Landscape based conservation work is a collective-collaborative -collegiality work, cross multi- stakeholder interest, cross production and natural landscape and cross-disciplinary science. Conservation work success be determined by how effectively the work of stakeholder can be guarded, both with civil society, along with bureaucrats in the province, district, village, religious institutions, customary institutions, hamlet, clan, both formal or informal local leader , business actors in various fields. Forest dependent communities are appropriately positioned as part of the conservation area management solution. They should be and are appropriately treated as subjects with a more humanity. They are part of the nation and is entitled to achieve equitable prosperity. They should be involved in every stage of the process of forest management or protected areas management . To make happen "mental transformation" in all components of nation, including the reform of the "government bureaucracy engine"

Monday 23 May 2011

Sumatera Adalah Bagian Ekosistim Kritis Global dan Pilihan Ruang Investasi Konservasi

Pendahuluan

Sumatera adalah satu pusat lokasi keanekaragaman hayati global – yaitu kawasan yang mempunyai lebih dari 60 persen keanekaragaman spesies terestrial didalam wilayah seluas 1,4 persen dari luas permukaan bumi.  Sumatera adalah bagian dari Hotspot Sundaland meliputi setengah bagian barat dari kepulauan Indonesia, yaitu suatu kelompok 17.000 pulau terhampar sepanjang 5.000 kilometer di katulistiwa dan terletak di antara benua Asia dan Australia. Hotspot ini mencakup beberapa pulau-pulau terbesar di dunia dan berbatasan dengan tiga hotspot lainnya: Wallacea di bagian timur, Indo-Burma di bagian barat, dan Filipina di bagian utara. Secara keseluruhan, keempat pusat lokasi ini merupakan satu dari dua konsentrasi terbesar keanekaragaman spesies darat dan air tawar di Bumi – sedangkan satu lagi terdapat di sebelah utara Amerika Selatan.



Sundaland memiliki luas sekitar 1,6 juta kilometer persegi, didominasi oleh pulau Kalimantan dan Sumatera. Topografinya mencakup pegunungan tinggi, pegunungan berapi, daratan endapan, danau, rawa, dan pesisir pantai yang dangkal. Indonesia sendiri merupakan rumah bagi 10% jumlah spesies tumbuhan dunia, 12% dari semua mamalia, 17% dari semua burung, 16% dari semua reptil dan amfibia, dan 25% dari semua jenis ikan. Sundaland mempunyai enam daerah burung endemis, bersamaan dengan 15.000 spesies tumbuhan endemis, 139 spesies burung endemis, 115 spesies mamalia endemis, 268 spesies reptil endemis, dan 280 spesies ikan
air tawar endemis.

Pemprioritasan Sumatera di Dalam Hotspot

Sumatera, yang berukuran panjang 1.800 kilometer dan lebar 400 kilometer tingkat keanekaragaman hayati tertinggi namun tingkat ancaman paling tinggi.Sumatera mempunyai jenis mamalia terbanyak (210 spesies) dibandingkan dengan semua pulau lain di Indonesia. Enam belas spesies mamalia tersebut bersifat endemis di Sumatera, dan sekitar 17 bersifat endemis di Kepulauan Mentawai di sebelahnya. Keanekaragaman primata endemis Sumatera per unit daerah merupakan yang tertinggi di seluruh dunia. Delapan jenis mamalia endemis Sumatera dan di Kepulauan Mentawai tercatat dalam Red List of Threatened Species (Daftar Merah Spesies yang Terancam) IUCN, dan di Lampiran Konvensi Perdagangan Internasional tentang Spesies Fauna dan  flora Liar yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/CITES).

Daftar burung Sumatera berjumlah 582 spesies, sekitar 465 daripadanya bersifat menetap dan 14 bersifat endemis, menjadikannya daerah biogeografis terkaya kedua di Indonesia dalam hal burung, setelah Papua. Menurut BirdLife International, terdapat 34 Kawasan Penting Burung (Important Bird Areas/IBA) di pulau Sumatera, 54% diantaranya berada di luar daerah yang diproyeksikan, dan 18% berada di hutan dataran rendah yang keadaannya terancam kritis. Dari 300 spesies reptil dan amfibia Sumatera, 69 (23%) bersifat endemis. Sistem perairan tawar Sumatera mengandung 270 spesies, 42 (15%) diantaranya bersifat endemis.
Sebagian besar spesies tumbuhan endemis Sumatera ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang berada di bawah 500 meter, meskipun sampai saat ini baru sekitar 15% dari keseluruhannya yang telah tercatat. Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanyalah kurang dari 40%. Tingkat penebangan hutan saat ini rata-rata sebesar 2,5% per tahun, dan yang terparah terjadi didaerah dataran rendah dan hutan-hutan perbukitan yang kaya akan spesies. Para ilmuwan memprediksikan bahwa semua hutan tropis dataran rendah Sumatera akan lenyap di tahun 2005.

