Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Wednesday 25 May 2011

Peluang Partisipasi Masyarakat Melestarikan Hutan dan Kelangsungan Perkebunan Kopi Rakyat Melalui Skema Hutan Kemasyarakatan


Peluang Partisipasi Masyarakat Melestarikan Hutan dan
Kelangsungan Perkebunan Kopi Rakyat Melalui
Skema Hutan Kemasyarakatan[1]

Erwin A Perbatakusuma dan Abdulhamid Damanik [2]


1. Latar belakang

Kopi adalah komoditas pertanian terbesar di dunia yang diperdagangan secara legal. Komoditas ini ditanam di 16 kawasan dari 34 kawasan yang dikategorikan ’bidiversity hotspot” atau kawasan penting pelestarian keanekaragaman hayati yang paling terancam punah di dunia,  salah satu kawasan penting tersebut di  Indonesia  dikenal sebagai ”Sundaland Hotspot”  yang meliputi Pulau Sumatera. Saat ini, di Indonesia perluasan kawasan kebun kopi telah melampaui batas yuridis, merusak dan memusnahkan kawasan-kawasan kunci keanekaragaman hayati tersebut, seperti kawasan-kawasan Taman Nasional, hutan lindung. Dan kondisi ini tentunya akan mempercepat kemusnahan hidupan liar dan mengurangi kemampuan hutan alam untuk menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang dibutuhkan umat manusia, khususnya masyarakat petani seperti ketersediaan air, penghasil oksigen, kesuburan tanah, ketersediaan satwa penyerbuk bunga, pemangsa hama atau pemencar biji tanaman budidaya seperti untuk tanaman kopi.


Disisi lain,  komoditas kopi telah menjadi tumpuan hidup perekonomian rakyat kebanyakan dan komoditas ekspor yang penting bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Negara Indonesia diketahui merupakan eksportir kopi terbesar keempat di dunia setelah negara-negara  Brasil, Kolumbia dan Vietnam.  Belum lagi, masyarakat petani kopi  semakin sulit posisnya untuk kelangsungan hidup dan usahanya, apabila lokasi lahan kebunnya terletak di kawasan hutan negara. Tetapi dipihak lain perkebunan kopi mempunyai potensi untuk mengurangi laju kerusakan hutan alam dan kelangsungan hidup petani jangka panjang, apabila dikelola secara lebih berkelanjutan dan mengikuti kaidah-kaidah pelestarian alam.

Makalah ini akan memaparkan kondisi perkebunan kopi yang memilki kecenderungan merusak dan memusnahkan hutan alam dan menawarkan jalan keluar melalui kebijakan yang ada  dengan wanatani kopi ,kopi konservasi  atau kopi berkelanjutan dalam skema kehutanan masyarakat.


2.  Perkebunan Kopi Kerusakan Hutan Alam dan Lingkungan

Kopi ditanam lebih pada 60 negara dan paling banyak dihasilkan oleh para petani berskala kecil yang jumlahnya di dunia  diperkirakan 25 sampai 100 juta petani. Meningkatnya kebutuhan dan komsumsi kopi di dunia  yang diperkirakan mencapai 2,5 milyar cangkir setiap harinya telah menyebabkan konsekuensi penting, yaitu menyebabkan meningkatknya produksi kopi yang  sebagian besar harganya murah untuk memenuhi pasar. Peningkatan produksi ini telah menyebabkan pergeseran cara produksi petani kopi dari pola tradisional atau pola tanam berkelanjutan dengan menggunakan berbagai macam pohon pelindung lokal ke pola yang lebih intensif  dan ekstensif dengan menggunakan pola monokultur dengan jenis kopi “suka cahaya matahari” (sun coffee), tanpa pohon pelindung, asupan pupuk dan pestisida/herbisida kimia serta membuka hutan alam berlereng curam atau di daerah berstatus kawasan lindung untuk perluasan kebun kopi.  Ada hubungan yang kuat antara produksi kopi “suka cahaya matahari” dengan penggudulan hutan. Dari 50 negara di dunia yang mempunyai tingkat penggundulan hutan tertinggi antara tahun 1990 – 1995, 37 negara adalah negara penghasil kopi, termasuk Indonesia. Dan diantara 25 negara penghasil kopi di dunia telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan seluas 70.000 kilometer persegi pada tahun yang sama.

