargot;
- Migrasi penduduk pendatang yang menjadi petani pionir dengan melakukan konversi hutan alam untuk perladangan dan pemukimkan di kawasan hutan, seperti Suku Nias ke dalam kawasan TNBG di Kecamatan Bukit Malintang atau Kecamatan Siabu; dan
- Masih belum maksimalnya kapasitas mengelola (capacities to manage) TNBG yang meliputi faktor-faktor kesadartahuan dan dukungan komunitas, pengurusan dukungan politik, peraturan dan disain sistim dari taman nasional, sumberdaya finansial, manusia dan infrastruktur.
- Perubahan sosial budaya masyarakat setempat ke arah ekonomi eksploitatif, materialisme dan pragmatisme.
- \Meningkatnya kekurangan sumberdaya hutan alam milik umum di luar kawasan konservasi; yang mengakibatkan kekurangan kayu bakar, kayu pertukangan dan hasil hutan non kayu lainnya, khususnya bagi kelompok penduduk erpendapatan paling rendah dan yang bergantung pada hasil hutan
- Makin berkurangnya akses masyarakat kepada sumber daya alam disebabkan oleh pemilikan pribadi dan konservasi lahan hutan menjadi pemanfaatan monokultur skala besar.
- Kurangnya komunikasi dan pengertian antara penduduk dan pemerintah daerah dengan pemegang otoritas pengelolaan TNBG (Ditjen PHKA – Departemen Kehutanan);
- Kurangnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan pemanfaatan sumber daya milik umum, penandaan batas dan zonasi TNBG , karena relatif tidak adanya kejelasan hak dan peraturan yang langsung mengikutsertakan masyarakat setempat, dan pemerintah daerah dalam pengelolaan TNBG;
- Tingginya tingkat kepadatan penduduk dan ketergantungan lahan, tanpa adanya sumber pendapatan ekonomi alternatif di luar sektor pertanian atau pendapatan ekonomi berbasis non lahan.
3. Pengelolaan dan Pengembangan Daerah Penyangga
Terdapat kesepakatan umum bahwa konsep tradisional mengenai perlindungan kawasan konservasi, yang sebagian besar didasarkan pada kegiatan patroli kawasan dan penegakan hukum kenyataannya kurang efektif. Dalam kenyataannya, justru penyebabnya adalah kurangnya patroli dan lemahnya penegakan supremasi hukum itu sendiri. Ditambah lagi dengan masih lemahnya kapasitas pengelolaan TNBG, baik dari sisi sumberdaya manusia, pendanaan dan infrastruktur. Tekanan yang makin meningkat juga berkaitan dengan cepatnya pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan, dan jika dihadapkan pada usaha penegakan hukum yang kaku dan tidak tepat sasaran, mungkin hanya akan meningkatkan terjadinya pertentangan yang keras antara masyarakat setempat, pemerintah daerah dengan otoritas pengelola TNBG. Akhirnya, pendekatan pengelolaan dan pengembangan Daerah Penyangga dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi dari kelemahan ini.
Pengembangan Daerah Penyangga hanya merupakan bagian dari strategi yang mungkin diambil dalam mengurangi tekanan di TNBG. Demikian juga, peranan Daerah Penyangga, walaupun penting dan khusus, terbatas kontribusinya dalam memantapkan perlindungan dan keutuhan ekosistem Kawasan Taman Nasional. Di samping itu, perlu dikembangkan lebih lanjut strategi yang mencakup spektrum kegiatan dan daerah yang lebih luas, yaitu kegiatan keterpaduan pembangunan dan konservasi (integrated conservation and development, ICDP) dengan mengaitkan pelestarian keanekaragaman hayati di TNBG dengan pembangunan sosial ekonomi setempat, sebagaimana yang telah diterapkan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Lore Lindu. Biasanya ICDP mencakup 3 bidang kerja yaitu : perlindungan dan pengelolaan fauna flora di Kawasan Taman Nasional, menetapkan dan pengelolaan Daerah Penyangga dan terakhir pengembangan ekonomi secara partisipatif di luar Kawasan Taman Nasional dan Daerah Penyangga.