Tingkatan Perlindungan bagi Keanekaragaman Hayati

Indonesia, khususnya Sumatera, bukanlah kawasan baru dalam konsep konservasi. Malah sebenarnya, konservasi telah menjadi fokus perhatian yang cukup banyak sejak jaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1997, pada saat krisis ekonomi Indonesia, pemerintah mengeluarkan dana antara $22 juta sampai $33 juta per tahun untuk kawasan lindung, sekitar 20% berasal dari donor internasional. Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan lebih dari  73 daerah konservasi di Sumatera dengan luasan dari 4,5 juta hektar,  Namun, kawasan lindung saat ini pun masih belum aman, dan banyak, bahkan sebagian besar, telah ehilangan hutan mereka akibat tekanan yang terus-menerus.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) di bawah Departemen Kehutanan bertanggung jawab atas kawasan yang lindung. Namun, manajemen kawasan lindung yang di lapangan – termasuk hutan penyangga, hutan produksi, dan taman-taman – kini berpindah ke tingkat kabupaten. Selain ketidakjelasan tanggung jawab yang saat ini terjadi, pemerintah lokal mempunyai masalah tentang cara meningkatkan pendapatan mereka dari dalam wilayah mereka sendiri. Hal ini menciptakan ketegangan antara pemerintah lokal dan petugas konservasi, karena kawasan lindung meliputi lahan-lahan yang tidak dapat dikenakan pajak tanah. Sampai saat ini, ekoturisme di taman-taman nasional belum memberi pemasukan yang
memadai untuk dapat mengimbangi kerugian dari sektor pajak. Sebagian besar LSM Indonesia yang  diwawancarai  yakin bahwa keberhasilan konservasi terutama akan ditentukan oleh sikap dan tindakan yang dilakukan pada tingkat kabupaten, tanpa mengecualikan peraturan nasional yang berlaku.

Pelanggaran batas ke dalam kawasan lindung menjadikan upaya perbaikan dan pelestarian koridor-koridor hutan menjadi semakin sulit. Kawasan lindung itu sendiri menghadapi sejumlah masalah manajemen, antara lain:
1. kurangnya kemauan politik;
2. korupsi dan suap;
3. moralitas staf yang rendah dan kurangnya insentif untuk kinerja yang baik
4.terbatasnya kapasitas untuk konservasi sumber daya dan penegakan hukum;
5. dana yang tidak memadai; dan,
6.penentangan dari sektor swasta dan masyarakat umum.

Sinopsis Ancaman 

Keadaan kawasan lindung yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya:

  1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang ilegal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal.
  2.  Kemiskinan. Di tahun setelah krisis ekonomi 1997, standar hidup bagi 15 juta lebih orang Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Di tahun 1999, 18,2% hidup dalam kemiskinan. Pada awal 2001, GDP per kapita adalah $2,685.
  3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak jaman Suharto. Keterlibatan militer dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan juga merupakan peninggalan jaman itu.
  4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia.
  5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hut. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar. Sementara, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
  6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai.

Desentralisasi

Undang-undang yang mengharuskan dibentuknya otonomi daerah, yang berlaku sejak Januari 2001, secara fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan otoritas lokal dalam semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Saat ini, terdapat  lebih dari 78 badan pengambil keputusan tingkat lokal di Sumatera. Otoritas propinsi dan daerah menjadi semakin menolak inisiatif-inisiatif gaya lama yang diatur dari pusat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas kawasan yang dilindungi. Dalam banyak kasus, hal ini menjadikan lumpuhnya manajemen kawasan lindung.

Meskipun terjadi ketidakpastian soal kekuasaan hukum di daerah lindung antara pemerintah pusat dan otoritas tingkat daerah, kecenderungan desentralisasi membuka pintu terhadap peningkatan partisipasi lokal dalam hal alokasi dan manajemen sumber-sumber daya alam dan peningkatan tanggung jawab pemerintah di tingkat lokal. Namun, jika tidak dilaksanakan dengan baik, desentralisasi juga menaruh risiko besar terjadinya percepatan kerusakan lingkungan.

Penebangan Kayu Legal dan Ilegal

Pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajalela di seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut. Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.

Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibat penebangan kayu. Indah Kiat, salah satu perusahaan kertas dan bubur kertas terbesar di Sumatera, menggunakan 6,8 juta meter kubik bubur kayu di tahun 1999, sekitar 87% diproses dari kayu yang diambil dari hutan dan bukan dari perkebunannya sendiri. Situasi perusahaan ini mirip dengan operasi kertas dan bubur kertas lainnya di Sumatera, dimana kebutuhan kolektif akan kayu kira-kira delapan kali persediaan dari perkebunan. Selain itu, hutang raksasa dan kebangkrutan mendorong perusahaan-perusahaan kertas dan bubur kertas untuk membabat hutan dataran rendah dengan kecepatan yang lebih besar daripada sebelumnya.

