Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Wednesday 25 May 2011

Peranan Hutan Alam, Wanatani Kopi dan Hutan Kemasyarakatan sebagai Penyimpan Karbon dalam Mengurangi Pemanasan Globa


Peranan Hutan Alam, Wanatani Kopi dan
Hutan Kemasyarakatan sebagai Penyimpan Karbon
dalam Mengurangi Pemanasan Global[1]

Erwin A Perbatakusuma dan Abdulhamid Damanik[2]


PENDAHULUAN

Pemanasan global sebagai akibat terjadinya perubahan iklim global merupakan bencana alam dan kebenaran yang tidak terbantahkan dan secara pasti menyusahkan bagi kita semua di saat ini dan masa akan datang ! Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan lapisan atmosfir. Keseimbangan
tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbon dioksida (CO2 ), metana (CH4 ) dan nitrous oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Salah satu penyebab meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer  sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembukaan dan pembakaran vegetasi hutan alam menjadi lahan pertanian dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Pembukaan hutan, kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO di dunia.

Hasil kajian IPCC (2007) menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu kurun 12 tahun terakhir. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,76oC. Muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 meter.

Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Selama berabad-abad, kita telah terus menerus melepaskan karbondioksida dan gas lainnya ke atmosfir. Hal ini secara alami menghangatkan planet bumi dan menjadikan bumi  tempat yang cocok untuk didiami berbagai jenis mahluk hidup. Tetapi perubahan gaya hidup manusia yang radikal telah berdampak meningkatnya komsumsi energi dan pelepasan karbondioksida  berasal dari bahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara dan gas bumi) dan ditambah dengan penggundulan hutan alam telah menimbulkan efek rumah kaca di lapisan atmosfir bumi. Efek ini ditunjukan dengan meningkatnya kandungan gas karbondiosida secara tajam,  penipisan selimut alami  dunia yang mengarah secara pasti terhadap kenaikan temperatur bumi, dan  fenomena perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi dampaknya dan juga mematikan bagi mahluk hidup, termasuk berdampak pada sektor pertanian dan keamanan ketersediaan bahan pangan.

Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya nyata penanggulangannya. Diperlukan tindakan yang ekstrim untuk mengurangi dampak pemanasan global pada tataran individu, masyarakat luas, negara dan internasional, termasuk kalangan petani. Hal itu dapat dimulai dari langkah-langkah kecil pada diri kita sendiri untuk mengurangi pelepasan karbondioksida ke atmosfir dan mengurangi produksi gas rumah kaca.


2. FAKTA TIDAK TERBANTAHKAN ADANYA PEMANASAN GLOBAL

Sebagian besar ilmuwan di dunia telah menyatakan persetujuannya bahwa pemanasan global adalah suatu kenyataan yang tidak terbantahkan[a] , hal ini telah terjadi akibat kegiatan manusia di bumi dan bukan disebabkan oleh faktor alamiah.  Fakta ini tentunya sangat menyulitkan dan menyebabkan ketidakpastian bagi kelangsungan hidup kita semua. 

Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan  suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan di bumi.  Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 ° Celsius (1.33 ± 0.32 °Fahrenheit) selama seratus tahun terakhir.  Laporan Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC)  menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °Celsius  (2.0 hingga 11.5 ° Fahrenheit) antara tahun 1990 dan 2100. IPCC pada tahun 2007 menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global  telah terjadi sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca[b] akibat aktivitas manusia" [c] melalui efek rumah kaca[d]. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer.  Gas-gas karbondioksida (CO2) dan metan masing-masing menyumbang 50% dan 20% terhadap efek rumah kaca. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, gas lainnya (metan,  kloro flouro karbon) bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara  maju.

Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. IPCC menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan jumlah badai tropis, perubahan pola curah hujan, salinitas air laut, perubahan pola angin, masa perkembangbiakan hewan dan tanaman, penyebaran jenis dan ukuran populasi satwa dan tumbuhan, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artika dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai.  Tentunya akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian. Realitas fenomena alam akibat dampak perubahan iklim tersebut diantaranya :

Ø  Di Amerika Serikat dalam kurun waktu 30 tahun, bencana angin topan dan badai yang merusak (skala 4 dan 5)  telah meningkat hampir dua kalinya[e]

Ø  Penyakit malaria telah menyebar ke lokasi-lokasi yang lebih tinggi seperti di Pegunungan Andes Kolumbia yang berketinggian 2300 meter diatas permukaan laut.[f] 