ICDP sangat erat hubungannya dengan program-program konservasi lainnya, walaupun dengan nama yang berbeda, misalnya "integrated protected area system" (IPAS, digunakan oleh Asian Development Bank di Indonesia ), the "Biosphere Reserve" (digunakan oleh by UNESCO, "Bioregional Management Unit" (digunakan oleh World Resources Institute, The Nature Conservancy and Worldwide Fund for Nature), dan the "Protected Landscape" dan "Protected Seascape" (digunakan oleh the World Conservation Union) dan ”hotspot dan biodiversity corridor” (digunakan oleh Conservation International). Semua program ini mempunyai konsep dan fungsi yang hampir sama, tetapi semua mempunyai desain yang spesifik serta sangat berbeda secara detail.
Tetapi hasil pengkajian ICDP pada tahun 1999 di 24 kawasan konservasi di Indonesia menyatakan bahwa keberhasilan ICDP masih terbatas, karena : a). proyek seringkali tidak mengatasi ancaman utama terhadap kawasan konservasi, b) kegiatan pembangunan ekonomi yang legal dari pemerintah (pembangunan jaringan jalan, pertambangan, konversi hutan alam) kerapkali menjadi ancaman utama kawasan konservasi daripada kegiatan ilegal berskala kecil yang dilakukan masyarakat, dan c). program pembangunan terkait dengan ICDP belum cukup memberikan insentif untuk merubah perilaku masyarakat dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan perambahan di kawasan konservasi. (Wells, et al 1999).
Pendekatan ICDP masih memberikan harapan dan akan berhasil baik, termasuk didalamnya konteks pengelolaan dan pengembangan Daerah Penyangga, jika ada keterkaitan hubungan yang jelas antara pembangunan ekonomi dengan konservasi Taman Nasional. Disamping itu, jika ada kolaborasi pengelolaan dan dukungan penuh dari masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Dan pendekatan ini digunakan sebagai perangkat dalam mengelola kompleksitas masalah di Kawasan Interaksi Taman Nasional – Manusia (park-people interaction zone) TNBG.
Mempertimbangkan kompleksitas rona tantangan yang dihadapi TNBG dan keterbatasan pengelolaan TNBG saat ini sebagaimana telah dikemukakan tersebut diatas, maka TNBG membutuhkan suatu pengelolaan Daerah Penyangga yang lokasinya terletak antara Kawasan TNBG dengan Kawasan Budidaya yang penetapan pengelolaan dapat diatur oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Bupati, sebagaimana telah diatur peraturan perundangan yang berlaku.
B. KEPENTINGAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA
1. Landasan Hukum dan pengertian
Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pengertian Daerah Penyangga adalah wilayah yang berada diluar kawasan pelestarian alam dan suaka alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu berfungsi untuk menjaga keutuhan ekosistem Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan. Dengan demikian pengelolaan Daerah Penyangga tetap berada di tangan yang berhak, dimana upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di Daerah Penyangga adalah merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional yang diterbitkan melalui Surat Edaran Menteri Departemen Dalam Negeri pada tahun 1999 disebutkan bahwa Daerah Penyangga Taman Nasional adalah wilayah yang berada diluar kawasan Taman Nasional baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan Taman Nasional dengan kriteria sebagai berikut:
(a). Secara geografis berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional;
(b). Secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar Taman Nasional;
(c). Mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar Taman Nasional.
Dari kedua rujukan tersebut diatas, tidak disebutkan batasan yang dapat digunakan dalam penetapan batas luar daerah penyangga. Jika ditinjau dari UU No 5 tahun 1990 terlihat dengan jelas bahwa batas kawasan penyangga tidak hanya didasarkan kepada batas ekologi, akan tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial kultural dan sosial-ekonomi masyarakat dari suatu Daerah Penyangga. Sehubungan dengan itu, guna memudahkan dalam pengelolaan khususnya manajemen pengelolaan konservasi dan pembangunan kawasan penyangga, maka batas kawasan penyangga dapat menggunakan batas administrasi kabupaten sebagai batas luar kawasan penyangga. Luasnya kawasan penyangga bervariasi tergantung kepada alokasi zona pengelolaan penyangga itu sendiri dan eksistensi kegiatan ekploitasi sumberdaya alam yang dikaitkan dengan aspek fisik dan ekologi.