Perkebunan Kelapa Sawit

Di Propinsi Jambi, misalnya  pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Gubernur propinsi ini telah mengumumkan rencana untuk mengubah 1 juta hektar hutan menjadi kelapa sawit sampai tahun 2005. Situasi di Jambi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Riau dan di Sumatera utara.

Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas. Di tahun 90-an, kontraktor perkebunan dan pembebasan tanah menggunakan api sebagai mekanisme utama untuk membuka lahan.

Perdagangan Satwa dan Perburuan Liar

Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah. Para politisi lokal dan pejabat militer dilaporkan terlibat dalam perburuan ilegal, dan satu pejabat militer telah ditangkap dan dijatuhi hukuman di Taman Nasional Way Kambas karena melakukan perburuan macan dan penjualan kulitnya secara ilegal.

Konstruksi Jalan

Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan.

Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan lindung dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah jalan telah dibangun di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat.

Pertambangan

Ledakan bisnis pertambangan yang disokong oleh rejim Suharto dimulai pada tahun 90-an, telah  enyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai. Sebuah LSM Sumatera telah meminta penutupan operasi pertambangan emas dan perak di Sumatera Selatan karena mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar,  hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.

Pilihan Ruang bagi Investasi Konservasi di Sumatera 

Celah yang ada pada investasi konservasi di Sumatera antara yang ada sekarang dan yang diproyeksikan tidak mesti bersifat programatik ataupun geografik. Kebanyakan “celah” tersebut sebenarnya merupakan akibat dari kurangnya keberhasilan konservasi, yang disebabkan karena tiadanya kemauan politik dan aturan hukum.

Investor konservasi harus bermitra dengan para individu dan organisasi di lapangan, yang telah mempunyai keberhasilan konservasi yang biarpun kecil namun telah terbukti, dan menempatkan mereka “beriringan” engan masyarakat sipil, dengan tujuan menstimulasi penanganan sumber sumber daya hutan dengan cara yang spesifik pada tiap konteks lokal yang ada.

Perlunya mendukung upaya-upaya masyarakat dan konservasi di tingkat kabupaten dan di bawahnya. Mereka juga mencatat bahwa sebuah tradisi untuk bekerja dalam isolasi telah menjadikan LSM Sumatera terkotak-kotak, dan oleh karena itu menjadi lemah dalam kaitan ancaman yang ada pada keanekaragaman hayati. Untungnya, LSM Sumatera sendiri menyadari kelemahan ini, dan ingn membentuk koalisi dan aliansi sehingga mereka dapat menangani masalah-masalah pokok dengan cara yang dapat menghindari terjadinya duplikasi kerja, mengambil manfaat dari kekuatan masing-masing organisasi, dan membangun pengaruh politik
yang kolektif.

Arahan  Strategis bagi Investor Konservasi  di Sumatera.

1. Memperkuat penanganan sumber daya hutan pada tingkat kabupaten dan di bawahnya
1.1 Meningkatkan kesadaran akan nilai dari layanan-layanan ekologi
1.2 Meningkatkan kesadaran akan pilihan-pilihan yang ada dalam pemanfaatan konservasi hasil-hasil hutan an layanan-layanan ekologi
1.3 Meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab untuk melestarikan keanekaragaman hayati
1.4 Membangun kapasitas untuk merencanakan dan melaksanakan manajemen sumber daya yang berdaya tahan dan berkesinambungan
1.5 Membangun kapasitas masyarakat sipil untuk memantau ekstraksi hutan

2. Memberdayakan masyarakat sipil untuk berorganisasi mendukung konservasi keanekaragaman hayati
2.1 Meningkatkan perwakilan dari masyarakat sipil dalam LSM
2.2 Membangun kapasitas kelompok masyarakat sipil untuk mengorganisasikan fungsi fungsi perlindungan sumber daya hutan
2.3 Mendukung aktivitas LSM yang menyarankan ekstraksi hutan yang legal dan berdaya tahan baik
2.4 Mendukung aktivitas LSM untuk menghentikan ekstraksi hutan yang ilegal

3. Membangun aliansi antara  kelompok-kelompok masyarakat sipil berwawasan konservasi dengan sektor swasta
3.1 Membangun kapasitas diantara LSM untuk fasilitasi dan mediasi konflik
3.2 Mendukung kolaborasi dan kerjasama diantara LSM berwawasan konservasi
3.3 Mendukung mekanisme komunikasi yang mengaitkan LSM berwawasan konservasi satu sama lain dan dengan sektor swasta