Ø  Selama 20 tahun terakhir di Kawasam Green Land Kutub Utara, luncuran salju (gletser) telah meningkat mendekati dua kalinya[g]. Kawasan Cryosphere, yaitu kawasan perairan dan daratan yang membeku berupa es telah mencair akibat pemanasan global dan memberikan kontribusi penting terhadap kenaikan permukaan air laut. Pulau Green Land yang merupakan kawasan yang mempunyai kawasan es di Kutub Utara dipredksi akan menaikan permukaan laut global setinggi tiga meter apabila kawasan es tersebut hilang setengahnya dalam kurun 500  - 1000 tahun. Kawasan es Green land di Kutub Utara telah terjadi hilangnya dan penipisan es sebesar  50 km3 per-tahun yang setara dengan meningkatnya permukaan air laut setinggi 0,13 meter pertahun. Kehilangan  gletser dan lapisan  es di Pulau Artik  memberikan sumbangan terhadap kenaikan permukaan laut global 0,05 mm pertahun. Air yang tersimpan dalam gletser dan lapisan es di seluruh dunia akan memberikan kontribusi terhadap kenaikan permukaan laut setinggi 0,5 meter. Hal ini merupakan bagian kecil saja dibandingkan dengan 68,3 meter naiknya permukaan air laut yang disebabkan oleh mencairnya lapisan es di kawasan Green Land dan Antartika [h] 

Ø  Sektor pertanian memberikan sumbangan kedua terbesar gas rumah kaca yang memanaskan bumi  melalui kegiatan peternakan, operasi pertanian, konversi lahan berhutan untuk pertanian dan produksi bahan kimia pertanian. [i]

Ø  Di Indonesia, dalam perioda 2003-2005 saja, terjadi 1.429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait dengan iklim (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim, yang pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar (Trenberth dan Houghton, 1996; IPCC, 2007; Indonesia Country Report 2007). Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim.

Ø  Di Indonesia, penurunan curah hujan akibat variasi iklim maupun perubahan musiman disertai dengan peningkatan temperatur telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun kejadian El Niño Southern Oscillation (ENSO), volume air di tempat penampungan air menurun cukup berarti (jauh dibawah normal), khususnya selama musim kering (Juni-September). Banyak pembangkit listrik memproduksi listrik jauh dibawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk (4 waduk kecil dan 4 waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian ENSO pada tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan  2006 kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksi listrik dibawah kapasitas normal (Indonesia Country Report, 2007)

Ø   Variasi cuaca seperti ENSO, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, kolera, dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan di atas normal dan dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat cuaca berganti menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembangbiakan nyamuk dengan cepat.  Di Indonesia, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun La Niña. Kasus demam berdarah dengue (DBD) juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun ini. Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, misalnya laju kejadian DBD di Pulau Jawa dari tahun 1992 sampai 2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Country Report, 2007).


3.       KONSEKUENSI DAMPAK DARI PEMANASAN GLOBAL.

Apabila pemanasan global ini terus berlanjut, maka konsekuensi dampak yang ditimbulkan diantaranya meliputi :

Ø   Kematian umat manusia akibat pemanasan global meningkat dua kalinya dalam 25 tahun menjadi 300,000 jiwa pertahun.[j]

Ø   Kenaikan permukaan laut akibat hilangnya kawasan es (cryosphere) di Daerah Kutub setingggi  1,5 meter  saja akan menyebabkan 17 juta jiwa di Banglades kehilangan tempat tinggal[k]

Ø   Gelombang panas, kekeringan dan kebakaran semakin sering terjadi dalam skala yang luas dan frekuensi yang sering.

Ø   Jutaaan petani dan nelayan di dunia akan merosot pendapatannya dengan menurunnya hasil panen dari sektor pertanian, perikanan dan tingkat kerawanan pangan global semakin meningkat.

Ø   Lautan Artik akan terbebas dari es  pada musim panas tahun 2050 dan meningkatkan kenaikan permukaan laut[l]

Ø   Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam the OFDA/CRED International Disaster Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu antara tahun 1907 dan 2007 terjadi setelah tahun 1990an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kemudian kekeringan, kebarakan hutan, dan ledakan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian bencana terkait iklim mengalami peningkatan baik dari sisi frekuensi maupun intensitasnya. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh 10 bencana terbesar tersebut mencapai hampir 26 milyar dolar dan sekitar 70% nya merupakan kerugian akibat bencana yang terkait dengan iklim.