Ditinjau dari interaksi antara Kawasan Taman Nasional dengan Daerah Penyangga, maka pengelolaan kawasan penyangga dibagi menjadi beberapa zona sebagai berikut:
(a). Daerah Penyangga Dalam (inner buffer zone) atau dapat disebut pula sebagai Daerah Interaksi Taman Nasional - Masyarakat merupakan lapisan terdepan dalam pengelolaan Daerah Panyangga. Secara spesifik Daerah Penyangga Dalam mempunyai 3 fungsi utama yaitu: 1). pelindung dan atau pembatas kawasan taman nasional dari pengaruh aktivitas di luar taman, pelindung dan atau pembatas aktivitas di luar batas taman seperti perkampungan, lahan pertanian dan perkebunan dari serangan hama dan atau binatang buas yang membahayakan bagi kehidupan dan kegiatan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar taman, 2), mendukung konservasi keanekaragaman hayati di kawasan penyangga dan 3) mengakomodasi aktivitas pengelolaan lingkungan, sosial kultural dan sosial ekonomi. Fungsi tersebut menunjukkan bahwa interaksi antara masyarakat dengan taman dan memberikan gambaran yang akurat tentang berbagai aktivitas di kawasan pinggiran Taman Nasional, dengan demikian batas zona taman tidak menjadi kaku akan tetapi memungkinkan hubungan yang harmonis antara taman dan masyarakat di sekitar taman. Eksploitasi sumberdaya alam seperti penggunaan lahan di kawasan penyangga dalam lebih ditekankan kepada aktivitas yang tidak intensif sehingga tidak memberikan dampak negatif terhadap taman seperti berkurangnya lahan penting untuk konservasi in-situ.
(b). Daerah Penyangga Luar (outer buffer zone) atau dapat disebut Zona Transisi, merupakan batas luar Daerah Penyangga Taman Nasional. Kawasan ini merupakan kawasan yang dapat dikembangkan secara lebih intensif dan dapat dioperasionalisasikan dalam dua cara yaitu: 1). sebagai absorbsi dan juga berfungsi sebagai penyaring/penyangga yang dapat memberikan harapan dan insentif dalam pengembangan sumberdaya lahan; dan 2). sebagai kawasan oportuniti yang dapat menampung serta memberikan insentif bagi penduduk yang berada di area yang dienclave baik dalam taman maupun di Daerah Penyangga Dalam (inner buffer zone). Batas luar Daerah Penyangga Luar yang ideal adalah batas administrasi seperti kabupaten yang juga merupakan batas unit perencanaan tingkat kabupaten.
(c). Zona Pengembangan Regional, merupakan batas wilayah administrasi setingkat propinsi. Hal ini dikarenakan kebijaksanaan pembangunan dan tata ruang di tingkat regional diharapkan menjadi payung untuk mendukung setiap aktivitas yang berlangsung di Daerah Penyangga. Selain itu propinsi mempunyai peran penting sebagai koordinator terutama antar daerah kabupaten yang termasuk kawasan penyangga dan dalam menarik investasi termasuk pengembangan infrastruktur baru.
Ilustrasi permintakatan (zonasi) pengelolaan sumberdaya alam Kawasan Taman Nasional dan Daerah Penyangga disajikan pada GAMBAR 1.
2. Tujuan dan Sasaran Daerah Penyangga
2.1 Tujuan Daerah Penyangga
Dari hasil kajian Bank Dunia dari 23 kajian kasus mengenai pelestarian dan pembangunan terpadu menyimpulkan konsep Daerah Penyangga yang dikenal luas sekarang ini hanya memiliki nilai operasional yang rendah, khususnya hampir semua negara tidak memiliki peraturan perundangan yang membantu, dan bahwa konsep yang ada kurang baik didifinisikan dan tetap tidak jelas, karena berisi terlalu banyak tujuan dan terlalu umum sifatnya.