Praktek intensifikasi dan ekstensifikasi ini tentunya menyebabkan semakin mendorong musnahnya keanekaragaman hayati dan hutan alam, merosotnya kualitas lahan pertanian, merosotnya kehidupan ekonomi petani, merosotnya kualitas perairan, migrasi penduduk miskin untuk membuka meningkatnya kawasan hutan alam untuk bertani kopi dan meningkatnya pemanasan iklim global akibat musnahnya hutan.

Perluasan areal perkebunan kopi di Indonesia salah satu pendorong rusaknya dan musnahnya hutan alam di Pulau Sumatera, seperti Provinsi-provinsi  Lampung, Sumatera Utara dan Aceh, baik  berupa kawasan yang berstatus kawasan pelestarian alam (Taman Nasional), kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Hal ini terkait dengan rantai pasokan kebutuhan kopi yang meningkat  baik secara lokal, nasional maupun internasional.  Indonesia diketahui merupakan eksportir kopi terbesar keempat di dunia setelah negara-negara  Brasil, Kolumbia dan Vietnam.

Sebagai contoh yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara, tidak terkecuali di Kabupaten Dairi. Insentif harga kopi yang menguntungkan membuat masyarakat terus merambah dan membuka hutan alam untuk ditanami kopi yang umumnya tidak mempunyai pohon pelindung. Ternyata hasil dari usaha untuk peningkatan produksi kopi yang dilakukan tersebut diatas jauh dari harapan, kesuburan lahan menurun, produksi anjlok, mutu kopi jauh dari yang  diharapkan, petani tidak memiliki kepastian berusaha jangka panjang, karena kebunnya terletak di “kawasan terlarang” (hutan lindung, hutan konservasi), serangan hama dan penyakit meningkat, yang semuanya berakibat terhadap turunnya nilai jual kopi.

2. Solusi I : Menuju Produksi Kopi Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan

Uraian masalah tersebut diatas membutuhkan tata cara bertanam kopi yang lebih berkelanjutan (sustaianable coffee). Pengertiannya  adalah kopi dihasilkan dari lahan pertanian yang kaya keanekaragaman hayati dan asupan kimia yang rendah. Hal ini memiliki arti bahwa sistin kebun kopi harus dapat melindungi keanekaragaman hayati atau lingkungan hidup, melestarikan sumberdaya alam, mengurangi pencemaran lingkungan, diproduksi secara efisien, mempunyai daya saing tinggi di pasar dan memperbaiki kualitas sumber penghidupan petani.

Sedikit diketahui oleh kita, bahwa tanaman kopi aslinya tumbuh di bawah tajuk pohon dalam hutan tropis, tidak di kawasan terbuka bergelimang cahaya matahari. Petani kopi skala kecil sebenarnya telah mengambil manfaat dari sistem kebun kopi bernaungan jenis-jenis pohon (shaded grown coffee) atau dikenal dengan sistem wanatani (agro-forestry), seperti tanaman kopi menjadi sedikit perawatan, tutupan tajuk kebun mirip hutan yang meningkatkan keanekaragaman hayati fauna dan flora, berperan sebagai tempat pengungsian satwa liar yang hidup di hutan alam, sepert satwa mamalia dan  burung, melindungi keberadaan jenis musang untuk penyebar biji kopi dan menghasilkan jenis kopi spesialiti yang  termahal harganya di dunia,tanaman kopi dapat berdampingan dengan pohon yang bermanfaat ekonomi, sehingga meningkatkan keragaman sumber pendapatan bagi petani. Kesimpulannya, kebun kopi bernaungan dapat membantu kita semua dalam menyelamatkan hutan alam, melindungi sumber air, menjaga keanekaragaman hayati dan mengurangi pemanasan global, menjadi daerah penyangga kawasan lindung dan  menjadi lahan penghubung atau koridor antara kawasan-kawasan inti yang dilindungi.