Ø   Menurut World Disaster Report (2001), kerugian ekonomi akibat bencana iklim di tingkat global yang terjadi sekarang dibanding dengan yang terjadi di tahun 1950an sudah meningkat 14 kali, yaitu mencapai 50-100 milyar  dolar. Demikian juga jumlah kematian akibat bencana iklim juga meningkat 50% per-dekadenya. Pada tahun 2050, apabila pemanasan global terus terjadi dan tidak ada upaya-upaya adaptasi yang terencana dilakukan dari sekarang, maka diperkirakan kerugian ekonomi akibat bencana iklim akan meningkat mencapai 300 milyar dolar per-tahun dan jumlah kematian bisa mencapai 100 ribu orang per-tahun (SEI, IUCN, dan IISD, 2001).

Ø   Di Indonesia secara sosial ekologis, kawasan rentan yang berimplikasi sosial adalah kawasan pesisir dan pantai, kawasan sumber daya air, kawasan budidaya pertanian, kawasan hutan dan wilayah perkotaan. Secara demografis, diperkirakan jumlah penduduk yang akan terkena dampak langsung maupun tidak langsung mencapai 120 juta orang.

Ø   Lebih dari sejuta spesies tumbuhan dan satwa di dunia akan punah pada tahun 2050[m]


Para ilmuan di dunia telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

4.            KONSEKUENSI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP PERTANIAN
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dahulu dari pada  daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil.. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa kawasan di bumi.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini.  Topan badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika kumpulan salju musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

Hewan dan tumbuhan liar menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan global ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

Indonesia sendiri adalah negara penyumbang CO2 terbesar ketiga di dunia, Salah satu meningkatnya konsentrasi CO disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain pembukaan dan pembakaran hutan alam dalam skala luas secara bersamaan dan pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan-lahan pertanian.

Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa adalah salah satu Negara di dunia yang sangat rentan terhadap terjadinya perubahan iklim. Beberapa bencana terkait perubahan iklim seperti banjir, longsor, erosi, badai tropis, dan kekeringan akan mengancam ketersediaan pangan, energi, air dan keamanan sosial masyarakat. Berbagai menunjukkan dengan jelas cakupan serta besaran dampak perubahan iklim pada wilayah-wilayah hidup dan mata pencaharian yang paling sensitif terhadap dampak perubahan iklim, termasuk pusat-pusat pemukiman/perkotaan, wilayah pertanian produksi pangan, kawasan sabuk pesisir dan pulau-pulau kecil. Dampak dari kejadian iklim ekstrem yang dipengaruhi oleh perubahan iklim mengakibatkan gagal panen, terutama pada saat kekeringan dan banjir. Pada periode 1981-1990, kegagalan panen mencapai 100,000 ton per-kabupaten, sementara pada periode 1991-2000, meningkat menjadi 300,000 ton per-kabupaten (Boer dan Las, 2003). Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembangunan pertanian di Indonesia. [n]

Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir (1993-2002) yang dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan yang terlanda banjir seluas 158.787 ha dengan puso 39.912 ha (setara dengan 174.000 ton GKG) (Boer, 2003). Menurut Departemen Pertanian, dalam periode Januari-Juli 2007, tercatat bahwa luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah 268.518 ha, 17.187 ha diantaranya mengalami puso (gagal panen). Hal tersebut berimplikasi pada penurunan produksi padi hingga 91.091 ton GKG. m




5.            MENCEGAH TANGKAL DAMPAK PEMANASAN GLOBAL  PADA SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan, melestarikan hutan alam yang tersisa dan menanam pohon lebih banyak lagi.  Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi. Tumbuhan pohon memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C- sequestration). Disamping itu proses fotosistesa juga mengeluarkan gas oksigen (O2) yang dibutuhkan oleh manusia dan menjadikan udara menjadi lebih sejuk.

Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau  perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan akan merosot. Jumlah C tersimpan antar lahan tersebut berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang paling ekstensive misalnya agroforestri kompleks atau disebut kebun campur, wanatani atau kebun lindung yang menyerupai hutan, hingga paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur.