Suatu daerah Daerah Penyangga dibuat antara kawasan alami/kawasan konservasi dan Kawasan Budidaya/Kawasan Pemukiman untuk melindungi kawasan konservasi dan sumberdayanya dari pengaruh-pengaruh negatif dari luar, dan juga untuk melindungi Kawasan Budidaya/Kawasan Pemukiman atau penduduk dan sumber daya mereka dari pengaruh negatif yang datang dari dalam kawasan konservasi.
Suatu definisi praktis dari "Daerah Penyangga yang efektif atau "Daerah Penyangga yang berfungsi degan baik" adalah Daerah Penyangga yang mampu dikelola sedemikian rupa, sehingga pengaruh negatif dari Kawasan Budidaya terhadap keutuhan kawasan konservasi dan sebaliknya pengaruh negatif dari Kawasan Konservasi ke Kawasan Budidaya, dapat dikurangi sampai titik nol. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengelolaan dan pengembangan Daerah Penyangga bertujuan untuk mempertahankan dan atau meningkatkan keutuhan keanekaragaman hayati dan ekosistem Kawasan Taman Nasional
2.2 Sasaran Kegiatan Daerah Penyangga
Sasaran pengelolaan Daerah Penyangga harus mampu memperbaiki dan meningkatkan kapasitas penyangga fisik, penyangga sosial budaya sosial ekonomi dan penyangga sumberdaya alternatif sehingga mampu mencegah pengaruh negatif dari kegiatan manusia di Kawasan Budidaya ke Kawasan Taman Nasional dan atau sebaliknya dari Kawasan Taman Nasional ke Kewasan Budidaya. Pengaruh negatif dari Kawasan Budidaya ke Kawasan Taman Nasional dapat berupa perubahan habitat alami dan komposisi jenis keanekaragaman hayati sebagai akibat pencemaran, penebangan liar, perburuan fauna flora komersial, pengumpulan flora fauna tidak terkendali, memasukan jenis eksotis/asing/domestik dan konversi habitat alamiah. Sedangkan Pengaruh negatif dari Kawasan Konservasi ke Kawasan Budidaya dapat berujud banjir, kekeringan, perubahan iklim mikro, tanah longsor dan gangguan satwa liar dan penyakit hama tanaman yang merusak tanaman budidaya di Kawasan Budidaya dan Kawasan Pemukiman.
Dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan daerah penyangga, maka perlu menetapkan sasaran-sasaran kegiatan yang akan dicapai adalah :
(1). Tekanan dan gangguan bersifat merusak berasal dari Kawasan Budidaya ke Kawasan Taman Nasional yang mengakibatkan perubahan keutuhan keanekeragaman hayati dan ekosistemnya dapat dicegah, dikurangi dan atau dihilangkan;
(2). Tekanan dan gangguan bersifat merusak berasal dari Kawasan Taman Nasional ke Kawasan Budidaya yang mengakibatkan gangguan fungsi ekologis Kawasan Taman Nasional ke Kawasan Budidaya seperti banjir, kekeringan, erosi, tanah longsor dan gangguan hama penyakit dapat dicegah, dikurangi dan atau dihilangkan.
3. Strategi, Penentuan Daerah Prioritas dan Jenis Program Daerah Penyangga
3.1 Strategi Daerah Penyangga
Dalam upaya pencapaian sasaran sebagaimana dikemukakan diatas, maka cara pencapaian sasaran kegiatan (strategi) dapat mencakup sebagai berikut :
(1). Sasaran untuk mengurangi dan atau menghilangkan segala bentuk tekanan dan gangguan bersifat merusak yang berasal dari Kawasan Budidaya ke Kawasan Taman Nasional dicapai dengan strategi :
(a). Meningkatkan kesempatan berusaha dan tingkat pendapatan ekonomi melalui pengembangan ekonomi alternatif dan perluasan pemasaran komoditas bagi masyarakat yang sumber penghidupannya tergantung dari sumber daya alam di Kawasan Taman Nasional;
(b). Mengadakan penyangga sumberdaya alternatif masyarakat di Daerah Penyangga seperti kayu bakar, kayu pertukangan, tumbuhan obat, dan bahan pangan yang saat ini diperoleh dari Kawasan Taman Nasional bagi masyarakat yang penghidupannya tergantung dari sumber daya tersebut;
(c). Meningkatkan dukungan dan kesadartahuan masyarakat tentang konservasi TNBG dan perlindungan jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi;
(d). Memperbaiki tata cara pelibatan masyarakat setempat yang lebih partisipatif dalam perencanaan dan pengembangan Daerah Penyangga;
(e). Meningkatkan hubungan komunikasi antara Otoritas Pengelola TNBG dengan masyarakat setempat dan pemerintah daerah;
(f). Mendirikan rintangan fisik dan habitat untuk mencegah jenis-jenis eksotis, hewan dan tumbuhan budidaya, kebakaran, bahan pencemar dan elemen yang merusak lainnya masuk dari Daerah Penyangga ke Kawasan Taman Nasional;
(g). Meningkatkan efektifitas penegakan hukum;
(h). Meningkatkan kapasitas kelembagaan ekonomi masyarakat;
(i). Meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelola dan pengembangan Daerah Penyangga dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan.
