Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Wednesday 25 May 2011

BAGAIMANA SEHARUSNYA, MENATA KAWASAN HUTAN LINDUNG YANG DIAKUI DAN BERMANFAAT BAGI PARA PIHAK ?


BAGAIMANA SEHARUSNYA,
MENATA KAWASAN HUTAN LINDUNG
 YANG DIAKUI DAN BERMANFAAT BAGI PARA PIHAK ? [1]

Erwin A Perbatakusuma,  Abdulhamid Damanik [2],
Oktavianus Zebua, dan Prawira [3]

PENDAHULUAN

Berdasarkan pengertian yang tertuang dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, maka Hutan Lindung dijelaskan sebagai  kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan  memelihara kesuburan tanah. Karena kepentingannya untuk kelangsungan hidup kita bersama, maka kawasan hutan lindung dan hasil hutannya harus dilindungi terus-menerus. Perlindungan hutan merupakan upaya  untuk menghentikan, mencegah dan  membatasi kerusakan dan pemusnahan kawasan hutan dan hasil hutannya yang disebabkan  perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit. Selain itu merupapakan upaya mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan  hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.


Hutan Lindung Dairi  yang berada di Kecamatan Sumbul  merupakan bagian dari hutan lindung yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara 2003 – 2018 dan Keputusan Menteri Kehutanan  No. SK 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas 3.742.120 (Tiga Juta Tujuh Ratus Empat Puluh Dua Ribu Seratus Dua Puluh Hektar). Dari total  hutan lindung yang ada di Provinsi  Sumatera Utara yang luasnya 1.297.330 hektar, maka  Hutan Lindung  Dairi  atau Register 62 diperkirakan luasnya  mencakup 22.000 hektar.  Hutan lindung ini letaknya berdampingan dengan Hutan Lindung Simbuatan Selatan (Regiter 82)  yang luasnya  122.000 hektar.

Walaupun Hutan Lindung Dairi ataupun Simbuatan Selatan atau kawasan hutan lindung lainnya di Indonesia telah mempunyai kekuatan hukum, tetapi  pada kenyataaannya dilapangan tidak bebas dari konflik pemanfataan  berupa perambahan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan. Adanya perambahan ataupun kerusakan hutan membuktikan juga bahwa pal batas kawasan hutan yang terpancang dilanggar,  tidak diakui keberadaannya dan menjadi kepentingan bersama para pihak. Disisi lain juga memperlihatkan kondisi kawasan hutan yang belum mantap untuk dikelola secara lestari, optimal dan efisien agar terjaganya fungsi pokok hutan lindung guna mendukung kelangsungan penghidupan masyarakat sekitarnya dan keberlanjutan pembangunan daerah. Kondisi kawasan hutan yang belum mantap menunjukan pula belum terwujudnya kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan yang merupakan tujuan yang harus dicapai dalalam penataan batas kawasan hutan yang menjadi tanggung-jawab pemerintah.

Konflik batas kawasan hutan dan pemanfaatan kawasan hutan yang terjadi secara berkepanjangan akan merugikan berbagai pihak, termasuk masyarakat setempat, pemerintah daerah dan kawasan hutan dan kandungan jasa lingkungannya. Untuk itu perlu ditemukan jalan keluar penyelesaian yang  adil, dan bijaksana dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan.

MASALAH UTAMA PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN

Kedepannya,  penataan Kawasan Hutan Lindung  Dairi  yang menyangkut penataan batas luar  kawasan  hutan akan menjadi masalah penting untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik, karena kawasan Hutan Lindung Dairi bersinggungan langsung dengan kawasan budidaya masyarakat,  khususnya budidaya perkebunan Kopi Arabika yang dikelola oleh rakyat.. Dan di beberapa lokasi perkebunan kopi rakyat telah memasuki batas kawasan Hutan Lindung yang telah ditetapkan. Kecamatan Sumbul sendiri  mempunyai luasan Kopi Arabika terbesar di Kabupaten Dairi dengan perkirakan luas mencapai 2,200 hektar, disusul oleh Kecamatan Parbuluan  seluas 895 hektar dan Kecamatan Sidikalang seluas  530 hektar.