Di banyak kawasan, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian, perkebunan,  pembangunan infrastruktur atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Di seluruh dunia, tingkat penggundulan hutan alam telah mencapai  tingkat yang mengkhawatirkan, termasuk Indonesia. Padahal 50% kandungan gas rumah kaca adalah karbondioksida. Dan karbondioksida yang bersumber dari penggundulan hutan (deforestasi) merupakan salah satu sumber emisi global  gas rumah kaca yang terbesar, yaitu 20%, setelah minyak bumi dan batu bara yang masing-masing  29% .

Dari 44 negara pemilik hutan tropis, Indonesia tercatat mempunyai catatan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia. Dan telah mendapat penghargaan dari Guinness World Records  pada tahun 2007.  Dari tahun 2000 sampai 2005, Indonesia telah kehilangan kawasan hutan alamnya seluas 1,8 juta hektar dengan laju kerusakan pertahunnya sebesar 2% atau 51 km2 (20 mil2)  atau seluas Kota Medan per-harinya. [o] atau Dan selama 50 tahun terakhir,  lebih dari 74 juta hektar kawasan hutan alam di Indonesia telah dirusak, ditebang kayunya, dibakar, untuk dijadikan lahan untuk memproduksi bahan baku bubur kertas, minyak kelapa sawit.[p]  Fakta diatas menjadikan Indonesia menyandang peringkat utama global dalam menyumbang meningkatnya gas rumah kaca yang bersumber dari penggundulan hutan dan menduduki peringkat ketiga dibelakang Amerika Serikat dan China  sebagai penyumbang terbesar gas rumah kaca di muka bumi yang diakibatkan aktivitas manusia[q]Laporan UNEP (2007) menyatakan bahwa saat ini penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan Malaysia adalah perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2005, di Pulau Sumatera saja terdapat  4,2 juta hektar perkebunan kelapa sawit. [r] Lembaga Penelitian Kelapa Sawit Indonesia memperkirakan dua pertiga dari total perkebunan kelapa sawit yang berproduksi terlibat kegiatan penggundulan hutan [s]. Sama halnya dengan Bank Dunia yang melaporkan bahwa diperkirakan antara tahun 1985 – 1997, 60% kawasan hutan tropis dataran rendah Pulau Sumatera dan Kalimantan telah rusak dan pendorong utamanya adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit [t]

Disamping itu pada yahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan yang cukup besar di Indonesia, dimana 80% dari kejadian tersebut terjadi di lahan gambut. Sementara lahan gambut sendiri merupakan penyerap emisi karbon, terbesar di dunia. Akibat peristiwa kebakaran tersebut, sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon dilepaskan ke atmosfer. Angka ini setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahun. Kerugian finansial yang harus ditanggung oleh Indonesia akibat peristiwa ini adalah sebesar US$ 3 milyar dari hilangnya kayu, pertanian, produksi hutan non-kayu, konservasi tanah, dan lain-lain [u]
Pada sektor kehutanan dan pertanian upaya-upaya mengurangi pemanasan global dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

·           Penanggulangan penebangan hutan alam liar (illegal logging). Kegiatan ini akan memberikan sumbangan dalam penurunan konsentrasi CO2 di udara.

·           Memperbaiki hutan dan lahan yang rusak, serta pelestarian hutan akan meningkatkan daya tampungf penyerapan karbon dan mempertahankan cadangan karbon. Pelestarian hutan juga memberikan sumbangan pada ketahananan dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kejadian terkait perubahan  iklim ekstrim.

·           Pemantapan kawasan hutan, dengan kejelasan tentang status dan batas kawasan hutan serta kelembagaannya, maka kegiatan ilegal bisa diturunkan yang pada akhirnya berkontribusi dalam pengurangan emisi CO2 dan pelestarian karbon

·           Di sektor pertanian, penggunaan pupuk organik dan pestisida ramah lingkungan yang mengacu pada Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) serta  penggunaan mesin yang efisien perlu terus digalakkan. Dalam kaitannya dengan pemupukan, perlu dilakukan efisiensi pemupukan dan penggunaan varietas yang responsif terhadap pupuk N (Nitrogen). Selain itu, program diversifikasi pangan juga perlu kembali dibudidayakan. Sisa tanaman sebaiknya dibenamkan ke dalam tanah untuk menambah bahan organik tanah serta mengurangi produksi gas metan.

·           Perlu dikembangkan sistem irigasi ramah lingkungan, yakni sistem irigasi yang tidak menggunakan energi penggerak berbahan bakar fosil. Limbah pertanian dan agroindustri dapat diolah menjadi kompos guna mengurangi emisi GRK.