(2). Sasaran untuk mengurangi dan atau menghilangkan segala bentuk tekanan dan gangguan merusak yang berasal dari Kawasan Taman Nasional ke Kawasan Budidaya dicapai dengan strategi :
(a). Mendirikan rintangan fisik dan habitat untuk mencegah masuknya satwa penggangu tanaman budidaya masuk dari Kawasan Taman Nasional ke Daerah Penyangga;
(b). Memperluas kapasitas ekologis Kawasan Taman Nasional untuk meningkatkan fungsinya sebagai pengatur tata air, penjaga kesuburan tanah, penyimpan oksigen, penjaga keseimbangan iklim dan pencegah banjir dan tanah longsor;
(c). Mengkandangkan dan menjaga hewan ternak;
(d). Menyeleksi tanaman budidaya yang tidak menarik satwa pengganggu tanaman;
(e). Menghentikan perburuan jenis-jenis satwa liar, seperti Babi, Tapir dan atau Kambing Hutan yang menjadi mangsa bagi satwa mamalia besar lainnya, seperti Harimau;
(f). Meningkatkan efektifitas penegakan hukum;
3.2. Penentuan Daerah Prioritas
Daerah prioritas pengembangan Daerah Penyangga adalah daerah dan atau desa-desa dalam jangkauan jarak sampai 10 (sepuluh) kilometer ke luar batas Kawasan Taman Nasional yang harus mendapat perhatian khusus sehubungan dengan rona ancaman terhadap keanekaragaman hayati, rona tekanan terhadap Kawasan Taman Nasional, rona perubahan cepat di bidang pengembangan lahan dan pemanfaatan kawasan, dan peluang pengembangan Daerah Penyangga.
Diperkirakan luas kawasan Daerah Penyangga TNBG seluas ± 187.209 (seratus sembilan puluh tujuh ribu dua ratus sembilan) hektar dengan lebar 10 (sepuluh) kilometer ke luar batas Kawasan TNBG
Daerah Penyangga tersebut terdiri dari 3 (tiga) sub-zona, yaitu Sub-zona Jalur Hijau (Green Belt Zone) luas ± 83.605 hektar, Sub-zona Interaksi (Interaction Zone) dengan luas ± 98.464 hektar dan Sub-zona Kawasan Budidaya (Cultivation Zone) dengan luas ± 5.140 hektar.
Penetapan batas, luas dan lebar wilayah pengelolaan dan pengembangan Daerah Penyangga merupakan penarikan garis diatas peta (deliniasi) dengan tujuan untuk menentukan batas dan luas wilayah prioritas pengelolaan dan pengembangan Daerah Penyangga. Penetapan ini tidak mengurangi hak atas tanah dan pemanfaatan kawasan yang sudah ada, tetapi hanya bersifat pengaturan kembali tata cara pengolahan lahan dan pemanfaatan kawasan, agar Daerah Penyangga dapat menjadi pendukung utama dalam menjaga kelestarian TNBG;
Kriteria pemilihan daerah dan atau desa prioritas untuk pengembangan Daerah Penyangga, adalah :
(1). Daerah Penyangga yang letaknya bersambungan dengan Kawasan Taman Nasional dengan nilai-nilai keanekaragaman hayati, keaslian ekosistem dan hutan alami yang tinggi;
(2). Masyarakat di desa-desa di Daerah Penyangga yang termasuk dalam desa tertinggal/miskin dan atau berpenghasilan rendah dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya alam di Kawasan Taman Nasional dan berpotensi untuk diberdayakan;
(3). Daerah-daerah dengan kelompok sasaran masyarakat yang menimbulkan terjadinya tekanan yang tinggi terhadap keutuhan keanekaragaman hayati dan ekosistem Kawasan Taman Nasional, seperti petani pionir, pemburu/pengumpul tradisional, pemburu komersial setempat, pemasok modal dan spekulan lahan setempat.