4. Menilai dampak intervensi konservasi pada tingkat kabupaten dan di bawahnya
4.1 Membangun kapasitas masyarakat sipil untuk memetakan dan melacak aktivitas aktivitas yang  mempengaruhi konservasi sumber daya alam dan perubahan yang terjadi dalam hal keanekaragaman hayati
4.2 Mendukung pemantauan periodik terhadap sikap masyarakat sipil terhadap konservasi keanekaragaman hayati pada daerah target
4.3 Mendukung analisa komprehensif terhadap data yang tersedia, dalam hal penggunaan lahan, kehadiran spesies, serta ancaman-ancaman konservasi
4.4. Memperkuat penanganan sumber daya hutan pada tingkat kabupaten dan di bawahnya

Kegagalan konservasi di Sumatera telah menunjukkan bahwa masyarakat sipil pada tingkat kabupaten dan di bawahnya tidak menyadari nilai atau potensi manfaat dari pelestarian layanan layanan ekologi dan sumber daya alam. Oleh karena itu, investasi  konservasi harus  mendukung aktivitas aktivitas yang akan  mengikutsertakan apresiasi, minat, dan tindakan masyarakat sipil dalam menangani sumber-sumber daya hutan. Dalam kasus-kasus dimana masyarakat sipil telah menghargai sumber daya hutan,  maka investor harus mendukung aktivitas-aktivitas yang membantu mereka mengerti seluruh pilihan untuk hidup dnvestor an mencari nafkah yang ada, dan bukan hanya melalui penebangan ilegal atau pembebasan hutan untuk dijadikan perkebunan. Dalam kasus kasus lain, investor  dapat mendukung upaya-upaya peningkatan kesadaran akan tanggungjawab terhadap penanganan hutan, sesuai dengan yang terdapat dalam nilai-nilai keluarga atau agama.

Beberapa bagian dari masyarakat sipil mungkin telah menghargai dan menginginkan adanya pelestarian hutan, namun kurang pengetahuan tentang caranya. Dalam hal ini Inveor konservasi harus mendukung pengembangan pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai.

Memberdayakan masyarakat sipil untuk berorganisasi mendukung konservasi keanekaragaman hayati
Jika peluang untuk manajemen sumber daya hutan berada pada tingkat kabupaten dan di bawahnya, maka masyarakat sipil lokal harus mengorganisasikan diri dan mengambil tindakan melawan pengambilan hasil-hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang merajalela dan seringkali ilegal. Berikutnya kalangan lokal yang berwawasan konservasi harus mempelajari dan saling berkomunikasi dengan individu-individu yang berwawasan sama, menyatukan upaya mereka dan menyusun kekuatan politik. Dalam beberapa kasus, investor konservasi  harus mendukung pembentukan LSM bau yang berwawasan konservasi .

Untuk mendapatkan pengaruh politik dalam menghadapi tekanan berat yang menentang konservasi sumber daya hutan di Sumatera, sangatlah penting untuk mendukung para LSM menggabungkan upaya-upaya mereka dan membentuk aliansi. Karena sifat beraneka ragam yang ada dalam hal kebutuhan, prioritas geografi, latar belakang etnik, dan berbagai faktor lainnya, para LSM mungkin membutuhkan ketrampilan tertentu (misalnya, fasilitasi dan peredaan konflik) yang dibutuhkan untuk membentuk dan mempertahankan koalisi dan aliansi tersebut. Para anggota aliansi harus dapat mempunyai cara untuk saling berkomunikasi dengan teratur, dan untuk bersama-sama saat bertujuan mengkoordinasikan aktivitas atau pesan-pesan politik, dan untuk saling berbagi pelajaran yang didapat.

Mengingat cepatnya Sumatera kehilangan sumber-sumber daya alamnya, hanya ada sedikit waktu untuk masa percobaan dalam investasi konservasi. Oleh karena itu, adalah penting bila berinvestasi dalam mekanisme-mekanisme yang dibangun berdasarkan pada pelajaranpelajaran yang telah didapat, namun juga harus mengevaluasi dengan cermat dan teratur tindakan-tindakan dan hasil-hasil konservasi. Mungkin diperlukan pula untuk mengembangkan skenario-skenario alternatif, sehingga bila aktivitas-aktivitas yang telah   direncanakan harus diubah dengan cepat, rencana darurat sudah tersedia. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah analisa komprehensif terhadap data yang tersedia untuk menilai penggunaan lahan, kehadiran spesies, dan ancaman-ancaman terhadap konservasi. Pada saat yang bersamaan, mensurvei sikap dari masyarakat sipil dalam interval waktu yang teratur menjadi penting untuk dapat memahami motivasi mereka dalam hal pemanfaatan sumber daya, melacak perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan berjalannya waktu, dan pengadaptasian upaya-upaya konservasi masa mendatang yang sesuai.