·           Di bidang peternakan, perlu diterapkan teknologi biogas untuk memanfaatkan limbah peternakan sebagai energi alternatif, sekaligus dalam rangka menurunkan emisi gas Metan CH4.

·           Perlu ditingkatkan kegiatan penanaman kembali (aforestasi) adalah perubahan lahan bukan hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan penanaman (penghijauan) dengan menggunakan jenis tanaman asli (native) dan kegiatan penghutanan kembali (reforestasi) adalah penanaman yang dilakukan pada lahan hutan yang rusak
.
·           Sektor pertanian mempunyai potensi dalam mengurangi dampak pemanasan dunia melalui perbaikan kelola lahan, mencegah perluasan lahan terlantar, penggunaan pupuk nitrogen atau pohon penambat nitrogen, pembakaran lahan pertanian, mengurangi pengolahan tanah, mengurangi pestisida dan herbisida kimia buatan pabrik, pemulihan kembali lahan terlantar dan memperbaiki pengelolaan air pertanian. Selain itu  upaya peningkatan serapan karbon dilakukan dengan mengembangkan sistem wanatani (agroforestry), kebun campur atau disebut kebun lindung yang mempunyai fungsi seperti  untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer.

6.            PERANAN WANATANI (KEBUN CAMPUR) DAN HUTAN KEMASYARAKATAN DALAM MENYIMPAN KARBON

Praktek pertanian intensif, misalnya perkebunan monokultur kopi atau kelapa sawit telah mengurangsi cadangan karbon, khususnya melalui penghilangan tumbuhan bawah maupun sedikitnya kekayaan jenis tegakan pohon dalam perkebunan monokultur dan hilangnya karbon melalui pembakaran. Di kawasan tropis, seperti di Indonesia, praktek wanatani atau kebun campur berbasis tegakan pohon  dapat menyimpan karbon di tumbuhan sebesar 70 Mg karbon/hektar,dan   25 Mg karbon/hektar di dalam tanah serta mengurangi gas rumah kaca [v]  Hal ini dikarenakan karena dalam wanatani, tumbuhan yang ditanam beraneka jenis kayu untuk kayu pertukangan, kayu bakar, pembatas kebun, pohon buah. Tentunya cadangan karbon dalam kebun wanatani lebih besar dibandingkan dengan kebun yang miskin pohon.

Penelitian di Provinsi Lampung menunjukan bahwa cadangan kebun kopi monokultur yang suka cahaya lebih kecil dibandingkan dengan kebun kopi dengan pohon naungan (wanatani kopi).  Kandungan karbon di kebun wanatani kopi adalah 82 Mg Karbon /hektar di banding 52 Mg Karbon/hektar di kebun kopi monokultur. Tetapi, kandungan karbon dalam wanatani kopi lebih rendah dari kandungan karbon dalam hutan alam primer yang besarannya 262 Mg Karbon/Hektar maupun hutan sekunder akibat perladangan berpindah yang besarannya 96 Mg karbon/hektar. [w]

Kopi ditanam lebih pada 60 negara dan paling banyak dihasilkan oleh para petani berskala kecil yang jumlahnya di dunia  diperkirakan 25 sampai 100 juta petani. Meningkatnya kebutuhan dan komsumsi kopi di dunia  yang diperkirakan mencapai 2,5 milyar cangkir setiap harinya telah menyebabkan konsekuensi penting, yaitu menyebabkan meningkatknya produksi kopi yang  sebagian besar harganya murah untuk memenuhi pasar. Peningkatan produksi ini telah menyebabkan pergeseran cara produksi petani kopi dari pola tradisional atau pola tanam berkelanjutan dengan menggunakan berbagai macam pohon pelindung lokal ke pola yang lebih intensif  dan ekstensif dengan menggunakan pola monokultur dengan jenis kopi “suka cahaya matahari” (sun coffee), tanpa pohon pelindung, asupan pupuk dan pestisida/herbisida kimia serta membuka hutan alam berlereng curam atau di daerah berstatus kawasan lindung untuk perluasan kebun kopi.  Ada hubungan yang kuat antara produksi kopi “suka cahaya matahari” dengan penggudulan hutan. Dari 50 negara di dunia yang mempunyai tingkat penggundulan hutan tertinggi antara tahun 1990 – 1995, 37 negara adalah negara penghasil kopi, termasuk Indonesia. Dan diantara 25 negara penghasil kopi di dunia telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan seluas 70.000 kilometer persegi pada tahun yang sama. Perluasan areal perkebunan kopi di Indonesia salah satu pendorong rusaknya dan musnahnya hutan alam di Pulau Sumatera, seperti Provinsi-provinsi  Lampung, Sumatera Utara dan Aceh, baik  berupa kawasan yang berstatus kawasan pelestarian alam (Taman Nasional), kawasan hutan produksi dan hutan lindung.