(4). Daerah-daerah dengan laju pembangunan yang pesat, termasuk yang masih direncanakan dalam skala besar yang berdampak pada perubahan penting dalam tata guna lahannya dan pemanfaatan kawasan di Daerah Penyangga
3.3. Arah dan Jenis Program
Arah program dalam pengembangan Daerah Penyangga adalah meningkatkan kapasitas kegiatan yang beroreintasi pada lahan dan non lahan yang meliputi kapasitas-kapasitas penyangga ekologis, sosial – ekonomi – budaya dan perluasan Daerah Penyangga Taman Nasional; dan program Daerah Penyangga selanjutnya disebut “Program Pengembangan Daerah Penyangga untuk Pelestarian Taman Nasional Batang Gadis”. Arah Program Daerah Penyangga terbagi dalam 3 (tiga) arahan program utama, yaitu :
(1). Program yang diarahkan untuk memperbaiki kapasitas penyangga ekologis dalam upaya mencegah masuknya jenis-jenis satwa liar yang berbahaya dan atau hama pengganggu tanaman ke Sub-zona Interaksi dan Sub-zona Kawasan Budidaya dan penyangga ekologis untuk mencegah masuknya satwa peliharaan, eksotis, hewan budidaya di Kawasan Budidaya ke Kawasan Taman Nasional;
(2). Program yang diarahkan untuk memperbaiki penyangga sosial-ekonomi-budaya masyarakat yang mencakup peningkatan kesadartahuan lingkungan dan konservasi dan hukum, peningkatan dukungan terhadap konservasi Kawasan Taman Nasional, perbaikan perekonomian masyarakat berbasis lahan maupun non lahan berorietasi jasa dan industri, pengadaan sumberdaya hutan alternatif
(3). Program yang diarahkan untuk memperbaiki penyangga perluasan hutan taman nasional (extension forest buffer) yang meliputi peningkatan perlindungan di habitat kritis, koridor lintasan satwa liar, daerah pengungsian satwa liar di daerah perbatasan Kawasan Taman Nasional yang dilalui jenis-jenis satwa liar yang langka dan dilindungi undang-undang dan konvensi internasional.