Adapun praktek-pratek pengelolaan terbaik dalam yang dapat  diterapkan dalam pengembangan perkebunan kopi  guna menghindari kerusakan lingkungan, seharusnya menghentikan dan mengurangi pembukaan hutan alam untuk perluasan kebun kopi ’suka cahaya sinar matahari” maupun kopi bernaungan pohon pelindung. Diperlukan penerapan pengaturan zona produksi kopi, mendirikan kawasan yang dilindungi dan pembatasan perluasan perkebunan kopi di kawasan yang dilindungi.  Perluasan areal perkebunan kopi seharusnya diprioritaskan di lahan terlantar dan lahan yang rusak. Pengurangan kerusakan lingkungan dapar dilakukan dengan cara penganekaragaman hasil produk pertanian dan sumber pendapatan, mengurangi penggunaan asupan kimia, menguranggi penggunaan air dalam proses paska panen dan mengurangi erosi tanah

3. Solusi II : Skema Hutan Kemasyarakatan

Kebijakan pembangunan kehutanan harus beralih dari sentralistik menjadi desentralistik yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Peningkatan partisipasi masyarakat baik dalam kebijakan dan juga dalam pengelolaan sumber daya hutan, dapat mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan. Kebijakan kehutanan saat ini  telah memberikan peluang nyata bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hal tersebut, antara lain dapat dilakukan dengan memberikan hak akses kepada masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama  pembangunan dan pengelolaan hutan. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (sebelumnya adalah Keputusan Menteri Kehutanan No.31/KPTS-II/2001), pemerintah memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut mengelola lahan kawasan hutan.

Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) mengizinkan masyarakat untuk dapat mengelola sebagian dari sumberdaya  hutan dengan rambu-rambu yang telah ditentukan. Masyarakat yang dipercaya membangun hutan dengan sistem berkelompok ini, akan mendapat imbalan oleh pemerintah dalam bentuk kepastian penguasaan lahan dengan jenis Izin Hak Kelola atau Ijin Usaha Pemanfaatan (bukan hak kepemilikan lahan). Pada saat ini, di beberapa tempat di Indonesia, telah banyak kelompok-kelompok yang bergiat dalam pengelolaan HKm, termasuk beberapa diantaranya di Propinsi Lampung dan Nusa Tenggara Timur.

Kondisi luasan kawasan hutan alam di Kabupaten Dairi sebagaimana sama situasinya kawasan hutan  lainnya di Pulau Sumatera  berkurang secara drastis pada abad ini.  Berdasarkan kajian Conservation International pada tahun 2007, selama tahun 1990 sampai 2000, luasan kehilangan hutan (deforestasi) di Provinsi Sumatera Utara mencapai 422,000 hektar dari total luas hutan 3,611,702 hektar. Perluasan areal produksi kebun kopi merupakan salah satu pendorong terjadinya kemusnahan hutan alam di Provinsi Sumatera Utara. tidak terkecuali di Kabupaten Dairi. Insentif harga kopi yang menguntungkan membuat petani kopi terus merambah dan membuka hutan alam untuk ditanami kopi yang umumnya tidak mempunyai pohon pelindung. Diperkirakan luas hutan yang telah dirambah untuk  kebun kopi masyarakat seluas 8,300 hektar dengan luas perambahan  31.000 hektar, diantaranya yang terluas di Hutan Lindung Dairi (Reg 82) seluas 4,300 hektar perkebunan kopi rakyat dan luas perambahan 11.000 hektar dan Hutan Lindung Simbuatan Selatan (Reg.62) seluas 2,200 hektar merupakan perkebunan kopi rakyat dan luas perambahan 19.000 hektar. Selanjutnya diikuti kawasan Hutan Adian Tinjoan (Reg. 67) yang  dengan luas kebun kopi rakyat seluas 425 hektar dan luas perambahan 2.600 hektar. Pertambahan penduduk dan kemiskinan diyakini menjadi salah satu penyebab beralih kawasan hutan menjadi kawasan budidaya.