Permasalahan penting utama yang kerapkali muncul dalam isu ini adalah berkenaan dengan batas kawasan Hutan Lindung. apabila dirinci lebih jauh adalah sebagai berkut:
·         Tidak diakuinya batas Kawasan Hutan Lindung oleh masyarakat disekitarnya  merupakan problematika lapangan yang paling banyak diungkapkan berkenaan dengan isu tata batas ini. Problematika ini lebih banyak dikarenakan oleh permasalahan yang muncul dalam tata batas kawasan hutan lindung  menyangkut 2 hal utama yaitu: (1) mekanisme keterwakilan para pihak dalam pelaksanaan tata batas, dan (2) masalah teknis.
·         Tidak terakomodasikannya inisiatif-inisiatif masyarakat lokal untuk mengelola sumberdaya hutan/kawasan khusus (hutan desa, hutan adat, hutan larangan, hutan kemasyarakatan dll) dalam proses penatabatasan kawasan Hutan Lindung oleh karena ketidakjelasan perwakilan masyarakat dalam panitia tata batas sering dianggap sebagai penyebab tetap masuknya kawasan yang ”khusus” tersebut dalam kawasan Hutan Lindung. Oleh karena adanya ikatan historis tertentu antara masyarakat lokal dengan kawasan tersebut, sementara kawasan ”khusus” tersebut tetap masuk dalam kawasan Hutan Lindung dengan aturan yang sangat rigid, satu-satunya cara yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk mengakses kawasan khusus tersebut adalah dengan tidak mengindahkan adanya batas-batas kawasan Hutan Lindung. Mekanisme keterwakilan dan pelibatan para pihak secara luas dalam pelaksanaan tata batas yang seperti ini biasanya terjadi pada kawasan Hutan Lindung yang telah cukup lama ditetapkan, dimana iklim demokrasi pada saat itu tidak mendukung adanya proses yang demokratis dan partisipatif dalam kegiatan penataan batas kawasan hutan lindung.
·         Penataan blok Kawasan Hutan Lindung (tata ruang)  berupa blok perlindungan dan blok pemanfaatan  di kawasan Hutan Lindung sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Kehutanan juga kurang  dilaksanakan dengan baik.. Padahal penataan blok ini dapat menjadi salah satu jalan keluar terhadap konflik yang terjadi agar fungsi pokok kawasan Hutan Lindung terjaga keutuhannya dan individu/kelompok masyarakat setempat  dapat memperoleh akses pemanfaatan kawasan hutan secara legal,  seperti hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa-jasa lingkungan dari hutan lindung.


KOTAK  1

Keterwakilan dan keberadaan masyarakat lokal/adat telah diakomodasikan dalam kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan yang diatur dalam SK Menhut No.32/Kpts-II/2001 Pasal 7ayat (2) butir (b) dan 8 sebagai berikut:

SK Menteri Kehutanan  No.32/Kpts-II/2001
Pasal 7
(1)  Kriteria penataan batas dirinci menurut status, trayek batas, patok dan pal batas, dan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
(2)  Kriteria status areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) adalah:
  1. Kawasan hutan yang telah ditunjuk
  2. Bebas dari hak-hak pihak ketiga
c.       Memperoleh pengakuan para pihak (masyarakat, badan hukum, pemerintah) di sepanjang trayek penataan batas.
Pasal 8
Kriteria Panitia Tata Batas areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) adalah:
a.       Dibentuk dan disyahkan oleh Bupati/Walikota
  1. PTB Kawasan Hutan diketuai oelh Bupati/Walikota dengan anggota terdiri dari unsur-unsur:
    1. Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota
    2. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
    3. Dinas-Dinas yang terkait di Kabupaten/Kota
    4. Camat Kepala Wilayah Kecamatan
    5. Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan
    6. Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam/Sub Seksi Konservasi Sumber Daya Alam
    7. Instansi lain yang dianggap perlu
    8. Kepala Desa
9.       Tokoh masyarakat/ketua adat masyarakat setempat
    Untuk penataan batas perairan anggota Panitia Tata Batas ditambah :
10.   Kepala Distrik/Sub Distrik Navigasi
    1. Kepala Dinas Perikanan
    2. Kantor Departemen Perhubungan
13.   Kantor Departemen Kelautan
Pasal 12 ayat (2)
(2)  Standar status areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) adalah:
a.       Dibuat Berita Acara Pengakuan Hasil Pembuatan batas yang ditandatangani oleh Wakil/ Tokoh/ Ketua adat masyarakat setempat, Kepala Desa, Instansi Kehutanan Daerah, Camat, Ketua Tim Pelaksana Tata Batas, dan Bupati/Walikota.
b.       Dibuat Berita Acara Persetujuan Hasil Pembuatan Batas Sementara yang ditandatangani Panitia Tata Batas.















