Jenis-jenis program yang menjadi prioritas dalam pengelolaan dan pengembangan Daerah Penyangga diusulkan meliputi :
(1). Program beroreintasi perlindungan :
(a). Perlindungan perubahan tata air taman nasional;
(b). Penataan batas dan zonasi Kawasan Taman Nasional secara partisipatif;
(c). Perlindungan pencemaran lingkungan ke Kawasan Taman Nasional;
(d). Pengendalian dan pengelolaan hama tanaman secara terpadu (PHT);
(e). Pengendalian dan pengelolaan hewan ternak dan hewan peliharaan;
(f). Pengendalian perluasan jenis tanaman dan hewan eksotis yang agresif;
(g). Pengendalian dan pencegahan polusi suara dan cahaya;
(h). Pembangunan jalur batas hijau selebar 30 meter sebagai tanda batas hidup dan permanen di daerah perbatasan Kawasan Taman Nasional dengan Daerah Penyangga dengan penanaman pohon kehidupan, yaitu jenis pohon yang tidak ditebang dan bermanfaat bagi masyarakat;
(i). Perlindungan habitat kritis untuk satwa liar pelintas perbatasan Kawasan Taman Nasional;
(j). Pengendalian perburuan satwa liar (babi, kambing hutan) yang dimangsa satwa tertentu (harimau);
(k). Perlindungan jenis tumbuhan yang berperan sebagai sumber pakan satwa liar pada musim paceklik, misalnya jenis-jenis tumbuhan Beringin;
(l). Penguatan aspek legal kawasan hutan produksi guna perluasan daerah penyangga hutan alam Kawasan Taman Nasional untuk keperluan lintasan satwa liar, daerah pengungsian satwa liar (0,5 – 1 kilometer dari batas TNBG) dan perlindungan habitat kritis satwa liar;
(2). Program beroreintasi pemanfaatan :
(a). Rehabilitasi sumber air alam dan produksi ikan air tawar/sungai/lubuk larangan;
(b). Budidaya komoditas tanaman hutan dan plasma nutfah Kawasan Taman Nasional;
(c). Kebun plasma nutfah obat-obatan;
(d). Budidaya lebah madu;
(e). Budidaya tanaman rotan;
(f). Ekstensifikasi dan intensifikasi lubuk larangan disepanjang sungai;
(g). Habituasi satwa liar untuk atraksi turis;
(h). Pelayanan ekowisata berbasis masyarakat (rumah pondokan wisata/pemandu wisata);
(i). Pengendalian dan pencegahan polusi suara dan cahaya;
(j). Pembangunan sabuk hijau di daerah perbatasan Kawasan Taman Nasional.
(k). Pengadaan alternatif pasokan lokal sumberdaya hutan:
(1). Pengembangan dan penguatan legal Kawasan Hutan Adat Desa dengan luasan 25 sampai 100 hektar per-desa ;
(2). Hutan kemasyarakatan;
(3). Perhutanian masyarakat (agroforestri / sosial forestri) dengan pelapisan tajuk tanaman menyerupai pelapisan tajuk hutan alam ;
(4). Penghijauan lahan pedesaan, lahan pertanian dan lahan terlantar;
(5). HPH Bina Desa.
(4). Program berorentasi peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di pedesaan:
(a). Pendidikan dan kesadartahuan publik terhadap lingkungan dan penegakan hukum konservasi alam;
(b). Pelatihan peningkatan pengetahuan kemampuan masyarakat berbasis lahan;
(c). Pelatihan peningkatan pengetahuan kemampuan masyarakat berbasis wirausaha dan pelayanan jasa;
(d). Restrukturisasi rencana-rencana pembangunan infrastruktur, investasi, konversi hutan alam dan pemukiman penduduk;
(e). Pemukiman kembali penduduk bagi peladang berpindah-pindah;
(f). Kerjasmadengan pemilik konsesi HPH dan hasil hutan non kayu untuk resetrukturisasi perencanaan dan pengelolaan untuk mendukung konservasi TNBG dan Daerah Penyangga;
(g). Pembentukan kader dan unit khusus masyarakat anti-perburuan liar dan monitoring hutan;
(h). Peningkatan pendapatan ekonomi dan kesempatan berusaha masyarakat berbasis lahan maupun non lahan;
(i). Stabilisasi tata guna lahan dan hak atas tanah didaerah perbatasan Taman Nasional dan enklave;
(j). Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu;
(k). Beasiswa pendidikan anak bagi keluarga tidak mampu di Daerah Penyangga;
(l). Pengadaan sistim penghargaan masyarakat dalam melindungi hutan;
(m). Pengadaan modal usaha masyarakat untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis non lahan;
(n). Pengembangan pemasaran bagi komoditas unggulan di Daerah Penyangga;
(o). Peningkatan pranata desa/adat dalam mengelola sumberdaya alam setempat, memelihara kapasitas produksi lahan dan sumberdaya air/sungai;
(p). Pengelolaan sumber daya alam desa untuk membantu proses perencanaan desa dalam merasionalisasikan: (i) guna lahan, (ii) penyelamatan sumber daya, (iii) memprioritaskan pembangunan, dan (iv) konservasi keanekaragaman hayati di desa-desa yang berbatasan dengan TNBG secara selektif. Rencana penggunaan lahan akan dikukuhkan dalam "Kesepakatan Masyarakat tentang Konservasi" yang melegalisasikan masyarakat desa untuk (a) memanfaatkan sumber daya TNBG dan DP-TNBG, dan (b) menjamin pemberian bantuan pembangunan khusus, sebagai balasan dari kerja sama masyarakat dalam perlindungan TNBG dan konservasi sumber-sumber kenaekaragaman hayati di lahan desa.