Kebijakan HKm merupakan salah salah cara yang memadai dan harus dihargai untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas. Kebijakan tersebut menjadi suatu peluang untuk mensejahterakan masyarakat sekaligus menjaga fungsi kawasan hutan di wilayahnya dan mengatasi konflik pemanfaatan lahan hutan antara masyarakat dengan pemerintah. Karena kawasan hutan di Kabupaten Dairi banyak yang sudah beralih fungsi menjadi kebun kopi, Oleh karenanya, promosi dan  pengembangan sistem kebun kopi secara wanatani yang bersifat multi tajuk dijadikan sebagai bentuk tawaran pemanfaatan hamparan HKm terutama pada blok budidaya di Hutan Lindung. Di satu sisi, masyarakat petani HKm tetap dapat memelihara kopi dan tanaman buah lainnya, di sisi lain sistem multi tajuk mampu menyangga fungsi lindung  dan fungsi konservasi keanekaragaman hayati selayaknya fungsi sebuah kawasan hutan lindung. Bentuk tawaran tersebut disebut sebagai “kebun lindung”, yaitu sebuah sistem kebun multi tajuk, multi spesies (kombinasi buah-buahan, pohon kayu, dan tanaman perkebunan), dan dikombinasi dengan teknis konservasi tanah, yang mampu menyangga fungsi lindung dan konservasi.

3.1 Pengertian Hutan Kemasyarakatan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.

Dalam penyelenggaraan HKm digunakan azas-zas  (a) manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya,  (b). musyawarah-mufakat, dan (c) keadilan, juga prinsip-prinsip sebagaimana tertuang dalam Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007, yaitu (a) tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan; (b). pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman, (c). mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya, (d). menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa, (e). meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, (f) memerankan masyarakat sebagai pelaku utama, (g). adanya kepastian hukum, (h) transparansi dan akuntabilitas publik dan (i). partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Dalam hal ini, Hkm memberikan kepastian hukum atas status lahan kelola bagi masyarakat yang membutuhkannya dalam hal ini petani kopi. Salah tujuan HKm adalah menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup dan masyarakat sejahtera.  Makna hutan lestari, adalah melalui pola-pola pengelolaan ”kebun lindung’ atau ”wanatani kopi’ (kehutanan-pertanian kopi) di lahan HKm, diharapkan dapat tetap menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan perbaikan fungsi hutan serta jasa-jasa  lingkungan yang terkandung di dalamnya, seperti menjaga kesuburan tanah, menjaga iklim setempat, menjaga ketersediaan air, mencegah erosi, penyimpan karbon. Dalam HKm, kelompok tani diharuskan menanam tanaman dengan sistem MPTS (Multi Purpose Trees Species) atau jenis-jenis pohon bermanfaat (multi guna). Manfaat penerapan sistem tanam yang multi-guna seperti ini diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup mereka melalui keanekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di lahan HKm.

Pola penguasaan lahan dalam Hkm bukan berarti memiliki dan mensertifikatkan lahan menjadi hak milik. Sistem penguasaan yang diizinkan adalah mengelola kawasan hutan negara dengan segala pemanfaatannya. Penguasaan lahan dalam HKm tidak dapat diperjualbelikan, tidak bisa dipindah tangankan dan tidak bisa diagunkan. Hal ini untuk mencegah lahan HKm jatuh kepada orang-orang yang tidak tepat. Pada kasus pengalihan penguasaan lahan antar sesama anggota di dalam kelompok dan/atau keluarga (anak dan saudara kandung), dapat dilakukan, dengan terlebih dahulu melalui musyawarah dan persetujuan kelompok. Pemberian Izin  Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat IUPHKm, adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi. Dalam Permenhut P.37/Menhut-II/2007 pada pasal 13 dinyatakan bahwa :

(a)   IUPHKm bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.
(b)   IUPHKm sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dipindahtangankan, diagunkan, atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan, serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan.