Dalam keputusan Menhut No.32/Kpts-II/2001 tersebut secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu unsur panitia tata batas tokoh masyarakat/ketua adat setempat dan salah satu kriteria status areal yang akan ditata batas sebagai kawasan hutan adalah bebas dari hak-hak pihak ketiga serta memperoleh pengakuan dari para pihak disepanjang trayek tata batas (Lihat Kotak 1).  Kepetusan ini lebih baik dibandingkan Keputusan Menteri Kehutanan sebelumnya. Pertanyaan yang masih tersisa dengan dikeluarkannya SK Menhut No.32/Kpts-II/2001 ini adalah dimanakah hutan adat, hutan desa, hutan larangan, hutan kemasyarakatan dan berbagai areal ”khusus” bagi masyarakat lokal tersebut akan diakomodasi?
Istilah pal ”batas nafas” sering muncul untuk menggambarkan posisi pal batas yang tidak pada tempatnya sebagai akibat dari bentuk, ukuran dan spesifikasi yang telah ditetapkan yang berdampak pada beratnya pal batas, sehingga pal hanya ditempatkan diposisi sebatas ”nafas” yang ada dari pelaksana pemancangan patok batas. Selain masalah ini, tidak dikenalnya pal batas kawasan oleh masyarakat lokal adalah masalah lain yang timbul di lapangan. Masyarakat lokal lebih mengenal batas-batas lokal yang telah disepakati secara turun-temurun. Sebagai contoh adalah tanda dari tumpukan batu (yang disebut gegumuk di NTB dan batas kawasan dengan jenis tanaman budidaya pada suku anak rimba di Taman Nasional Bukitduabelas) yang dianggap sebagai batas kawasan hutan oleh masyarakat lokal.

Secara umum, terdapat rekomendasi yang diusulkan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam hubungannya dengan tata batas kawasan Hutan Lindung ini. Beberapa rekomendasi tersebut adalah:

a.        perlu perubahan kebijakan/regulasi yang berkaitan dengan mekanisme tata batas (komposisi panitia tata batas, keterwakilan masyarakat setempat, pengakuan hak-hak komunal/adat, standar ukuran pal batas)
b.       Tata batas  secara partisipatif. Disadari bahwa proses ini memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan tata batas ulang ini diusulkan dilaksanakan secara kemitraan dan pelibatan pihak-pihak lain yang potensial, terutama dengan masyarakat setempat berbasis ke wilayahan, misalnya tata batas berbasis desa/kampung.
c.        Negosiasi/dialog  dengan masyarakat dalam penentuan batas kawasan Hutan Lindung
d.       Menggunakan simbol-simbol batas lokal dalam kriteria dan standar pelaksanaan tata batas
Lihat Matriks 1 sebagai gambaran ringkasan masalah, inisiatif berjalan, hambatan dan rekomendasi tentang penataan batas di kawasan Hutan Lindung di Indonesia


MASALAH
INISIATIF  BERJALAN
HAMBATAN
REKOMENDASI
Kendala teknis tata batas (berat, tidak dipasang pada tempatnya, legitimasi sosial  patok dan pal batas  kurang)
Penggunaan tanaman budidaya/kebiasaan lokal sebagai batas (sebagai hampongon/penghalang orang luar dan sumberdaya strategis masa depan
·  Belum adanya regulasi yang memayunginya.
·  Tata batas ulang, pemeliharaan dan pengamanan batas berdasarkan adanya ”proyek tata batas”, bukan berdasarkan kebutuhan
Penyusunan payung kegiatan
Batas tidak diakui masyarakat setempat
Tata  batas secara partisipatif
Kemauan pengelola  Hutan Lindung rendah
butuh waktu, biaya yang besar
·        Mendorong kabupaten untuk tata ulang batas
·        Kesepakatan konservasi desa
Apakah kepala desa atau yang mewakili bisa mewakili semua masyarakatnya dalam tata batas