Sebagai contoh yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara, tidak terkecuali di Kabupaten Dairi. Insentif harga kopi yang menguntungkan membuat masyarakat terus merambah dan membuka hutan alam untuk ditanami kopi yang umumnya tidak mempunyai pohon pelindung. Ternyata hasil dari usaha untuk peningkatan produksi kopi yang dilakukan tersebut diatas jauh dari harapan, kesuburan lahan menurun, produksi anjlok, mutu kopi jauh dari yang  diharapkan, petani tidak memiliki kepastian berusaha jangka panjang, karena kebunnya terletak di “kawasan terlarang” (hutan lindung, hutan konservasi), serangan hama dan penyakit meningkat, yang semuanya berakibat terhadap turunnya nilai jual kopi.  Diperkirakan luas hutan yang telah dirambah untuk  kebun kopi masyarakat seluas 8,300 hektar dengan luas perambahan  31.000 hektar, diantaranya yang terluas di Hutan Lindung Dairi (Reg 82) seluas 4,300 hektar perkebunan kopi rakyat dan luas perambahan 11.000 hektar dan Hutan Lindung Simbuatan Selatan (Reg.62) seluas 2,200 hektar merupakan perkebunan kopi rakyat dan luas perambahan 19.000 hektar. Selanjutnya diikuti kawasan Hutan Adian Tinjoan (Reg. 67) yang  dengan luas kebun kopi rakyat seluas 425 hektar dan luas perambahan 2.600 hektar. Pertambahan penduduk dan kemiskinan diyakini menjadi salah satu penyebab beralih kawasan hutan menjadi kawasan budidaya kebun kopi.

Melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (sebelumnya adalah Keputusan Menteri Kehutanan No.31/KPTS-II/2001), pemerintah memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut mengelola lahan kawasan hutan. Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) mengizinkan masyarakat untuk dapat mengelola melalui pemanfaatan secara lestari seperti wanatani kopi dengan rambu-rambu aturan yang telah ditentukan. Masyarakat yang dipercaya mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari dengan sistem berkelompok ini, akan mendapat imbalan oleh pemerintah dalam bentuk kepastian penguasaan lahan dengan jenis Izin Hak Kelola atau Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan Hutan (bukan memberikan hak atau status hukum kepemilikan lahan pribadi). Pada saat ini, di beberapa tempat di Indonesia, telah banyak kelompok-kelompok yang bergiat dalam pengelolaan HKm, termasuk beberapa diantaranya di Propinsi Lampung dan Nusa Tenggara Timur.

Dalam kaitannya dengan upaya mengurangi pemanasan global, dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 Tahun 2009 , pemberian ijin hutan kemasyarakatan kepada masyarakat telah menjadi salah satu bagian dalam mengatasi pemanasan global dari penggudulan dan degardasi hutan.

Sebagai catatan akhir, usulan kreatif dan inovatif dari Forum Petani Kopi Lestari Dairi kepada Menteri Kehutanan  untuk memperoleh Ijin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan di kawasan Hutan Negara seluas 10.000 hektar di Kecamatan Sumbul merupakan  perlu didukung dan disepakati oleh para pihak, khususnya Pemerintah Kabupaten Dairi dan para petani kopi. Usulan ini merupakan bagian dari upaya pemantapan kawasan hutan, dengan kejelasan tentang status, pemanfaatan dan batas kawasan hutan, jalan keluar konflik  yang akut antara petani kopi dan pemerintah dalam pemanfaatan kawasan hutan. Diharapkan dengan upaya ini kegiatan ilegal di kawasan hutan Negara, bisa diturunkan yang pada akhirnya dapat memberikan sumbangan dalam pengurangan emisi CO2 dan pelestarian karbon untuk mencegah pemanasan bumi dan memberikan kepastian usaha ekonomi petani kopi dalam jangka antar generasi.