IUPHKm diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 (lima) tahun.

IUPHKm sebagaimana tersebut diatas  dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan Surat Keputusan Menteri. IUPHKm yang berada pada hutan lindung  dapat diselenggarkan kegiatan-kegiatan pemanfaatan kawasan,  pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha budidaya tanaman obat,  budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, udidaya pohon serbaguna, budidaya burung walet, penangkaran satwa liar, rehabilitasi hijauan makanan ternak. Dalam kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dapat dilakukan usaha- usaha: pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman  hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau penyerapan dan/ atau  penyimpanan karbon. Kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha-usaha : rotan, bambu, madu, getah, buah dan atau atau jamur.

Perizinan dalam hutan kemasyarakatan dilakukan melalui tahapan : (a). Fasilitasi; dan (b) pemberian izin. Jenis fasilitasi meliputi: a. pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat setempat, b. pengajuan permohonan izin, c. penyusunan rencana kerja hutan kemasyarakatan, d. teknologi budidaya hutan dan pengolahan hasil hutan, e. pendidikan dan latihan f. akses terhadap pasar dan modal g. pengembangan usaha.

3.2 Tipe/Status Hutan Apa Yang Bisa Dikelola Dengan Program Hutan Kemasyarakatan?

Kawasan hutan yang dapat di manfaatkan untuk program HKm adalah kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang belum dibebani ijin usaha. Beberapa peraturan perundangan yang dapat dijadikan pedoman tentang wilayah usaha HKm adalah:

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 pasal 6  yang menyatakan “Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi”, dan pasal 7 yang berbunyi ” Kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: (a). belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan (b). menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat”


Bunyi pasal di atas tidak berarti bahwa, semua hutan lindung dan hutan produksi dapat menjadi wilayah kelola HKm. Ada beberapa kriteria yang juga harus dipatuhi, antara lain: (a) Bukan pada wilayah yang masih berhutan bagus dan asli, (b) Wilayah kelola HKm tidak diizinkan membuka hutan yang masih baru atau membuka baru (memperluas lahan garapan) dan (c) HKm bisa dilakukan pada lahan yang sudah kritis dan sudah digarap oleh masyarakat selama beberapa tahun.

Di dalam UU Kehutanan Nomor 41/1999, (pasal 24), menerangkan bahwa “Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada Taman Nasional”....pasal ini dapat memberikan keterangan tambahan mengenai kriteria kawasan hutan yang dapat dikelola dengan izin HKm (pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi, dan bukan pada Hutan Konservasi).


3.3.Apa Saja Manfaat Hutan Kemasyarakatan ?

Manfaat HKm untuk masyarakat petani kopi dan pemerintah dan kelestarian  fungsi hutan, meliputi :