(q). Pembangunan pedesaan untuk menekan pelanggaran batas dan menerapkan konservasi keanekaragaman hayati. Pembangunan pedesaan ini bermaksud menyediakan bantuan bagi desa target di daerah perbatasan TNBG. Bantuan itu ditujukan untuk (i) meningkatkan sumber daya pengelolaan lahan-lahan desa, (ii) menjamin keamanan pemanfaatan sumber daya tradisional, (iii) meningkatkan produktivitas pertanian, dan (iv) infrastruktur desa. Insentif di atas akan diberikan kepada masyarakat yang bermukim di kawasan yang sensitif secara ekologi. Kegiatan ditargetkan untuk kelompok-kelompok penduduk miskin yaitu kelompok yang sangat bergantung pada sumber daya TNBG
(5). Program beroreintasi keindahan dan kepuasan:
(a). Perlindungan dan pengaturan penggunaan jalan raya ditepi hutan alam;
(b). Perencanaan dan pembangunan infrastuktur untuk menara pandang panorama alam, jembatan kanopi hutan dan pemandangan jalan raya di tepi hutan;
(c). Pembangunan fasilitas wisata alam yang ramah lingkungan
C. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA
Kegiatan pengembangan dan pengelolaan Daerah Penyangga bersifat multi sektoral yang melibatkan banyak sektor-sektor pembangunan di Kabupaten yang terkait dengan pengembangan Daerah Penyangga. Hal ini membutuhkan Tim Koordinasi yang mantap dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengembangan Daerah Penyangga yang dipimpin oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Madina dan dibina oleh Bupati Kabupaten Mandailing Natal. Diusulkan pembentukan Tim Koodinasi yang disebut Tim Pelaksana Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional Batang Gadis (TP2 DP-TNBG). Tim ini terdiri dari instansi/dinas sektoral dan lembaga non pemerintah lainnya yang terkait dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional Batang Gadis;
TP2 DP-TNBG merupakan bagian gugus kerja fungsional dari Forum Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis yang dipimpin Bupati Kabupaten Mandailing Natal dan akan mendapat aspek legal dari Menteri Kehutanan dan melakukan koordinasi dengan Unit Pengelola TNBG – Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
D. KEPUSTAKAAN
Midora, L (2006) : Total Nilai Ekonomi (TEV) Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal . Conservation International. Medan
Perbatakusuma, E A, Jatna S, Didi, W, Prie, S, Ismoyo. Budi, I, Wiratno, Luhut, S, Iwan, W, Erwin. S. W, Barita O.M, Safaruddin, S, Abdulhamid, H dan Abu, H.L (2005): Bersama Membangun Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Naskah Kebijakan. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing – Natal dan Conservation International Indonesia . Jakarta .
Wind, J. (1992) : Buffer Zone Management for Indonesia n National Parks. Vol. 2 :Tools for Planning, Monitoring and Evaluation. The World Bank National Park Development Project. DHV/RIN Consultant. Bogor .
Wells, M, Brandon , K dan Hannah L, (1992) : People and Parks : Linking Protected Area Management with Local Communities, IBRD/ The World Bank, Washington DC
Wells, M, Guggenheim, S, Khan, A, Wardoyo, W dan Jepson. P (1999) : Investing in Biodiversity : A Review Indonesia ’s Integrated Conservation and Development Projects. The World Bank East Asia Region. Washington DC .
1. Kertas kerja kebijakan disampaikan dalam Rapat Koordinasi Tim Pemrakarsa Peraturan Daerah Penyangga Taman Nasional Batang Gadis pada tanggal 5 September 2007 di Panyabungan guna bahan perumusan kebijakan Peraturan Daerah tentang Penetapan dan Tata Kelola Daerah Penyangga Taman Nasional Batang Gadis.