·         Sosialisasi khusus mengenai tata batas dan lahan dalam kawasan Hutan Lindung.
·         Persamaan persepsi untuk suatu masalah di suatu desa.
·         Desa membawa rekomendasi dari masyarakat
·   Dominasi status sosial dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.
·   Kemampuan negosiasi masih rendah wakil masyarakat

·      Perjelas permasalahan aspirasi desa.
·      Pendampingan proses penggalian permasalaan tata batas
Pelibatan para pihak dalam Panitia Tata Batas yang tidak optimal (secara lisan atau proses mendadak)
Pemilihan perwakilan lembaga para pihak yang potensial dalam kolaborasi
Masih sering dianggap sebagai proses mobilisasi (tingkat partisipasinya rendah)
Pelibatan para pihak yang potensial, berkolaborasi secara bertahap  dan dinamis.

MATRIKS 1. Masalah, Inisiatif, Hambatan dan Rekomendasi   Penataan Batas Kawasan Hutan Lindung




2. PENATAAN  BLOK HUTAN LINDUNG
Masalah utama yang muncul berkaitan dengan penataan ruang atau blok hutan  dalam kawasan Hutan Lindung atau dikenal dengan sebutan zonasi adalah mengenai keluwesan (fleksibilitas), baik yang berupa keluwesan  penetapan jenis zona maupun keluwesan pengelolaan di masing-masing zona. Problematika ini muncul  berkaitan dengan akomodasi kebutuhan dan kepentingan para pihak dalam pengelolaan Hutan Lindung. Beberapa permasalahan aktual yang sempat muncul penataan ruang di Kawasan Hutan Lindung  di Indonesia adalah
a.        Penetapan zonasi  di hutan lindung terkesan menjadi otoritas pemerintah
b.       Penunjukan zonasi di hutan lindung terkesan tanpa dasar yang jelas
c.        Zona yang ada tidak mampu membangkitkan rasa tanggungjawab masyarakat sekitar untuk melestarikan Hutan Lindung
d.       Belum terakomodasinya secara masksimal kepentingan dan inisiatif lokal dalam kerangka pengelolaan Hutan Lindung yang ada saat ini contoh : hutan adat, hutan desa,  hutan kemasyarakatan
e.        Pengakuan terhadap kawasan kelola rakyat
f.        Zona perlindungan terlanjur rusak
g.       Kawasan dalam kondisi rusak atau populasi satwa terancam
h.       Kawasan sudah dibuka sebelum penetapan Hutan Lindung
i.         Sudah ada pemanfaatan secara tradisional
j.         Pilihan zonasi terbatas
k.       Posisi dan peran masyarakat terbatas
Apabila dianalisis lebih lanjut, permasalahan tersebut diatas akan bermuara pada satu hal mendasar yaitu belum terakomodasikannya kebutuhan para pihak dan gagasan/inisiatif/model lokal dalam sistem pengelolaan Hutan Lindung Beberapa pertanyaan yang kemudian muncul berkaitan dengan hal ini adalah:

a.        Apakah dampaknya apabila kebutuhan parapihak dan gagasan/inisiatif/model lokal tersebut tidak dapat diakomodasikan dalam sistem pengelolaan Hutan Lindung?
b.       Apabila kebutuhan para pihak dan gagasan/inisiatif/model lokal tersebut akan diakomodasi dalam sistem pengelolaan Hutan Lindung, bagaimana aspek legalitasnya dihubungkan dengan kebijakan yang ada?
c.        Bagaimana mekanisme dukungan pengakomodasian kebutuhan parapihak dan inisiatif lokal dalm sistem pengelolaan Hutan Lindungl?
Pertanyaan (a) dapat dijawab bahwa ketika kebutuhan parapihak dan gagasan/inisiatif/model lokal tersebut tidak dapat diakomodasikan dalam sistem pengelolaan Hutan Lindung yang akan timbul adalah penolakan (resistensi) parapihak tersebut terhadap Hutan Lindung. Mungkin akan ada 2 bentuk resistensi yang akan muncul ketika sistem pengelolaan Hutan Lindung yang ada saat ini tetap diimplementasikan. Dua bentuk resistensi tersebut dapat berupa penolakan secara terbuka ataupun bentuk-bentuk pelanggaran (apabila dihubungkan dengan kebijakan yang ada) secara sembunyi-sembunyi.
Dengan asumsi dasar bahwa para pihak adalah memiliki tujuan yang sama yaitu pelestarian fungsi ekologi, sosial dan ekonomi dalam pengelolaan Hutan Lindung, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa berbagai kekuatan yang ada tersebut tidak bergabung untuk mencapai tujuan yang sama? Penggabungan kekuatan tersebut dapat ditempuh melalui negosiasi pada ruang-ruang kompromi yang ada, baik kompromi keruangan maupun kompromi non-keruangan  untuk memperoleh kesepahaman dan kesepakatan yang dapat diwujudkan dalam pola kemitraan pengelolaan Hutan Lindung.
Dalam kaitannya dengan pola kemitraan pengelolaan Hutan Lindung tersebut, pertanyaan (b) menjadi relevan untuk dimunculkan yaitu bagaimana kesepahaman dan kesepakatan yang merupakan modal kemitraan tersebut dapat diimplementasikan dan memperoleh dukungan legalitas? Jawaban pertanyaan kedua ini lebih banyak berhubungan dengan keluwesan penetapan zona dan jenis pemanfaatannya. Fakta dilapangan menunjukkan banyaknya jenis variasi pengelolaan atau pemanfataan Hutan Lindung yang berkembang baik yang berbasis lahan maupun non lahan. Variasi ini dimungkinkan terjadi karena adanya perbedaan karakteristik lokasi masing-masing Hutan Lindung, perbedaan karakteristik wilayah dalam satu unit Hutan Lindung, maupun perbedaan kebutuhan parapihak untuk masing-masing lokasi.
Pada saat ini pengembangan pola kemitraan pengelolaan dan mengatatasi konflik pemanfaatan di kawasan Hutan Lindung, sangat berpeluang untuk dilakukan. Hal itu  dinyatakan secara tegas oleh Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Di dalam kawasan Hutan Lindung dapat dimanfaaatkan jasa-jasa lingkungannnya dengan seijin Pemerintah  melalui kegiatan usaha pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan penyimpanan karbon. Disamping itu dalam Hutan Lindung dapat dimanfaatkan hasil hutan bukan kayunya   dengan seijin Pemerintah melalui pemungutan hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, madu, getah, buah, jamur dan sarang burung walet.

Disamping itu konflik pemanfaatan Hutan Lindung dapat diatasi dengan pemberian hak kelola masyarakat dan seijin  dari  Pemerintah melalui penyelenggarakan  hutan kemasyarakatan di kawasan yang telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan  hutan kemasyarakatan . Hal ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.

Langkah awal guna mengatasi persoalaan tata batas dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan dan pengamanan batas kawasan hutan secara partisipatif bersama masyarakat setempat sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan  dan Perkebunan No. 333  Tahun 1999 tentang Pedoman Pemeliharaan dan Pengamanan Batas Hutan. Diharapkan dengan kegiatan ini dapat membuka kembali dialog antara Pemerintah dan masyarakat setempat untuk mengatasi masalah tata batas dan menata ulang kembali  pemanfaatan kawasan hutan lindung yang menguntungkan semua pihak dalam jangka panjang. Dan pembentukan panitia pemeliharaan dan pengamanan batas hutan oleh Bupati Dairi yang melibatkan masyarakat setempat dan para pihak lainnya dapat menjadi langkah awal dalam penyelesaian sengketa pemanfaatan kawasan hutan lindung selama ini.


[1]  Disampaikan dalam Sosialisasi Penataan Batas  Hutan Lindung di Desa  Barisan Nauli dan Desa Perjuangan kabupaten Dairi  tanggal  24 dan 25 Juni 2008..
[2]  Conservation International Indonesia
[3]  Forestrade Indonesia.