CATATAN KAKI



[1]  Disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Kapasitas Wanatani Kopi Organik Berbasis Simpanan Karbon
    dan  Kelembagaan Petani Kopi” pada tanggal 12 – 13 Mei 2009 di Sumbul yang diselenggarakan oleh
    Perhimpunan Forum Petani Kopi Lestari Dairi – Conservation International Indonesia,

[2]  Penggiat konservasi bekerja di Conservation International Indonesia – Program Sumatera


[a]   Berdasarkan laporan  Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyatakan bahwa  masa sekarang adalah  era pemansan global yang menyebabkan ketidakpastian dan umat manusia telah mempengaruhi perubahan kondisi iklim global.
[b]  Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Hal itu timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya. Manusia telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan  dan kawasan terumbu karang yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian dan perusakan ekosistim terumbu karang oleh penangkapan ikan yang merusak terumbu karang. Walaupun lautan dan hutan alam mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. . Selain uap air dan gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.  Gas metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah , bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri pada pertengahan 1700-an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali lipat. Gas nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Gas ini dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pra-industri. Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture). Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet..
[c]  Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. URL diakses pada  06-05-2008
[d] Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana lapisan atmosfer memanaskan sebuah planet. Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia yang berakibat pada pemanasan global. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
[e] Emanuel, K. 2005. Increasing destructiveness of tropical cyclones over the past 30 years. Nature 436: 686-688.

[f] World Health Organization

[g] Krabill, W., E. Hanna, P. Huybrechts, W. Abdalati, J. Cappelen, B. Csatho, E. Frefick, S. Manizade, C. Martin, J, Sonntag, R. Swift, R. Thomas and J. Yungel. 2004. Greenland Ice Sheet: Increased coastal thinning. Geophysical Research Letters 31.

[h]  Bamber, L and Payne A (Eds) 2004, “Mass Balance of the Cryosphere”,  Cambridge University Press,  England

[i] Jessica Bellarby, Bente Foereid, Astley Hastings and Pete Smith, 2008, “Cool Farming: Climate Impacts of Agriculture and Mitigation potential, Greenpeace International The Netherlands

[j] World Health Organization

[k] Bamber, L and Payne A (Eds) “Mass Balance of the Cryosphere”,  2004, Cambridge University Press,  England

[l] Arctic Climate Impact Assessment. 2004. Impacts of a Warming Arctic. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Also quoted in Time Magazine, Vicious Cycles, Missy Adams, March 26, 2006.

[m] Time Magazine, Feeling the Heat, David Bjerklie, March 26, 2006.

[n] Anonim, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007.

[o] Greenpeace SE Asia, ‘Indonesia makes it to 2008 Guinness World Records as Fastest Forest Destroyer on the Planet’ 3 May 2007

[p]  FWI/GFW (Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch) (2002) The State of the Forest: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia, and Washington DC: Global Forest Watch and Food Agriculture Organization (2005)

[q] Nilai tersebut sebesar   2.8 – 3 Giga Ton Co2 pertahun akibat deforestasi pada tahun 1990-an dan penggunaan bahan bakar fosil, World Resources Institute (2007) Climate Analysis Indicators Tool

18  Nellemann, C, L Miles, BP Kaltenborn, M Virtue, and H Ahlenius (Eds)  The last stand of the orangutan – State of emergency: Illegal logging, fire and palm oil in Indonesia’s national parks United Nations Environment Programme, 2007

[s] IPOC (Indonesian Palm Oil Commission) Indonesian Palm Oil Directory 2006 Area and Production of Palm Oil by Province and Condition of Crops in Indonesia 2005’citing BPS-Statistics Indonesia and Directorate General of Estate Crops, 2006

[t] FWI/GFW (Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch) (2002) The State of the Forest: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia, and Washington DC: Global Forest Watch

[u] Susan E. Page, et al, 2002

[v] Patrick K. Mutuo, G. Cadisch, A. Albrecht, C.A. Palm and L. Verchot, 2005,  Potential of agroforestry for carbon sequestration and mitigation ofgreenhouse gas emissions from soils in the tropics, Nutrient Cycling in Agroecosystems 71: 43–54, 2005. © Springer 2005

[w]  Meine van Noordwijk, Subekti Rahayu, Kurniatun Hairiah, Y. C. Wulan, A. Farida  and Bruno Verbis,  Carbon stock assessment for a forest-to-coffee conversion landscape in Sumber-Jaya (Lampung, Indonesia): from allometric equations to land use change analysis. Vol. 45 Supp. SCIENCE IN CHINA  October 2002.