(a)         Pemberian izin usaha atau kelola HKm memberikan kepastian hak akses bagi petani kopi untuk turut mengelola kawasan hutan. Masyarakat atau kelompok tani HKm menjadi pasti untuk berusaha dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya mereka melalui sistem wanatani kopi
(b)         Menjadi sumber mata pencarian dengan memanfaatkan hasil dari kawasan hutan. Keanekaragaman tanaman yang diwajibkan dalam kegiatan HKm  menjadikan kalender musim panen petani menjadi padat dan dapat menutupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani HKm. Hal ini berarti meningkatkan keamaman dan ketahanan pangan bagi petani
(c)          Kegiatan pengelolaan HKm yang juga menjaga sumber-sumber mata air dengan prinsip lindung, berdampak pada terjaganya ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan  rumah tangga dan kebutuhan pertanian lainnya.
(d)         Terjalinnya hubungan dialogis dan harmonis dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya. Diskusi-diskusi dan komunikasi yang dibangun dan dilakukan melalui kegiatan HKm telah menghasilkan komunikasi yang baik dan harmonis antar para pihak, yang dulu merupakan sesuatu hal yang jarang ditemukan, sehingga meningkatkan saling menghargai, saling percaya, saling memetik manfaat dan memperkuat.
(e)         Adanya peningkatan pendapatan non tunai (innatura atau berbentuk barang) dalam bentuk pangan dan papan.
(f)           Kegiatan HKm memberikan sumbangan tidak langsung oleh masyarakat kepada pemerintah, melalui rehabilitasi lahan yang dilakukan secara swadaya dan swadana.
(g)         Adanya peningkatan pendapatan pemerintah daerah untuk pembangunan hutan lestari masyarakat sejahtera.
(h)         Mengurangi biaya sosial penanganan perambahan hutan yang kurang produktif, seperti operasi justisia, translokasi para perambah hutan
(i)           Kegiatan teknis di lahan HKm, yang mewajibkan kelompok melakukan penerapan pengolahan lahan berwawasan konservasi (menerapkan terasiring, guludan, rorak, dll), dan melakukan penanaman melalui sistem MPTS/jenis pohon multi guna ekonomi, membawa pembaikan pada fungsi lindung dan konservasi hutan.
(j)           Kegiatan HKm berdampak kepada pengamanan hutan (menurunkan penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan, dan perambahan hutan). Kegiatan pengamanan hutan tersebut, tercantum dan merupakan bagian dari program kerja masing-masing kelompok HKm.
(k)          Terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan aturan dan mekanisme kerja kelompok), baik kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
(l)           Terbentuknya keaneka-ragaman tanaman (tajuk rendah, sedang, dan tinggi).
(m)       Terjaganya fungsi ekologis dan hidro-orologis, melalui pola tanam  campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan.
(n)         Terjaganya blok perlindungan yang dikelola oleh kelompok pemegang ijin HKm, yang diatur melalui aturan main kelompok.
(o)         Kegiatan HKm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya, beserta habitatnya.
(p)         Kegiatan HKm akan meningkatkan kandungan karbon dalam biomasa tumbuhan sehingga dapat membantu dalam pencegahan pemanasan iklim global.


3.4     Prosedur Penetapan Areal dan Perizinan Hutan Kemasyarakatan

Secara ringkas tata cara penetapan areal dan perizinan HKm dapat diuraikan sebagai berikut :

(a)         Kelompok masyarakat setempat mengajukan permohonan izin kepada  Gubernur, pada areal kerja HKm lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya atau  bupati/ Walikota, pada areal kerja HKm yang ada dalam wilayah kewenangannya. Permohonan dilengkapi dengan sketsa areal kerja yang dimohon dan Surat Keterangan Kelompok yang memuat data dasar kelompok masyarakat dari Kepala Desa dan Sketsa areal kerja antara lain memuat informasi mengenai wilayah administrasi pemerintahan, potensi kawasan hutan, koordinat dan batas-batas yang jelas serta dapat diketahui luas arealnya.

(b)         Gubernur atau Bupati/Walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja HKm  kepada Menteri Kehutanan setelah diverifikasi oleh tim yang dibentuk Gubernur atau Bupati/Walikota.

(c)          Pedoman verifikasi ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikotaselambat-lambatnya satu bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.

(d)         Berdasarkan dari hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Tim Verifikasi maka Tim verifikasi dapat menolak atau menerima untuk seluruh atau sebagian permohonan penetapan areal kerja HKm dan terhadap permohonan yang ditolak melaporkan kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota. terhadap permohonan yang diterima untuk seluruh atau menyampaikan rekomendasi kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.

(e)         Berdasarkan hasil verifikasi, Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan usulan penetapan areal kerja HKm kepada Menteri Kehutanan  dilengkapi dengan peta lokasi calon areal kerja HKm skala paling kecil 1 : 50.000, berdasarkan peta dasar yang tersedia (peta rupa bumi),  deskripsi wilayah antara lain keadaan fisik wilayah, data sosial ekonomi dan potensi kawasan hutanyang diusulkan.

(f)           Usulan Gubernur atau Bupati/Walikota, dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan yang  beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Departemen Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan bertanggung jawab kepada Menteri.

(g)         Badan Planologi Kehutanan sebagai koordinator Tim Verifikasi menugaskan UPT Departemen Kehutanan terkait untuk melakukan verifikasi ke lapangan. Verifikasi meliputi : kepastian hak atau ijin yang telah ada serta  kesesuaian dengan fungsi kawasan.

(h)         Berdasarkan hasil verifikasi, tim verifikasi dapat menolak, menerima untuk seluruh atau sebagian usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan. Terhadap usulan yang ditolak sebagian, tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan penolakan tersebut kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota. Terhadap usulan yang diterima untuk seluruh atau sebagian sebagaimana Menteri Kehutanan menetapkan areal kerja HKm.

4. Kesimpulan dan rekomendasi

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan dan direkomendasikan hal-hal sebagaimana di bawah ini :

(a)         Pengembangan kebun kopi adalah salah satu pendorong terjadinya percepatan pemusnahan dan degradasi hutan alam di dunia, termasuk di Kabupaten Dairi sebagai salah satu sentra produksi kopi terbesar di Indonesia.  Hal ini didorong  dengan meningkatnya kebutuhan kopi dunia, sehingga menjadikan kopi telah menjadi tumpuan sumber penghidupan jutaan  keluarga petani. Pemusnahan hutan alam oleh petani kecil  telah mencapai kawasan-kawasan  lindung yang penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati dan penyediaan jasa lingkungan dari hutan alam. Sehingga  petani kopi skala  kecil  tidak mempunyai kepastian usaha perkebunan kopi secara berkelanjutan. Kecenderungan hubungan kontra produktif pengembangan kopi terhadap pelestarian alam harus dihentikan atau diputarbalikan menjadi hubungan saling menguntungkan dan saling mendukung.

(b)         Upaya pemutarbalikan ini, harus  dilakukan dengan merubah pola produksi kopi yang lebih berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dan sosial masyarakat. Direkomendasikan pola bercocok tanam yang dianjurkan adalah wanatani (perhutanian kopi)  atau kebun kopi dengan naungan multi tajuk dari  berbagai jenis pohon pelindung (shaded-grown coffee) yang mengurangi sekecil mungkin penggunaan pestisida dan pupuk kimia atau pertanian organik. Pola ini akan lebih menguntungkan kelangsungan penghidupan petani dan perlindungan habitat alamiah, keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungannya.

(c)          Kondisi kerusakan hutan alam di Kabupaten sebagai konsekuensi pengembangan budidaya kopi yang berkelanjutan harus dihentikan, khususnya konversi hutan alam di kawasan hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi guna perluasan areal produksi kopi. Direkomendasikan untuk menerapkan kebijakan dan pemberian izin usaha  pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (HKm) kepada masyarakat petani kopi, khususnya para petani yang sekarang ini lokasi kebunnya terletak di kawasan-kawasan Hutan Lindung atau Hutan Produksi. Dalam hamparan areal HKm, pola wanatani kopi dapat diterapkan secara luas, terutama di kawasan lahan terlantar dan terdegradasi. Produksi kopi yang dihasilkan melalui pola ini, pada saat ini dan masa mendatang akan lebih disukai konsumen kopi dunia. Konsumen semakin kritis untuk meminum secangkir kopi yang bersumber dari biji kopi yang dihasilkan dengan tidak merusak lingkungan hidup, memperhatikan pelestarian alam dan perdagangan yang adil bagi petani kopi.









[1]  Makalah disampaikan dalam Lokakarya dan Pelatihan  ” Menuju Wanatani Kopi, Kopi Organik  dan  Perlindungan dan Pemanfataan Lestari  Hutan Lindung ” pada tanggal 17 – 18 Desember 2008 di Sidikalang yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Dairi dan Conservation International Indonesia

[2]  Pekerja Conservation International Indonesia – Program Sumatera.